Kala Mujur Tak Bisa Diraih, Malang Tak Bisa Ditolak

Menakjubkan! Sebuah ungkapan yang sangat tepat kala menatap sikap hidup seorang mukmin. Betapa tidak, kala ujian hidup mendera, dunia terasa sempit mengimpit, sikap sabar membalut dirinya. Kesabaran yang menghiasi jiwa membawa seorang mukmin meraih kebaikan tiada terhingga. Sebaliknya, jika seorang mukmin hidup bertabur kesenangan, tiada kesusahan melilit dirinya, sikap syukur mengarahkannya meraup kebaikan. Hidupnya penuh makna, tidak dipoles oleh dunia yang menipu lagi melalaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan sikap hidup seorang mukmin tersebut dengan ungkapan, “Menakjubkan!”

Renungi dan hayati sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini.

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ؛ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ

“Menakjubkan urusan yang menimpa seorang mukmin. Sungguh, semua urusannya membawa kebaikan untuknya. Tidak ada seorang pun yang bisa seperti itu selain seorang mukmin. Jika kegembiraan menimpa dirinya, ia bersyukur. Sikap syukurnya ini membawa kebaikan baginya. Jika ditimpa kesusahan, ia pun bersabar. Sikap sabarnya ini pun membawa kebaikan untuknya.” (HR. Muslim no. 64, dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan radhiallahu ‘anhu)

“Inilah keadaan seorang mukmin,” kata asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah. Beliau menambahkan, setiap manusia tidak lepas dari qadha (ketentuan) dan takdir Allah subhanahu wa ta’ala yang mencakup dua perkara: senang atau susah. Oleh karena itu, manusia terbagi menjadi dua macam: mukmin dan bukan mukmin. Seorang mukmin menganggap segala sesuatu telah ditakdirkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala baginya, sehingga hal ini baik baginya. Ketika kesusahan menimpanya, lantas dia bersabar atas takdir-Nya seraya menanti disirnakannya impitan hidup oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan mengharap pahala dari-Nya, hal ini membawa kebaikan baginya. Dia berharap mendapat pahala karena tergolong orang-orang yang bersabar. Jika dirinya memperoleh kesenangan dalam bentuk nikmat beragama—seperti memiliki ilmu (syariat) dan beramal saleh—dan memperoleh nikmat dunia—seperti harta, anak, dan keluarga—lantas dia bersyukur kepada-Nya dengan menjalankan ketaatan1, sikap syukur ini akan mendatangkan kebaikan untuknya. Jadilah ia memperoleh dua macam kenikmatan, yaitu nikmat beragama dan nikmat dunia. Nikmat dunia berbentuk kesenangan, sedangkan nikmat beragama berbentuk syukur. Inilah potret seorang mukmin. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 1/79)

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menukilkan hadits Abu Yahya Shuhaib bin Sinan radhiallahu ‘anhu di atas guna menjelaskan kewajiban seseorang yang sedang sakit untuk bersikap ridha terhadap qadha Allah subhanahu wa ta’ala, bersabar atas takdir-Nya, dan husnuzhan (berbaik sangka) kepada-Nya. Dengan bersikap demikian, ia akan mendapatkan kebaikan. (Ahkamul Jana’iz wa Bida’uha, hlm. 11)

Kebaikan demi kebaikan akan senantiasa dipetik oleh seorang mukmin. Tidak ada yang sia-sia. Ia tetap penuh optimis menatap setiap keadaan dalam hidup ini. Walau mujur tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak, namun dengan bersabar dirinya akan tetap kukuh, tidak putus asa. Ia senantiasa bersemangat atas segala hal yang bisa bermanfaat baginya seraya memohon pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجِزْ

“Bersemangatlah atas segala sesuatu yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan janganlah engkau merasa lemah.” (HR. Muslim no. 2664)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah figur mulia yang telah memberi contoh untuk tetap bersemangat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menginginkan kebaikan bagi umatnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu bersemangat menginginkan keimanan dan keselamatan umatnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamata) kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang yang beriman.” (at-Taubah: 128)

Sikap sabar dan tangguh menghadapi beragam kesulitan adalah buah dari keimanan terhadap qadha dan takdir Allah subhanahu wa ta’ala. Dia tidak berkeluh kesah atas apa yang menimpanya. Semua itu adalah ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala atas dirinya. Dia meyakini bahwa pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala beriring dengan kesabaran. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (al-Insyirah: 5—6)

