Membuka Wajah didepan Ipar dan Hukum Anak yang Telah Baligh

 1. Apakah dibolehkan dalam syariat ini seorang istri membuka wajahnya di hadapan saudara laki-laki suaminya (ipar) atau di hadapan anak laki-laki dari paman suami (sepupu suami)?

2. Apakah dibolehkan anak laki-laki yang telah baligh tidur bersama ibunya atau saudara perempuannya?

Jawab:

Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’ memberikan jawaban:

Pertama: saudara lelaki suami (ipar) dan sepupunya yang laki-laki bukanlah mahram bagi si istri dengan semata-mata mereka saudara suami atau putra pamannya. Karena itu tidak boleh bagi si istri membuka apa yang tidak boleh ia buka terkecuali di hadapan mahram-mahramnya, sekalipun ipar atau sepupu suaminya itu adalah lelaki yang shalih yang bisa dipercaya. Karena Allah l membatasi orang-orang yang diperkenankan melihat perhiasan seorang wanita sebagaimana dalam ayat:

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara lelaki mereka, atau putra-putra dari saudara laki-laki mereka, atau putra-putra dari saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…” (An-Nur: 31)

Juga berdasarkan sabda Rasulullah n:

يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ

“Diharamkan dari penyusuan apa yang haram karena nasab.”[1]

Sementara saudara lelaki suami (ipar) dan putra-putra pamannya tidak termasuk dari mereka yang disebutkan di atas. Allah l tidak pula membedakan dalam hal ini antara orang yang shalih dengan yang tidak shalih. Semuanya dalam rangka menjaga kehormatan dan menutup pintu yang mengantarkan pada kerusakan dan kejelekan.

Dalam hadits yang shahih disebutkan bahwa Nabi n ditanya tentang al-hamwu, maka beliau menjawab:

الْحَمْوُ الْمَوْتُ

“Al-Hamwu adalah maut[2].”

Yang dimaksud dengan al-hamwu dalam hadits di atas adalah saudara lelaki suami (ipar) dan semisalnya yang bukan termasuk mahram si istri.

Maka hendaknya seorang muslim menjaga agamanya dan melindungi kehormatannya.

Kedua: Tidak boleh bagi anak laki-laki yang sudah baligh atau usia mereka telah mencapai 10 tahun untuk tidur bersama ibu atau saudara perempuan mereka di tempat pembaringan mereka atau di kasur mereka, dalam rangka menjaga kemaluan, menjauhkan dari kobaran fitnah dan menutup pintu yang menuju kepada kejelekan.

Nabi n telah memerintahkan untuk memisahkan anak-anak pada tempat tidur mereka apabila mereka telah mencapai usia 10 tahun. Beliau bersabda:

مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعٍ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka bila enggan menunaikan shalat saat mereka mencapai usia sepuluh tahun dan pisahkan di antara mereka pada tempat tidurnya[3].”

Dalam Al-Qur’an, Allah l memerintahkan anak-anak yang belum baligh agar minta izin ketika hendak masuk rumah[4] pada tiga waktu yang di situ orangtuanya biasa membuka pakaian dan waktu aurat biasa tersingkap. Allah l menekankan hal tersebut dengan menamakan tiga waktu tersebut sebagai waktu-waktu aurat. Allah l berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kalian miliki dan anak-anak yang belum baligh di antara kalian, meminta izin kepada kalian tiga kali dalam sehari (bila hendak masuk ke tempat/kamar kalian), yaitu; sebelum shalat subuh, ketika kalian menanggalkan pakaian kalian di tengah hari dan setelah shalat isya. Itulah tiga aurat bagi kalian. Tidak ada dosa atas kalian dan tidak pula atas mereka selain dari tiga waktu tersebut (bila kalian membiarkan mereka masuk tanpa izin). Mereka melayani kalian, sebagian kalian ada keperluan kepada sebagian yang lain. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat kepada kalian. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha memiliki hikmah.” (An-Nur: 58)

Adapun untuk orang-orang yang telah baligh, Allah l perintahkan untuk meminta izin di setiap waktu ketika hendak masuk rumah. Dia Yang Maha Tinggi berfirman:

“Dan apabila anak-anak dari kalangan kalian telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin (di setiap waktu) seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah l menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha memiliki hikmah.” (An-Nur: 59)

Semua ini ditetapkan dalam rangka menolak fitnah, menjaga kehormatan, dan memutus perantara-perantara kejelekan.

