Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa komunitas manusia tidak bisa lepas dari pemimpinnya. Hal itu karena hubungannya menjadi sebuah persatuan dan kesatuan yang memang tidak bisa dipisahkan.
Kekuatan sebuah komunitas manusia tergantung pada sejauh mana kekuatan hubungannya dengan pemerintahnya. Sebaliknya, lemahnya sebuah komunitas manusia adalah gambaran lemahnya hubungan mereka dengan pemerintahnya. Karena itu, syariat memerintahkan agar segenap manusia menjaga persatuan dan kesatuan di bawah pemerintahnya.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Ali ‘Imran : 103)
Sehubungan dengan ayat di atas, al-Imam Ibnu Abi Hatim rahimahullah menyebutkan sebuah riwayat dalam tafsirnya. Dari Simak Ibnul Walid al-Hanafi, bahwa ia (Simak) bertemu dengan sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma di Madinah. Kemudian, ia berkata, “Apa yang akan engkau katakana tentang pemerintah kita yang menzalimi kita, memaki kita, dan mengambil sedekah kita dengan sewenang-wenang? Apa kita harus menghadang/menghentikannya?” Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjawab, “Tidak. Serahkan saja kepada mereka, hai Hanafi! Jagalah persatuan! Jagalah persatuan! Sesungguhnya, yang telah membinasakan umat terdahulu adalah perpecahan. Tidakkah engkau mendengar firman Allah Subhanahu wata’ala,
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Tafsir Ibnu Abi Hatim)
Ibnu ‘Athiyah rahimahullah dalam tafsirnya berkata, “Para ahli tafsir berbeda uraiannya tentang maksud tali Allah Subhanahu wata’ala, namun sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan tali Allah Subhanahu wata’ala adalah persatuan.” (al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir Kitabil ‘Aziz)
Al Imam al Qurthubi rahimahullah menguraikan dalam tafsirnya, “Bahwa di antara para ahli tafsir ada yang mengatakan tali Allah Subhanahu wata’ala adalah al-Qur’an, namun ada juga yang berpendapat tali Allah Subhanahu wata’ala adalah jamah (persatuan). Secara makna, semuanya berdekatan dan saling terkait, karena Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan persatuan dan melarang perpecahan. Perpecahan adalah kehancuran, sedangkan persatuan adalah keselamatan.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang akan mendapat azab yang berat.” (Ali ‘Imran: 105)
Al-Imam Qatadah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, Allah ‘azza wa jalla membenci perpecahan bagi kalian dan mengingatkan serta melarang kalian darinya. Dan Allah Subhanahu wata’ala meridhai bagi kalian sikap mendengar dan taat (kepada pemimpin) itu, jadikanlah diri kalian ridha terhadap apa yang telah Allah Subhanahu wata’ala ridhai untuk kalian, jika kalian mampu. Tidak ada kekuatan selain kekuatan Allah Subhanahu wata’ala.” (Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wilil Qur’an)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala meridhai bagi kalian tiga perkara: (yaitu) kalian beribadah kepada-Nya dan kalian tidak boleh menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, serta hendaklah kalian berpegang teguh kepada tali Allah Subhanahu wata’ala semuanya dan tidak bercerai-berai.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Al-Hafizh Ibnu Abdil Bar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dari sabdanya, ‘Hendaklah kalian berpegang teguh kepada tali Allah Subhanahu wata’ala’ adalah persatuan. Wallahu a’lam.” (at-Tamhid)
Dalam Musnad Ahmad, ada sebuah riwayat dari sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ثلاَثُ خِصَالٍ لَا يَغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ أَبَدًا: إِخْ صَالُ الْعَمَلِ لِلهِ، وَمُنَاصَحَةِ وُلَاةِ الْأَمْرِ، وَلُزُومُ الْجَمَاعَةِ.
“Ada tiga hal yang dengannya tidak akan ada kedengkian/kebencian dalam hati seorang muslim selama-lamanya (yaitu) : mengikhlaskan amalan hanya untuk Allah Subhanahu wata’ala, menyampaikan nasihat kepada pemimpin, dan komitmen kepada persatuan.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Tiga hal yang disebutkan dalam hadits ini mencakup pilar-pilar agama dan kaidah-kaidahnya serta hak Allah Subhanahu wata’ala dan hamba-Nya yang dengan itu terpeliharalah kemaslahatan dunia dan akhirat. Adapun penjelasannya adalah bahwa hak itu terbagi menjadi dua: hak Allah Subhanahu wata’ala dan hak hamba. Hak Allah Subhanahu wata’ala adalah kita beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.