Demikian pula sikap syukur. Sikap ini merupakan buah dari keimanan terhadap qadha dan takdir Allah subhanahu wa ta’ala. Seorang mukmin tentu memahami benar bahwa segala nikmat yang ada pada dirinya merupakan pemberian Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allah-lah (datangnya).” (an-Nahl: 53)

Agar nikmat yang ada padanya senantiasa bertambah, maka syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala harus dilakukan. Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan hal ini sebagaimana firman-Nya:

Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian. Dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)

Keimanan terhadap qadha dan takdir secara benar akan menghasilkan buah yang baik, membentuk akhlak yang indah, serta akan melahirkan aktivitas peribadahan yang benar dan beragam. Semua itu akan berdampak pada individu dan masyarakat. Iman kepada qadha dan takdir Allah subhanahu wa ta’ala secara benar bisa membentuk kepribadian seorang muslim yang memancarkan cahaya kemuliaan. Tidak sebagaimana yang disalahpahami oleh sebagian orang bahwa mengimani qadha dan takdir Allah subhanahu wa ta’ala hanya akan melemahkan semangat hidup dan memadamkan kesungguhan beraktivitas. Ini terjadi pada kalangan Jabriyah. Atau sebaliknya, akibat bernafsu mengejar kemajuan hidup, tumbuh pemahaman yang salah terhadap qadha dan takdir. Iman kepada qadha dan takdir Allah subhanahu wa ta’ala dianggap sebagai penghambat kemajuan kaum muslimin. Akibatnya, seorang muslim—menurutnya—tidak perlu beriman kepada qadha dan takdir Allah subhanahu wa ta’ala. Wal ‘iyadzu billah.
Perbuatan yang menjadi sebab-sebab terjadinya satu ketentuan dari Allah subhanahu wa ta’ala tidak mesti meniadakan keimanan terhadap takdir. Bahkan, hal itu bisa menjadi penyempurna bagi keimanan terhadap qadha dan takdir.
Oleh karena itu, wajib bagi seorang hamba—seiring beriman kepada takdir—dia harus pula bersungguh-sungguh beramal. Dia dapat menempuh sebab-sebab yang bisa menyelamatkan seraya berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudahan yang ada padanya menjadi sebab teraihnya kebahagiaan. Allah subhanahu wa ta’ala pun membantunya dalam hal tersebut. (Syarhu Kitab at-Tauhid min Shahih al-Bukhari, 2/629)

Nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah menaruh perhatian terhadap perkara yang dijadikan sebab syar’i dalam beragam urusan kehidupan. Bahkan, sungguh kita telah diperintah untuk beramal, berupaya mengais rezeki, menyiapkan segala sesuatunya untuk menghadapi musuh, menyiapkan bekal untuk safar, dan selainnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi.” (al-Jumu’ah: 10)

“Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekinya.” (al-Mulk: 15)

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu.” (al-Anfal: 60)

Adapun terkait dengan urusan mempersiapkan perbekalan para musafir yang akan berhaji, firman-Nya:

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (al-Baqarah: 197)

Dalam urusan (perintah) berdoa dan memohon pertolongan, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

Dan Rabbmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku perkenankan bagimu.” (al-Mu’min: 60)

“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat.” (al-Baqarah: 45)

(al-Iman bil Qadha wal Qadar, Dr. Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, hlm. 125)

Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah pun menyebutkan hal semisal di atas. Beliau rahimahullah berkata, “Kebanyakan manusia mengira bahwa menetapkan sebab-sebab (terjadinya sesuatu) akan meniadakan keimanan kepada qadha dan takdir. Hal ini tentu merupakan sebuah kesalahan yang sangat keji. Karena akan mengembalikan (pemahaman) terhadap takdir secara keji sekali sehingga menjadikan sebuah hikmah yang batil….”

Pernyataan ini merupakan bukti peniadaan terhadap keberadaan sebab tersebut. Karena sesungguhnya, Allah subhanahu wa ta’ala telah mengaitkan satu keadaan ke keadaan sebagian lainnya, menata sebagian dengan sebagian lainnya, dan mengadakan sebagian atas sebagian lainnya. Lantas, apakah engkau akan tetap mengatakan, wahai orang yang berprasangka lagi jahil, bahwa yang paling utama adalah mendirikan bangunan, tetapi tanpa konstruksi; mengelola bibit (biji-bijian), buah, dan tanaman, tetapi tanpa adanya ladang dan pengairan; mewujudkan adanya anak-anak dan keturunan, tetapi tanpa pernikahan; masuk surga, tetapi tanpa adanya iman dan amal saleh; masuk neraka, tetapi tanpa adanya kekufuran dan maksiat?” (al-Iman bil Qadha wal Qadar, hlm. 126)

Perkembangan bid’ah dalam hal takdir awalnya muncul di Bashrah dan Damaskus. Kemunculannya menjelang akhir masa para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti: Abdullah bin Abbas, Abdullah bin ‘Umar, Anas bin Malik, dan Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhum. Saat itu, para sahabat radhiallahu ‘anhum mengingkari pemahaman bid’ah ini dengan keras, demikian pula menyikapi secara keras terhadap para pelaku dan pengusungnya.