Bila anak lelaki tersebut usianya kurang dari sepuluh tahun maka masih boleh tidur bersama ibunya atau saudara perempuannya, karena dia masih butuh penjagaan dan untuk mencegah perkara yang dikhawatirkan perlu disertai dengan ketentuan aman dari fitnah.

Akan tetapi, ketika aman dari fitnah, walaupun anak-anak tersebut telah baligh, boleh bagi mereka tidur bersama-sama dalam satu kamar/satu tempat, di mana masing-masingnya tidur di ranjang/kasur/tempat tidurnya yang khusus (satu orang satu tempat tidur/kasur). Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. (Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’, ketua Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibnu Abdillah ibn Baz t. Wakil Ketua: Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi. Anggota: Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud, fatwa no. 1600, Fatawa Al-Lajnah, 17/407-409)

BICARA DENGAN IPAR

Bagaimana seharusnya hubungan saya dengan saudara-saudara lelaki suami saya berikut keluarganya dari kalangan lelaki? Saya sendiri, alhamdulillah, memakai niqab (cadar) dan mereka tidak pernah melihat wajah saya. Apakah diperkenankan saya mengajak bicara mereka sementara kami (saya dan suami serta saudara-saudara ipar) tinggal di satu rumah, hanya saja kami (saya dan suami) mendapat tempat yang khusus dari rumah tersebut (sehingga bisa menegakkan hijab). Terkadang salah seorang dari mereka sakit, apakah dibolehkan bagi saya untuk menanyakan keadaannya?

Jawab:

Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’ memberikan jawaban:

“Bila kenyataannya sebagaimana yang disebutkan maka boleh bagimu mengajak bicara mereka dan menanyakan keadaan mereka serta berbicara dengan mereka dalam perkara-perkara yang mubah. Akan tetapi tanpa melembutkan suara dan mendayu-dayu dalam berucap dan juga tanpa berkhalwat (bersepi-sepi/berduaan) dengan lelaki dari kalangan mereka.yang bukan mahrammu.” (Fatwa no. 7778, Fatawa Al-Lajnah, 17/404-405)


[1] HR. Muslim dalam Shahih-nya.

Dari sisi kemahraman, hubungan penyusuan berlaku sama dengan hubungan karena nasab. Contohnya ayah kandung adalah mahram bagi seorang wanita, demikian pula ayah susu, yakni suami dari ibu susunya. Sehingga haram bagi ayah susunya menikahinya dan boleh bagi ayah susu berduaan dengannya dan safar bersamanya.

Saudara laki-laki karena nasab merupakan mahram, demikian pula saudara laki-laki sesusuan. Demikian seterusnya.

[2] HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya.

[3] HR. Abu Dawud, derajatnya hasan bila dikumpulkan seluruh jalannya.

Karena bila anak-anak tersebut satu tempat tidur dimungkinkan aurat-aurat mereka tersingkap sehingga yang satu bisa melihat aurat yang lain. Juga mungkin terjadi sentuhan tubuh di antara mereka sehingga dapat membangkitkan syahwat, khususnya di antara anak lelaki yang sudah baligh dengan anak perempuan yang sudah baligh, bahkan di antara sesama anak lelaki ataupun sesama anak perempuan yang sudah baligh. Ada beberapa ucapan ulama dalam masalah ini:

Al-Munawi t berkata setelah membawakan hadits di atas, “Maksudnya pisahkanlah anak-anak kalian pada tempat pembaringan mereka yang mereka biasa tidur di situ bila mereka telah mencapai usia sepuluh tahun dalam rangka menghindari bergeloranya syahwat, walaupun mereka itu sesama anak perempuan.”

Ath-Thibi berkata, “Rasulullah n mengumpulkan antara perintah shalat dengan perintah memisahkan anak-anak pada tempat tidur mereka di masa kecil mereka dalam rangka mendidik mereka, menjaga seluruh perintah Allah l dan mengajarkan mereka bagaimana cara bergaul di antara sesama makhluk. Disamping itu, agar mereka tidak berada pada posisi di mana mereka bisa dituduh jelek atau pada keadaan yang bisa menjerumuskan mereka kepada fitnah. Dengan tarbiyah di masa kecil ini, mereka pun akan menjauhi perkara-perkara yang diharamkan.” (Faidhul Qadir Syarhu Al-Jami’ Ash-Shaghir, 5/521)

[4] Masuk ke kamar orangtuanya misalnya.