Menikah, Memperbanyak Umat Rasul

kado-ultah

 

 Janur Kuning

Pernikahan dalam Islam sebagai satu sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia memiliki banyak tujuan yang bermanfaat bagi insan. Di antara tujuannya yang paling agung adalah mendapatkan keturunan.

Mengapa dikatakan paling agung? Karena anak-anak yang terlahir dari pernikahan yang syar’i akan melanggengkan keberadaan manusia di muka bumi, selama umur bumi masih ada. Selain itu, anak-anak tersebut akan memperbanyak umat manusia, terkhusus umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi dorongan untuk hal tersebut dalam titahnya yang agung,

“Nikahilah perempuan yang wadud, yang walud karena aku membanggakan banyaknya kalian[1].” (HR. an-Nasa’i, al- Imam al-Albani rahimahullah menyatakan derajat hadits ini hasan sahih sebagaimana dalam Irwa’ul Ghalil no. 1784 dan Adab az-Zifaf hlm. 61)

Wadud adalah sangat mencintai suami[2]. Adapun walud adalah banyak melahirkan atau subur rahimnya[3]. Lalu apa hubungannya sifat wadud dengan walud? Karena rasa cinta adalah perantara menuju hubungan yang menjadi sebab terciptanya keturunan. (Sunan an-Nasa’i dengan Hasyiyah al- Imam as-Sindi, 6/66)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian karena kata Ma’qil bin Yasar radhiallahu ‘anhu, “Datang seorang lelaki menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dia berkata, ‘Aku menyenangi seorang wanita yang punya nasab yang mulia dan punya kedudukan (di mata manusia), hanya saja dia mandul[4]. Apakah boleh saya menikahinya?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang si lelaki untuk menikahi wanita tersebut. Sampai-sampai dia datang meminta izin untuk ketiga kalinya, namun tetap saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dan justru mengucapkan titah di atas.”

Di kali lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia mendorong para sahabatnya untuk “mencampuri” istri-istri mereka sepulang dari safar, dengan tujuan salah satunya adalah akan didapatkan anak dari hubungan tersebut. Kata beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Janganlah kalian terburu-buru menemui keluarga kalian sampai kalian tiba di waktu malam, yakni isya (awal malam), agar para istri (yang mendengar kepulangan kalian) sempat merapikan/menyisiri rambutnya yang acak-acakan dan yang belum mencukur rambut kemaluannya sempat pula melakukannya[5]. Kemudian (setelah bertemu istri kalian) al-kais, al-kais.” (HR. al-Bukhari no. 5245 dan Muslim no. 3625)

Al-Kais yang dimaksud di sini adalah mencampuri istri, demikian kata al- Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah dan selainnya. (Fathul Bari, 9/424)

Maknanya adalah dorongan untuk mendapatkan keturunan (dari hubungan tersebut). (al-Minhaj, 10/296)

Apabila Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menghendaki umat beliau menjadi umat yang terbanyak dibanding umat nabi-nabi selain beliau, tentu keinginan yang menyelisihinya berupa ‘pembatasan keturunan’ tidaklah pantas. Menetapkan jumlah anak harus sekian dan sekian adalah aturan yang menyimpang dari syariat.

Kalau alasan ekonomi yang dikemukakan, ‘zaman semakin sulit, susah memberi makan’, ‘takut tidak bisa memberi makan’, ‘sekarang lagi krisis moneter’, atau ‘sedang masa krisis ekonomi’, telah dijawab oleh firman Allah ‘azza wa jalla,

“Janganlah kalian membunuh anakanak kalian karena takut miskin. Kamilah yang memberikan rezeki kepada kalian dan kepada mereka.” (al-An’am: 151)

Allah ‘azza wa jalla yang memiliki nama ar-Razzaq (Dzat Yang Maha Memberikan rezeki)-lah yang menanggung rezeki hamba-hamba-Nya, baik di langit maupun di bumi, dan apa yang ada di antara keduanya.

“Dan tidak ada satu makhluk melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberikan rezekinya.” (Hud: 6)

“Dan berapa banyak binatang yang tidak dapat membawa (mengurus) rezekinya sendiri, Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan juga kepada kalian.” (al-Ankabut: 60)

Bukankah sejak janin berusia empat bulan dalam kandungan ibunya telah ditetapkan rezekinya sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu?

Karena itu, harus diyakini tanpa keraguan bahwa setiap anak lahir membawa rezekinya masing-masing. Orang tuanya tidak perlu mengkhawatirkan rezeki mereka. Berbeda halnya kalau pengaturan jarak untuk ‘punya anak lagi’ atau pembatasan ‘tidak bisa punya anak lagi’ karena alasan yang dibolehkan oleh syariat, sebagaimana akan dijelaskan.

