(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi)
Islam yang dibawa Rasulullah n merupakan rahmat bagi alam semesta. Keberadaannya sebagai agama yang sempurna dan diridhai Allah l benar-benar menyinari perjalanan hidup umat manusia, baik sebagai komunitas maupun individu. Semenjak belia, kehidupan anak manusia telah ditata sebaik-baiknya dalam Islam. Pada hari ketujuh dari kelahirannya, disyariatkan untuk disembelihkan dua ekor kambing (bila lelaki) dan bila perempuan disembelihkan satu ekor kambing, sebagai nasikah (aqiqah)nya. Pada hari itu pula diberi nama dan dibersihkan rambutnya (digundul). Rasulullah n bersabda:
كُلُّ غُلَامٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
“Setiap anak kecil tergadaikan dengan aqiqahnya, pada hari ketujuh (dari kelahirannya) disembelihkan untuknya, digundul, dan diberi nama.” (HR. Abu Dawud, dari sahabat Samurah bin Jundub z. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2838)
Beliau n juga bersabda:
عَنِ الْغُلَامِ شَاتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ، لَا يَضُرُّكُمْ أَذُكْرَانًا كُنَّ أَمْ إِنَاثًا
“Tentang (aqiqah) anak lelaki dua ekor kambing dan anak perempuan satu ekor kambing. Tidak masalah, apakah kambing tersebut jantan ataukah betina.” (HR. Abu Dawud, dari sahabat Ummu Kurzin x. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2835)
Demikian pula selanjutnya dari perjalanan hidupnya; masa tumbuh kembang, masa dewasa, dan masa tua, tak lupa diperhatikan oleh Islam baik dalam hal jasmani maupun rohani. Setelah meninggal dunia sekalipun, Islam masih memerhatikannya; disyariatkan baginya untuk dimandikan, dikafani, dishalati, dan dimakamkan dengan penuh hormat. Tak berhenti sampai di situ. Segala hal yang terkait dengan harta waris yang ditinggalkannya pun diatur dengan seadil-adilnya, bahkan dipaparkan sejelas-jelasnya dalam kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah n, sebagaimana yang akan disebutkan dalam pembahasan ‘Dasar Pijakan Ilmu Al-Faraidh’.
Para ulama pun tak tinggal diam. Mereka merangkum berbagai masalah penting seputar permasalahan waris tersebut dalam spesialisasi ilmu tertentu yang dikenal dalam khazanah ilmu-ilmu Islam dengan sebutan ilmu al-faraidh. Sebuah ilmu yang tergolong penting dalam Islam, mengingat hukum waris Islam semuanya tercakup dalam ilmu tersebut dan umat pun (dalam setiap generasinya) senantiasa membutuhkannya.
Sahabat Umar bin Al-Khaththab z mengatakan: “Pelajarilah ilmu al-faraidh, karena ia bagian dari agama kalian.” (Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, hal. 15)
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah l, untuk mengetahui lebih jelas tentang ilmu al-faraidh, ikutilah dengan saksama pembahasan berikut ini.