Sementara hak hamba terbagi menjadi dua: ada yang khusus dan ada yang umum. Hak hamba yang khusus seperti setiap orang berbuat baik kepada kedua orang tuanya, menunaikan hak istri/suaminya, serta tetangganya.
Adapun hak yang umum, maka manusia dalam hal ini ada dua golongan yaitu: pemerintah dan rakyat. Hak pemerintah adalah mendapatkan nasihat, sedangkan hak rakyat adalah membangun persatuan, karena kemaslahatan tidak akan sempurna kecuali dalam bingkai persatuan. Mereka tidak akan bersepakat dalam kesesatan, justru kebaikan agama dan dunianya ada dalam persatuan dan komitmen terhadapnya.” (Majmu’ul Fatawa)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menegaskan, “Tidak akan terjadi keburukan dalam agama manusia dan urusan dunianya, kecuali jika mengabaikan tiga hal yang disebutkan dalam hadits tadi atau mengabaikan sebagiannya.”(Masa’ilal-Jahiliyyah)
Al – Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengemukakan, “Ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits tadi, dan komitmen kepada persatuan, adalah di antara perkara yang akan membersihkan hati dari kedengkian dan kebencian, karena orang yang bergabung dengan kesatuan kaum muslimin tentu ia akan mencintai mereka seperti mencintai dirinya sendiri dan akan membenci untuk terjadi pada mereka sesuatu yang dibenci apabila terjadi pada dirinya. Ia akan merasakan keburukan ketika keburukan itu menimpa mereka dan akan merasakan kesenangan ketika kesenangan itu menimpa mereka.
Ini keadannya jelas berbeda dengan pihak yang justru menjauh dari mereka (kaum muslimin) dan sibuk mencela, mencaci maki, dan mencerca, seperti kelakuan kelompok Syi’ah Rafidhah, Khawarij, dan Mu’tazilah, serta yang lainnya. Hati mereka dipenuhi dengan kedengkian dan kebencian.” (Miftah Daris Sa’adah)
Diriwayatkan dari al-Imam al-’Auza’i rahimahullah, beliau berkata, “Sejak dahulu dikatakan bahwa ada lima hal yang berada di atasnya para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para tabi’in, yaitu menjaga persatuan, mengikuti sunnah, memakmurkan masjidmasjid, dan membaca al-Qur’an, serta jihad di jalan Allah Subhanahu wata’ala.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jamah)
Dalam salah satu pidatonya, sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Hai sekalian manusia, hendaknya kalian menampakkan ketatan (kepada pemimpin kalian). Bersatulah di bawahnya, karena itulah tali Allah Subhanahu wata’ala yang kalian diperintahkan untuk berpegang teguh dengannya. Apa yang kalian tidak sukai dalam kebersaman itu jauh lebih baik dibandingkan dengan yang kalian sukai dalam perpecahan.” (Tafsir Ibnu Jarir)
Seluruh uraian di atas memberi keterangan kepada kita tentang wajibnya menjaga persatuan dan menggabungkan diri dalam persatuan bersama pemerintah, karena dalam persatuan ada kemaslahatan, ada rahmat, dan ada berkah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ، وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
“Al-Jamah (persatuan) adalah rahmat, sedangkan perpecahan adalah azab.” (HR. Ahmad dari sahabat Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu)
Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Makan dengan garam dalam keadan manusia bersatu (di bawah pemerintah) lebih aku sukai daripada makan manisan dalam keadan manusia berpecah belah.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman)
Salafush Shalih seluruhnya bersepakat akan wajibnya bersatu, sehingga komitmen kepada persatuan adalah salah satu pilar akidah Ahlus Sunnah wal Jamah. Dalam SyarhUshul I’tiqad Ahlissunnah wal Jamah, al-Imam al-Lalikai rahimahullah mengutip riwayat dari Tsabit Ibnu ‘Ajlan t. Beliau berkata, ”Saya telah berjumpa dengan sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Ibnul Musayyab, al-Hasan Bashri, Sa’ied bin Jubair, asy-Sya’bi, Ibrahim an-Nakha’i, ‘Atha’ bin Abi Rabah, Thawus, Mujahid, Abdullah bin Abi Mulaikah, az-Zuhri, Makhul, al-Qasim Aba Abdirrahman, ‘Atha al-Khurasani, Tsabit al-Bunani, al-Hakam bin ‘Utbah, Ayub as-Sikhtiyani, Hammad, Muhammad bin Sirin, Abu ‘Amir -beliau sempat berjumpa dengan sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu-, Yazid ar-Raqasyi, dan Sulaiman bin Musa rahimahumullah. Semuanya memerintahkan kepadaku untuk (bergabung dan menjaga) persatuan dan melarangku untuk bergaul dengan para pengikut hawa nafsu.”
