Takdir Berjalan Seiring Syari’at

Kejahilan merupakan sumber segala petaka. Oleh karena itu, Islam memerintahkan pemeluknya untuk berjuang demi mengangkat kejahilan dari dirinya. Islam mengajak dan menyeru umat untuk menuntut ilmu syar’i dan memperdalam pemahamannya tentang agama. Hanya dengan ilmu, yang bersumber dari Al-Qur’an dan as-Sunnah, seorang hamba akan menggapai ketenangan dan kebahagiaan, baik dunia maupun akhirat.

Dengan sebab kejahilan, sebagian kalangan berusaha untuk “ikhtiar” dengan mendatangi dukun dan paranormal. “Untuk merubah nasib,” katanya. Padahal, mendatangi dukun atau paranormal bukan termasuk ikhtiar yang diizinkan oleh syariat. Disebabkan tidak mampu memahami takdir dan ikhtiar berikut bentuk-bentuk ikhtiar dengan baik, hal itu pun terjadi.

Atau contoh kejahilan lainnya. Munculnya anggapan, “Kalau beriman dengan takdir akan menjadi sebab kemunduran umat!” Mereka, karena kejahilan, meyakini dengan mengimani takdir akan menjadikan hamba malas untuk bekerja dan berusaha. Padahal, usaha dan bekerja keras merupakan bagian dari takdir juga. Sekali lagi, kesalahan berpikir semacam ini karena kejahilan.
Dengan memohon taufik dan kemudahan dari Allah Yang Maha Pemurah, kami akan menyumbangkan sedikit uraian tentang takdir. Semoga bermanfaat.

Urgensi Beriman Kepada Takdir

Seorang hamba harus beriman kepada takdir karena mengimani takdir termasuk bagian dari enam rukun iman. Beriman kepada takdir merupakan bentuk kesempurnaan tauhid rububiyah, wujud nyata dari hakikat tawakal seorang hamba dan sikap penyerahan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, disertai usaha untuk melakukan sebab-sebab yang dibenarkan dan bermanfaat. Dengan beriman kepada takdir, seorang hamba akan mampu meraih ketenangan dalam hidupnya. Hal ini karena ia meyakini bahwa setiap perkara yang ditakdirkan akan menimpa dirinya, tidak mungkin meleset. Sebagaimana ia meyakini pula, semua yang ditakdirkan akan luput dari dirinya, tidak akan mungkin menimpanya.

Mengimani takdir Allah subhanahu wa ta’ala akan mendidik hamba untuk tidak merasa ujub saat cita-citanya tercapai, sebab ia yakin bahwa tercapainya cita-cita tersebut karena telah ditakdirkan. Usaha yang ia lakukan tidak lain hanyalah sebab. Allah subhanahu wa ta’ala jua yang memudahkannya untuk melakukan sebab tersebut.

Beriman kepada takdir Allah subhanahu wa ta’ala akan membimbing setiap hamba untuk tidak goncang dan bersedih saat keinginannya gagal tercapai, atau saat ia menghadapi kondisi yang tidak menyenangkan. Ia telah meyakini bahwa seluruh alur kehidupan telah diatur oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Maka dari itu, ia memilih sikap ridha dan menerima selapang hati. Tentang hal di atas, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (al-Hadid: 22—23)

(Taqrib at-Tadmuriyah, Ibnu Utsaimin, hlm. 113—114)

Letak Penting Syariat

Seorang hamba harus beriman kepada syariat. Syariat adalah seluruh ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa perintah, larangan, dan konsekuensi yang terkait, yaitu balasan, pahala, atau hukuman. Jadi, setiap hamba berkewajiban melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, serta harus beriman akan adanya balasan, pahala, atau hukuman.

Hal ini karena setiap orang diciptakan dengan memiliki kehendak dan keinginan. Dengan adanya kehendak pada dirinya, seorang hamba akan berusaha memperoleh apa yang ia inginkan dan menghindari apa yang tidak ia inginkan. Namun, manusia juga memerlukan hukum-hukum untuk mengatur kehendak dan keinginannya agar ia tidak terjatuh pada hal yang akan merugikannya. Juga agar ia tidak kehilangan hal yang akan memberinya manfaat, tanpa ia sadari.

Syariat Ilahi, yang diajarkan oleh para rasul, adalah hukum-hukum tersebut. Dengan keberadaan syariat tersebut, sebuah hukum ditentukan. Akan terpisahkan antara hal yang mendatangkan manfaat dan sesuatu yang membawa kerugian, antara kebaikan dan kerusakan, karena syariat tersebut datang dari sisi Allah, Dzat Yang Maha Mengetahui, Dzat Yang Maharahmat, dan Dzat Yang Mahahikmah.

Akal manusia, walaupun mampu menentukan hal yang bermanfaat atau bermudarat, kemampuannya terbatas. Akal tidak dapat mengetahuinya secara detail dan terperinci. Hanya syariatlah yang dapat menentukannya secara sempurna.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Oleh karena itu, kami berpendapat, manfaat dan mudarat dapat diketahui oleh fitrah, diketahui oleh akal, terkadang diketahui dengan pengalaman, dan bisa diketahui melalui syariat. Syariat datang untuk mendukung fitrah, akal, dan pengalaman. Fitrah, akal, dan pengalaman pun mendukung syariat.” (Taqrib at-Tadmuriyah, hlm. 113—114)

Ditulis oleh al-Ustadz Mukhtar Ibnu Rifai