Definisi Ilmu Al-Faraidh
Menurut Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, definisi ilmu al-faraidh yang paling tepat adalah apa yang disebutkan Ad-Dardir dalam Asy-Syarhul Kabir (juz 4, hal. 406), bahwa ilmu al-faraidh adalah: “Ilmu yang dengannya dapat diketahui siapa yang berhak mewarisi dengan (rincian) jatah warisnya masing-masing dan diketahui pula siapa yang tidak berhak mewarisi.” (Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 11)
Pokok Bahasan Ilmu Al-Faraidh
Pokok bahasan ilmu al-faraidh adalah pembagian harta waris yang ditinggalkan si mayit kepada ahli warisnya, sesuai bimbingan Allah l dan Rasul-Nya n. Demikian pula mendudukkan siapa yang berhak mendapatkan harta waris dan siapa yang tidak berhak mendapatkannya dari keluarga si mayit, serta memproses penghitungannya agar dapat diketahui jatah/bagian dari masing-masing ahli waris tersebut. (Lihat Al-Khulashah Fi ‘Ilmil Faraidh karya Nashir bin Muhammad Al-Ghamidi, hal. 21)
Dasar Pijakan Ilmu Al-Faraidh
Dasar pijakannya adalah Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah n, dan ijma’. Adapun Al-Qur’an, maka sebagaimana termaktub dalam Surah An-Nisa’ ayat 11, 12, dan 176. Allah l berfirman:
“Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian harta waris untuk) anak-anak kalian. Yaitu: bagian (jatah) seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga (2/3) dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh setengah harta (1/2), dan untuk kedua orangtua (ibu bapak), bagi masing-masingnya seperenam (1/6) dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga (1/3); jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam (1/6). (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orangtua dan anak-anak kalian, maka kalian tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan bagi kalian (para suami) setengah (1/2) dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kalian, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istri kalian itu mempunyai anak, maka kalian mendapat seperempat (1/4) dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat (1/4) harta yang kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak. Jika kalian mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan (1/8) dari harta yang kalian tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kalian buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utang kalian. Jika seseorang mati, baik lelaki maupun perempuan yang tidak meninggalkan bapak dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara lelaki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam (1/6) harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga (1/3) itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah l menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.” (An-Nisa’: 11-12)
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: ‘Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu setengah dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang lelaki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara lelaki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepada kalian, supaya kalian tidak sesat, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisa’: 176)
Sedangkan Sunnah Rasulullah n, maka sebagaimana sabda beliau n:
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ
“Berikanlah bagian/jatah waris yang Allah tentukan (1/2, 1/3, ¼, 1/6, 1/8, 2/3) kepada para pemiliknya, sedangkan apa yang tersisa adalah untuk ahli waris lelaki yang paling kuat (berhak).” (HR. Al-Bukhari, no. 6733, dari sahabat Abdullah bin Abbas c)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t berkata: “Ayat-ayat tersebut (An-Nisa’: 11-12, pen.) dan ayat terakhir dari surat An-Nisa’ merupakan ayat-ayat yang mengandung sistem waris Islam. Sesungguhnya ayat-ayat tersebut dan hadits Abdullah bin Abbas c yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari:
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ
“Berikanlah bagian/jatah waris yang Allah tentukan (1/2, 1/3, ¼, 1/6, 1/8, 2/3) kepada para pemiliknya, sedangkan apa yang tersisa untuk ahli waris lelaki yang paling kuat (berhak).”
mencakup mayoritas bahkan semua hukum waris sebagaimana yang akan anda lihat nanti, kecuali jatah waris nenek. Akan tetapi telah ditetapkan dalam beberapa kitab Sunan dari sahabat Al-Mughirah bin Syu’bah dan Muhammad bin Maslamah c bahwa Nabi n telah memberi nenek jatah waris 1/6 (seperenam), seiring dengan adanya ijma’ ulama dalam masalah tersebut.” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 132)
Hal serupa dinyatakan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t dalam Tashilul Faraidh (hal. 6) dan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah dalam At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah (hal. 8). Hanya saja dalam pernyataan Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t terdapat penyebutan ijma’ yang juga merupakan dasar pijakan dalam masalah waris.
Tujuan Ilmu Al-Faraidh
Tujuan ilmu al-faraidh adalah menyampaikan segenap hak waris kepada yang berhak mendapatkannya. (Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 9, Tashilul Faraidh, hal. 11 dan Al-Khulashah Fi Ilmil Faraidh hal. 22 dan 26)
Hukum Mempelajari Ilmu Al-Faraidh
Hukum mempelajarinya adalah fardhu kifayah. Jika sebagian dari umat ini ada yang mempelajarinya, maka gugurlah dosa (kewajiban) bagi yang lainnya. (Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 9, Tashilul Faraidh, hal. 11 dan Al-Khulashah Fi Ilmil Faraidh hal. 22 dan 26).
Wallahu a’lam.