Orang yang pertama melontarkan pernyataan masalah qadar adalah salah satu penduduk kota Bashrah, Irak, yang bernama Sawsan. Dia adalah penjual makanan, asalnya pemeluk agama Nasrani kemudian memeluk Islam. Dari Sawsan inilah Ma’bad al-Juhani menelan pemahaman masalah takdir. Setelah itu, Ghailan bin Muslim ad-Dimasyqi mengambil pemahaman masalah qadar dari Ma’bad al-Juhani. Kedua orang ini, Ma’bad dan Ghailan, merupakan tokoh papan atas dalam menyebarkan pemahaman antitakdir. Bahkan Ghailan dihukum mati lantaran mempertahankan pemahamannya. Walaupun dia sempat bertaubat melalui Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, tetapi sepeninggal Umar bin Abdul Aziz dia kembali ke pemahamannya semula. Karena itu, dia dihukum mati. (al-Iman bil Qadha wal Qadar, hlm. 257)

Muhammad bin Syu’aib berkata, “Saya telah mendengar al-Imam al-Auza’i (imam penduduk Syam) berkata, ‘Orang yang pertama berbicara tentang qadar adalah Sawsan di Irak. Dia dahulu seorang Nasrani. Lantas memeluk Islam, kemudian menjadi Nasrani kembali. Ma’bad mengambil pemahaman tentang qadar darinya. Kemudian Ghailan al-Qadari pun mengambil pemahaman masalah qadar dari Ma’bad.’” (Siyar A’lami an-Nubala’, 4/100)

Semenjak Ma’bad al-Juhani mengumandangkan pemahaman sesat tentang masalah takdir ini, kaum muslimin pun melakukan pengingkaran terhadap pemahaman yang diusung Ma’bad.

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Yahya bin Ya’mar, dia berkata, “Yang pertama kali melontarkan pernyataan tentang takdir adalah Ma’bad al-Juhani. Saat saya dan Humaid bin Abdirrahman al-Himyari berhaji atau umrah, saya katakan, ‘Seandainya kami bertemu dengan salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami akan menanyakan kepadanya perihal apa yang diucapkan mereka tentang masalah takdir.’

(Ternyata) bertepatan dengan saat itu, Abdullah bin Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhuma masuk masjid. Kami mengapit Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma. Salah satu dari kami berada di sebelah kanan beliau, sedangkan lainnya berada di sebelah kirinya.

Karena aku mengira temanku akan menyerahkan pembicaraan kepadaku, maka aku pun berkata kepada Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, ‘Wahai Abu Abdirrahman, sungguh telah tampak di hadapan kami manusia yang membaca Al-Qur’an dan mencari-cari ilmu yang rumit….’

Setelah menyebutkan urusan mereka, sesungguhnya mereka berkeyakinan tidak ada takdir. Sungguh perkara tersebut merupakan unuf, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengetahui hal itu hingga para hamba itu berbuat atau beramal.
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma adalah orang yang menyelisihinya. Sungguh, seandainya salah satu dari mereka memiliki emas sebesar Gunung Uhud, lalu diinfakkan, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menerimanya hingga ia beriman kepada takdir.” (HR. Muslim no. 1)

Disebutkan oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah bahwa lantaran mereka telah mendustakan takdir, terutama mereka mengingkari ilmu Allah subhanahu wa ta’ala, maka kafir. Adapun orang kafir, tentu tidak akan diterima infaknya. Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya, kecuali karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. (at-Taubah: 54) (Lihat Ta’liq ‘ala Shahih Muslim, hlm. 92)

Pernyataan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin di atas terkait ucapan Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma:

لَوْ أَنْفَقَ أَحَدُهُمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا قَبِلَهُ اللهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ

“Sungguh seandainya salah satu di antara mereka memiliki emas sebesar Gunung Uhud lalu diinfakkan, niscaya Allah tidak akan menerimanya hingga dia beriman kepada takdir.” (HR. Muslim, no. 1)

Demikianlah sikap tegas salafush shalih terhadap para pengingkar takdir. Al-Imam Thawus rahimahullah pernah memperingatkan, “Diperingatkan (kepada kalian) terhadap perkataan Ma’bad. Karena sesungguhnya Ma’bad adalah seorang qadari (pengingkar takdir).”