 

Hukum Pemutusan Keturunan

Memutus keturunan sama sekali hukumnya haram sebagaimana pernyataan para ulama karena menentang apa yang diinginkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari umat beliau. Selain itu, perbuatan tersebut termasuk sebab kelemahan dan kehinaan kaum muslimin. Apabila kaum muslimin jumlahnya banyak, itu adalah kemuliaan dan ketinggian bagi mereka.

Karena itulah, Allah ‘azza wa jalla menyebutkan anugerah-Nya kepada bani Israil ketika Dia ‘azza wa jalla memperbanyak jumlah mereka,

“Kami jadikan kalian kelompok yang lebih besar.” (al-Isra: 6)

Nabi Syu’aib q mengingatkan kaumnya tentang nikmat Allah ‘azza wa jalla atas mereka dengan banyaknya jumlah mereka,

“Ingatlah waktu dahulu kalian berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kalian.” (al-A’raf: 86)

Kenyataan membuktikan hal ini. Umat yang banyak tidak akan tergantung dan membutuhkan yang selain mereka. Karena itu, mereka berwibawa di hadapan musuh-musuhnya.

Oleh karena itu, seseorang tidak boleh melakukan sesuatu yang mengarah pada memutus keturunan sama sekali, kecuali karena alasan darurat, mau tidak mau harus

dilakukan. Misalnya, jika seorang wanita berisiko kematian apabila sampai hamil, menurut keterangan dokter muslim yang tepercaya. Keadaan seperti ini adalah darurat, tidak apa-apa dilakukan terhadap si ibu. Inilah uzur yang membolehkan pemutusan keturunan (tidak punya anak lagi).

Demikian pula apabila rahim ibu mengalami gangguan/penyakit yang apabila hamil dikhawatirkan akan memudaratkan dirinya dan rahimnya terpaksa diangkat, yang seperti ini tidak apa-apa. (Fatawa Ibnu Utsaimin, 2/836)

 

Hukum Pembatasan Keturunan

Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah pernah ditanya tentang pembatasan jumlah anak. Beliau menegaskan, “Membatasi keturunan karena khawatir rezeki yang sempit tidaklah dibolehkan, karena rezeki itu di tangan Allah ‘azza wa jalla, Dialah yang menentukan ajal dan rezeki hambahamba- Nya. Tidak ada satu anak pun yang lahir melainkan telah ditentukan rezekinya sebagaimana telah ditentukan ajalnya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

“Janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut miskin. Kamilah yang memberikan rezeki kepada kalian dan kepada mereka.” (al-An’am: 151)

Perbuatan membatasi keturunan serupa dengan perbuatan orang-orang jahiliah yang membunuh anak-anak mereka karena takut fakir. Hanya saja, perbuatan orang-orang belakangan dalam bentuk mencegah punya anak karena takut miskin, sedangkan orangorang jahiliah benar-benar membunuh anak mereka yang sudah lahir karena takut miskin.

Bagaimana pun keadaannya, alasannya sama dan tentu hal semisal ini tidak dibolehkan. Yakinlah rezeki itu di tangan Allah ‘azza wa jalla. Perbuatan membatasi keturunan karena takut miskin adalah sikap berburuk sangka kepada Allah ‘azza wa jalla. Yang wajib bagi kita, orang tua, adalah bertawakal kepada Allah ‘azza wa jalla. Percayalah bahwa Allah ‘azza wa jalla memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batasan. Karena itu, berbaik sangkalah kepada Rabbmu. Jangan sampai berbagai bisikan dan kekhawatiran yang tidak sepantasnya mengusikmu, sedangkan engkau tidak tahu mana yang baik dan bermaslahat bagimu. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

“Bisa jadi kalian membenci sesuatu, padahal sesuatu itu amat baik bagi kalian. Dan bisa jadi kalian menyukai sesuatu padahal dia amat buruk bagi kalian. Allah-lah Yang Maha Mengetahui sementara kalian tidak mengetahui.” (al-Baqarah: 216)

Di kesempatan lain, Fadhilatusy Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Menginginkan anak dan keturunan adalah hal yang disyariatkan. Hal itu akan memperbanyak jumlah umat Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memberikan anjuran agar seorang lelaki menikahi perempuan yang subur rahimnya. Kata beliau, ‘Aku berbangga-bangga di hadapan umat yang lain dengan banyaknya kalian pada hari kiamat’.”

Jadi, menginginkan anak adalah hal yang disyariatkan bagi kaum muslimin dan sepantasnya menjadi perhatian dan semangat (orang-orang didorong untuk memperbanyak keturunan).