Salah satu wujud persatuan dan kebersaman dengan pemerintah adalah melalui ibadah bersama mereka. Maka dari itu, ketika pemerintah memimpin pelaksanan sebuah ibadah atau menganjurkan dan mengumumkan waktu pelaksanan ibadah, rakyat mempunyai kewajiban untuk mendengar dan taat. Inilah keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamah dari dahulu hingga sekarang.
Al-Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim rahimahullah mengatakan, “Aku bertanya kepada ayahku dan Abu Zur’ah tentang mazhab Ahlus Sunnah dalam pokok-pokok agama dan apa yang dijumpai keduanya berupa keyakinan para ulama di setiap tempat serta apa yang menjadi keyakinan keduanya. Keduanya menjawab, ‘Kami mendapati para ulama di berbagai wilayah, seperti Hijaz, Irak, Syam, dan juga Yaman, mazhab mereka adalah -keduanya pun menyebutkan beberapa hal kemudian keduanya menegaskan- kita menunaikan kewajiban jihad dan haji bersama pemerintah kaum muslimin di setiap zaman. Kita juga tidak memandang bolehnya memberontak kepada pemerintah dan melakukan pembunuhan di masa fitnah. Kita mendengar dan taat kepada siapa yang Allah Subhanahu wata’ala takdirkan sebagai pemimpin urusan-urusan kita.
Kita tidak akan melepaskan ketatan, kita akan selalu mengikuti sunnah dan jamah serta menjauh dari penyelisihan, perselisihan, dan perpecahan. Kewajiban jihad bersama pemerintah tetap berlaku/ berlangsung sejak Allah Subhanahu wata’ala mengutus nabi-Nya hingga hari kiamat, tidak ada yang dapat menggugurkannya. Demikian halnya dengan haji dan penyerahan shadaqah yang diambil dari sumbernya kepada pemerintah.”(Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah)
Pernah ditanyakan kepada al-Imam Sahl bin Abdillah at-Tustari tentang kapan seseorang itu diketahui sebagai Ahlus Sunnah wal Jamah.
Beliau menjawab, “Apabila dikenal dari dirinya sepuluh perkara: tidak memisahkan diri dari persatuan, tidak mencela para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak melakukan pemberontakan dengan pedang (senjata), tidak mengingkari adanya takdir, tidak ragu-ragu dalam hal keimanan, tidak suka berdebat dalam agama, tidak enggan untuk menyalati yang meninggal dunia dari kaum muslimin karena satu dosa, tidak menolak bolehnya mengusap kedua khuf, serta tidak meninggalkan shalat berjamah di belakang pemerintah yang jahat atau yang baik (ketika mereka menjadi imam).” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah)
Kemudian al-Imam Abu Utsman ash-Shabuni rahimahullah menjelaskan, “Ashabul Hadits meyakini bahwa shalat Jum’at, shalat ied, dan shalat-shalat lainnya dilakukan di belakang pemerintah muslim, yang baik ataupun jahat. Mereka meyakini berperang melawan orangorang kafir dilakukan bersama pemerintah, meskipun pemerintah itu jahat. Mereka senantiasa mendoakan kebaikan dan taufik untuk pemerintah. Mereka juga tidak meyakini bolehnya memberontak kepada pemerintah, meskipun tampak kecondongannya kepada kejahatan dan kecurangan. Mereka juga meyakini bolehnya memerangi kelompok yang membelot dari pemerintah sampai mau kembali kepada ketatan.” (Aqidah Salaf wa Ashabil Hadits)
Al-Imam Ibnu Baththah rahimahullah berkata, “Telah sepakat para ulama dari kalangan ahli fikih, ahlul ‘ilmi, serta ahli ibadah dan yang dikenal kezuhudannya dari generasi pertama umat ini hingga waktu kita sekarang bahwa shalat Jum’at dan pelaksanan shalat hari raya (‘Idul Fitri dan Adha) serta yang menyangkut Mina, ‘Arafah, dan jihad, adalah bersama pemerintah, yang baik ataupun yang jahat. Menyerahkan shadaqah dan sepersepuluh dari hasil bumi kepada mereka adalah sah. Mendirikan shalat di masjid-masjid besar yang mereka bangun, melewati/berjalan di jembatan yang mereka buat serta jual beli dan seluruh perdagangan, pertanian, dan perindustrian di setiap zaman bersama setiap pemerintah adalah sah berdasarkan hukum al-Qur’an dan as-Sunnah.” (Syarhul Ibanah)