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah menyatakan, “Hati-hatilah kalian terhadap Ma’bad al-Juhani. Sungguh dia itu sesat dan menyesatkan.” (Siyar A’lami an-Nubala’, hlm. 100—101)

Lebih dari itu, hadits dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma menerangkan tentang al-Qadariyyah. Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْقَدَرِيَّةُ مَجُوسُ هَذِهِ الْأُمَّةِ، إِنْ مَرِضُوا فَلَا تَعُودُوهُمْ وَإِنْ مَاتُوا فَلَا تَشْهَدُوهُمْ

“Al-Qadariyyah adalah Majusi umat ini. Jika mereka sakit, janganlah dijenguk, dan jika mati, janganlah dipersaksikan (menghadiri jenazah mereka).” (HR. Abu Dawud no. 4691. Asy-Syaikh al-Albani menyatakan hadits ini hasan. Lihat Syarhu Ushul I’tiqad Ahli as-Sunnah wal Jama’ah, al-Lalikai, hlm. 299)

Era kini, bala tentara al-Qadariyah semakin mendapat angin. Senjata untuk menggempur ahlul-iman dipasok pula dari kalangan filosof. Melalui pemikiran-pemikiran filosof yang ditebar, tidak sedikit umat yang teracuni. Sebagian umat asyik berlogika filsafat, namun setelah itu berujung pada pendangkalan iman. Bahkan sampai menutup mati pintu hati dari cahaya agama. Racun filsafat telah menjadikan hati manusia kufur kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.

Sikap kritis akalnya terhadap Islam menyebabkan keimanannya rusak. Akal kotor menuntun hidupnya, sementara Islam dicampakkan. Wal ‘iyadzu billah.
Sebut saja paham filsafat eksistensialisme humanisme. Paham filsafat yang digagas dari pemikiran Jean Paul Sartre, seorang didikan Yahudi Perancis di Paris ini menyebutkan bahwa manusia harus menjadi dirinya sendiri. Manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memilih (free will). Manusia bebas menentukan dirinya sendiri. Menurut Sartre, manusia bebas karena Allah subhanahu wa ta’ala tidak ada. (Filsafat Eksistensi Karl Jaspers, Harry Hamersma, hlm. 56)

Kebebasan yang disuarakan Sartre hanyalah ingin menegaskan bahwa manusia harus menentukan dirinya sendiri sebagai wujud eksistensinya (keberadaannya) sebagai manusia. Manusia tidak boleh ditentukan oleh keadaan di luar dirinya. Eksistensi manusia tidaklah menjadi hakiki kecuali diri manusia secara mutlak bisa melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendaknya. (al-Iman bil Qadha wal Qadar, hlm. 254)

Inilah bentuk racun yang ditebarkan Jean Paul Sartre. Dia menolak terhadap takdir dan adanya Allah subhanahu wa ta’ala. Karena baginya, manusia harus memiliki kebebasan dalam eksistensinya, tidak boleh diintervensi hal-hal dari luar dirinya, termasuk intervensi dari nilai-nilai agama yang berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala. Keyakinan manusia terhadap takdir hanya akan membelenggu eksistensinya sebagai manusia. Begitulah penjabaran pokok-pokok pemikiran filsafat eksistensialisme humanisme yang digaungkan oleh Jean Paul Sartre. Pemikiran yang menjadikan manusia kufur kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.

Pemikiran yang pada akhirnya akan membuang jauh-jauh keimanan terhadap qadha dan takdir Allah subhanahu wa ta’ala.

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (at-Tin: 4—6)

“Sucikanlah nama Rabbmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan. Dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.” (al-A’la: 1—3)

Sehebat apa pun manusia, dia memiliki keterbatasan. Sebebas apa pun ruang yang dimiliki manusia, pasti ada batas. Segala sesuatu telah Allah subhanahu wa ta’ala ciptakan berdasarkan kadarnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (al-Qamar: 49)