Adapun membatasi keturunan, ini adalah pemikiran buruk yang disisipkan oleh musuh-musuh Islam yang ingin melemahkah kaum muslimin dan meminimalkan jumlah mereka.

Membatasi keturunan tidak dibolehkan oleh Islam karena bertentangan dengan tujuan syar’i, yaitu memperbanyak individu umat Islam dan memperbanyak orang-orang yang beramal di tengah masyarakat.

Membatasi keturunan berarti juga mengurangi kemampuan manusia yang telah Allah ‘azza wa jalla ciptakan mereka untuk memakmurkan alam ini. Dengan banyaknya keturunan anak manusia, akan tercapai kemaslahatan bagi individu, masyarakat, dan umat.

Pemikiran untuk membatasi keturunan yang disusupkan ke tengah-tengah kaum muslimin berhasil memengaruhi sebagian orang yang lalai atau lemah iman. Mereka terpengaruh dan mengikutinya (bahkan turut mempropagandakannya dan menjadi pendukungnya di garis depan). Padahal yang wajib atas mereka adalah menghapus pemikiran ini dari benak mereka (dan dari orang lain). Semestinya mereka justru bersemangat punya keturunan yang banyak. Rezeki anak-anak itu di tangan Allah ‘azza wa jalla.

Banyaknya keturunan akan mendatangkan kebaikan, karena Allah ‘azza wa jalla tidaklah menciptakan satu jiwa kecuali telah menciptakan rezekinya. Selain itu, Dia memudahkan kemaslahatan bagi jiwa tersebut. Adapun keluhan atau ancaman dengan krisis ekonomi dan (teori bahwa) banyaknya penduduk akan berdampak kurangnya pangan dan rezeki, adalah wahyu dari setan dan pengikutnya yang tidak beriman kepada Allah ‘azza wa jalla dan takdir-Nya.

Orang-orang yang beriman kepada Allah ‘azza wa jalla bersandar dan bertawakal kepada-Nya. Karena itu, Allah ‘azza wa jalla menyatakan,

“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi orang tersebut jalan keluar. Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (ath-Thalaq: 2-3)

Kebiasaan orang-orang musyrikin dahulu mereka membunuh anak-anak mereka karena takut miskin maka Allah ‘azza wa jalla melarang dengan firman-Nya,

“Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut miskin. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepada kalian.” (al-Isra: 31)

Hal ini menunjukkan rezeki itu di tangan Allah ‘azza wa jalla dan setiap jiwa telah Dia ‘azza wa jalla tentukan rezekinya. Memperbanyak keturunan akan memperbanyak rezeki, meningkatkan produksi/hasil, dan memperbanyak orang-orang yang bekerja (untuk memakmurkan alam ini), atau orang-orang yang beramal. (al- Muntaqa, 4/172—173)

 

Hukum Pengaturan Jarak Kehamilan

Apabila pengaturan ‘punya anak’ atau menunda kehamilan karena faktor kesehatan istri, seperti tidak bisa menanggung kehamilan atau tidak boleh melahirkan karena sakit yang dideritanya, tidak apa-apa dia menggunakan ‘sesuatu’ yang bisa mencegah kehamilan dalam jangka waktu tertentu (tidak selamanya) hingga hilang kondisi yang memberatkannya untuk menanggung kehamilan dan persalinan.

Perbuatan seperti ini termasuk penjagaan dan pengobatan, bukan pembatasan keturunan atau tidak ingin punya keturunan (lagi) karena takut miskin. (al-Muntaqa min Fatawa asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, 3/157)

Al-Imam al-Albani rahimahullah berfatwa tentang pengaturan keturunan bahwa hal tersebut termasuk problem yang menimpa kaum muslimin pada hari ini di negeri-negeri Islam. Apabila pengaturan tersebut dilakukan karena mengikuti saran dokter muslim yang pakar dalam bidangnya, yang benar-benar ingin memberikan nasihat yang baik, untuk menjaga kesehatan istri yang terganggu karena sering melahirkan, banyak anaknya, hal ini adalah uzur yang membolehkan.

Namun, apabila pendorong untuk melakukan pengaturan tersebut adalah karena takut miskin, perhitungan materi yang layaknya dilakukan oleh orang-orang kafir, tentu tidak dibolehkan. Sampai-sampai salah seorang yang melakukan pengaturan keturunan ini menyatakan, “Aku dan istriku sudah berdua. Aku cukup punya dua anak.”

Masing-masing melakukan perhitungan jumlah penghasilannya, berapa anggota keluarga yang bisa dihidupi dengan penghasilan sejumlah itu? Hal ini tidak dibolehkan oleh Islam karena faktor melakukan pengaturan keturunan muncul dari perbuatan orang jahiliah yang telah dinasihatkan oleh Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya,

“Janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut miskin. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan kepada kalian.” (al-Isra: 31)

Lebih-lebih lagi kaum muslimin, seharusnya mengimani bahwa anak itu datang (lahir ke dunia) dalam keadaan rezekinya bersamanya, karena sebelum si anak lahir ke alam dunia, saat dia masih berada dalam perut ibunya telah dicatat rezekinya. Pembatasan anak karena alasan materi tidaklah diperkenankan selama-lamanya. (al-Hawi min Fatawa asy-Syaikh al-Albani, hlm. 332-333)

 

Obat Pencegah Kehamilan

Samahatul Walid al-Imam Ibnu Baz rahimahullah menyatakan, seorang wanita tidak boleh mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan. Sebab, Allah ‘azza wa jalla justru mensyariatkan sebaliknya, yaitu berupaya mendapatkan keturunan dan memperbanyak umat Islam. Umat sangat membutuhkan jumlah yang banyak untuk bisa menegakkan ibadah kepada Allah ‘azza wa jalla, berjihad fi sabilillah, dan melindungi eksistensi muslimin, dengan izin dan taufik Allah ‘azza wa jalla.

Demikian pula apabila seseorang memiliki anak yang banyak, dengan jarak kelahiran yang dekat dan menyusahkan ibu apabila hamil lagi, tidak apa-apa si ibu memakai obat-obatan pencegah kehamilan dalam masa tertentu, seperti setahun atau dua tahun selama masa penyusuan. Dengan demikian, urusannya menjadi ringan dan dia bisa mendidik anak-anaknya dengan semestinya.

Adapun seorang wanita menggunakan obat-obatan pencegah kehamilan karena ingin berkonsentrasi pada profesi/pekerjaannya, mengejar karir, atau yang semisalnya, sebagaimana yang dilakukan oleh para wanita pada hari ini, tidaklah dibolehkan. (Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, hlm. 285-286)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Ditulis oleh Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah


[1] Di hadapan para nabi pada hari kiamat, sebagaimana ditunjukkan oleh riwayat Ibnu Hibban.

[2] Hal ini tercapai dengan menikahi wanita yang masih gadis/perawan. Karena sebelumnya si gadis tidak mengenal selain lelaki yang menikahinya, sehingga cintanya kepada suaminya adalah cinta yang awal; atau dia baru mengenal cinta dengan pernikahannya tersebut sehingga benar-benar mencintai suaminya. Berbeda halnya apabila yang dinikahi adalah janda, bisa jadi cintanya sudah atau masih terpaut pada suami yang sebelumnya.

[3] Hal ini bisa diketahui dengan melihat ibu si wanita atau saudara perempuannya, atau karib kerabatnya yang perempuan, apakah mereka punya banyak anak atau tidak.

Untuk melihat apakah seorang wanita bersifat wadud—memiliki rasa cinta yang lebih kepada suami—bisa pula diketahui dengan melihat karib kerabatnya, ibunya misalnya, bagaimana cinta ibunya kepada ayahnya.

[4] Bisa jadi, si lelaki mengetahui wanita tersebut mandul karena tidak mengalami haid, atau si wanita pernahmenikah dengan lelaki lain dan tidak punya keturunan. (Hasyiyah as-Sindi)

[5] Istri sempat berdandan menata dirinya dan menghilangkan apa yang tidak pantas terlihat oleh suami dalam rangka menyambut kedatangan sang suami, sehingga suami tidak kecewa ketika melihatnya.

Dikisahkan bahwa mereka hendak datang tiba-tiba di awal siang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencegah mereka dan memerintahkan agar mereka menundanya hingga akhir siang. Dengan demikian, berita kedatangan mereka telah sampai kepada istri-istri mereka sehingga para istri telah bersiap untuk menyambut suaminya. (Tuhfatul Ahwadzi)

Dalam Fathul Bari (9/391) dijelaskan, perintah untuk masuk menemui keluarga di waktu malam ketika pulang bepergian yang ada pada hadits ini dan larangan masuk menemui keluarga di waktu malam pada hadits yang lain, bisa dikompromikan Perintah dalam hadits ini yang dimaksud adalah masuk pada awal malam, sedangkan larangan dalam hadits yang lain ialah masuk pada tengah malam.

Bisa juga dikompromikan bahwa perintah masuk menemui keluarga di malam hari ini bagi orang yang telah mengabari keluarganya tentang kepulangannya, sedangkan larangan dalam hadits lain berlaku bagi orang yang belum memberitahu keluarganya tentang kepulangannya.