Melalui pemahaman filsafat, keimanan terhadap qadha dan takdir Allah subhanahu wa ta’ala bisa terkikis. Pemahaman Islam yang utuh pun akan bisa tercabik-cabik.
Seseorang yang menjalani filsafat secara mendalam bisa terseret dan berselancar menggunakan logikanya, memikirkan sesuatu yang di luar kapasitas akalnya. Bahkan sesuatu yang gaib pun akan direka dengan logika. Tanpa ada bimbingan Al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai pemahaman salaf ash-shalih. Tanpa disertai tuntunan para ulama rabbani yang teruji kecendekiaan dan kealimannya.
Filsafat bisa memudarkan cahaya keimanan yang telah menetap di hati. Oleh karena itu, melalui filsafat inilah musuh-musuh Islam menggempur akidah kaum muslimin agar luruh luntur. Mereka menancapkan paham rasionalitas tanpa batas dan jauh dari nilai kebenaran melalui dunia pendidikan. Oleh karena itu, lahirlah para pemikir agama yang tidak memiliki semangat beragama dalam jiwanya. Hatinya kering kerontang. Hampa, tiada cahaya keimanan membersit dari lubuk hati. Melontar pemikiran tanpa bingkai keimanan. Apa yang ditawarkan tak menjadikan hati hidup, tak menjadikan akal tunduk, tak menghujamkan keimanan yang makin kukuh tangguh. Akhir dari petualangan mengulum filsafat menjadikan akidah luntur, kufur tiada syukur. Nas’alullaha as-salamah.
Ahlus Sunnah bersaksi dan meyakini sesungguhnya kebaikan dan keburukan, manfaat dan mudarat, manis dan pahit lantaran qadha dan takdir. Tidak menyeleweng dan menyimpang dari keduanya. Ini sesuai dengan hadits Jibril saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang Islam. Jibril berkata, “Wahai Muhammad, kabarkan kepadaku tentang Islam!”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Islam adalah Engkau bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah, sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, Engkau tegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah bila mampu menempuh perjalanannya.”

Jibril lantas berkata, “Engkau benar.” Kami pun terheran. Dia bertanya, dia pula yang membenarkannya.

Lantas Jibril bertanya kembali, “Beritahukan kepadaku tentang iman.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, serta engkau beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.” Jibril kemudian berkata, “Engkau benar.” (Syarhu Aqidati as-Salaf Ashabil Hadits, asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Umair al-Madkhali hafizhahullah, hlm. 212)

Mengimani masalah takdir meliputi empat perkara:

  1. Mengimani bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui segala sesuatu, secara global maupun terperinci, azali (terdahulu) dan abadi, baik itu terkait perbuatan Allah subhanahu wa ta’ala maupun perbuatan hamba-hamba-Nya.
    2. Mengimani bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menuliskan semua hal itu di Lauhil Mahfudz. Dua perkara ini disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala pada firman-Nya:

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (al-Hajj: 70)

Dalam Shahih Muslim, dari Abdillah bin Amr bin al-‘Ash radhiallahu ‘anhuma, dia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah bersabda:

كَتَبَ اللهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Allah telah menuliskan takdir segenap makhluk lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim, no. 2653, at-Tirmidzi, no. 2156, dan selain keduanya).

  1. Mengimani bahwa seluruh yang ada tidak akan terjadi melainkan atas kehendak Allah subhanahu wa ta’ala, baik segala sesuatu yang terkait dengan perbuatan Allah subhanahu wa ta’ala maupun hal-hal terkait perbuatan makhluk-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman terkait perbuatan-Nya:

“Dan Rabbmu mencipta apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.” (al-Qashash: 68)

“Dan (Allah) memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (Ibrahim: 27)

“Dialah yang membentukmu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya.” (Ali ‘Imran: 6)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman terkait perbuatan makhluk-Nya:

“Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan terhadap mereka, lalu pasti mereka memerangimu.” (an-Nisa’: 90)

“Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (al-An’am: 112)

  1. Mengimani bahwa seluruh yang ada adalah makhluk Allah subhanahu wa ta’ala, baik zat, sifat, maupun gerakannya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Allah menciptakan segala sesuatu dan dia memelihara segala sesuatu.” (az-Zumar: 62)

“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (al-Furqan: 2)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya Ibrahim ‘alaihissalam berkata kepada kaumnya:

“Padahal Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu.” (ash-Shaffat: 96)

Mengimani takdir sebagaimana telah kami uraikan di atas, tidaklah lantas meniadakan kehendak bagi seorang hamba dalam perbuatan-perbuatan yang bersifat ikhtiar (memilih) dan kemampuan atas hal itu. Karena sesungguhnya syariat dan kenyataan yang ada memastikan adanya kehendak dan kemampuan bagi setiap orang. (Syarhu al-Ushul ats-Tsalatsah, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah, hlm. 191—192).

Wallahu a’lam.

 Ditulis oleh al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin

Catatan Kaki:

1 Karena bersyukur itu tidak semata mengucapkan, “Saya bersyukur kepada Allah.” Akan tetapi, harus ada pengamalan ketaatan kepada-Nya.