Maka dari itu, tidak ada wewenang bagi siapa pun untuk menyendiri dan menyelisihi kewenangan pemerintah pada urusan yang menyangkut ibadah secara umum, terutama ibadah yang pelaksanannya melibatkan seluruh kaum muslimin secara bersaman. Semua itu sebagai upaya mengokohkan persatuan, melindungi darah, dan menyatukan barisan, serta menghindari perpecahan dan kekacauan.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang akan mendapat azab yang berat.” (Ali ‘Imran: 105)
Shalat Jamah Bersama Pemerintah
Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam terus berlaku ketika memerintahkan untuk memerangi kaum Khawarij dan memerintahkan untuk bersabar menghadapi pemimpin yang jahat dan zalim, serta perintah shalat di belakang mereka (bagaimana pun keadannya). (Majmu’ al-Fatawa Ibnu Taimiyah)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ، وَإِنْ أَخْطَؤُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Mereka memimpin shalat kalian. Jika mereka benar, (pahalanya) untuk kalian dan mereka. Jika mereka salah, kebenarannya untuk kalian dan (kesalahannya) mereka yang menanggung.” (HR. al-Bukhari dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Sahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadaku, ‘Bagaimana sikapmu, jika para pemimpin yang ada di tempatmu mengakhir-akhirkan shalat dari waktunya atau menyia-nyiakan shalat dari waktunya?’ Aku pun balik bertanya kepada beliau, ‘Apa yang akan engkau perintahkan kepadaku?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Shalatlah tepat pada waktunya dan jika selesai shalat kamu menjumpai mereka hendak memimpin shalat, maka shalatlah lagi bersama mereka. Shalatmu kali ni terhitung amalan sunnah untukmu.” (HR. Muslim)
Al-Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata kepada Syu’aib, “Wahai Syu’aib, tidak akan bermanfat untukmu apa yang telah engkau tulis sampai engkau meyakini bolehnya (sahnya) shalat di belakang pemerintah yang baik dan yangjahat.”(Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah)
Al-Imam ath-Thahawi rahimahullah berkata, “Kami memandang boleh (sah) shalat di belakang pemimpin yang baik dan yang jahat dari kalangan kaum muslimin dan menyalati yang meninggal dunia dari mereka.”(Aqidah ath-Thahawiyyah)
Sejumlah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat di belakang para pemimpin yang jahat seperti sahabat Ibnu Umar dan Anas radhiyallahu ‘anhuma. Keduanya pernah shalat di belakang Hajjaj (seorang pemimpin yang jahat dan zalim). Sahabat Ibnu Mas’ud juga pernah shalat di belakang al-Walid bin Uqbah dan sejumlah para ulama sunnah shalat di belakang para umara yang zalim dari bani Umayyah dan bani Abbasiyah.
Oleh karena itu, dalam kitab Aqidah Salaf wa Ashabul Hadits, al-ImamAbu Utsman ash-Shabuni rahimahullah menjelaskan bahwa para Ahli Hadits berpandangan disyariatkannya shalat Jum’at, ied, dan shalat-shalat lainnya bersama pemerintah muslimin yang baik atau yang jahat.”
Shalat Jum’at Bersama Pemerintah
Al-Imam Abu Bakr al-Isma’ili rahimahullah menjelaskan, “Ahlus Sunnah wal Jamah berpendapat bahwa shalat Jum’at dan selainnya boleh (sah) di belakang pemerintah muslim yang baik atau yang jahat, karena Allah k mewajibkan shalat Jum’at dan memerintahkan untuk menunaikannya dengan kewajiban (dan perintah) yang mutlak.” (I’tiqad Ahlil Hadits)
Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Shalat Jum’at di belakang pemerintah dan di belakang siapa saja yang mewakilinya adalah boleh (sah), sempurna, dua raka’at. Siapa yang mengulangi shalatnya, mak dia pelaku bid’ah.” (Ushulas-Sunnah)
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Lum’atul I’tiqad dan al-Imam al-Barbahari rahimahullah dalam Syarhus Sunnah, keduanya, juga menyatakan bolehnya shalat Jum’at di belakang pemerintah. Kemudian, al- Imam Abu Utsman ash-Shabuni rahimahullah berkata, “Para ahli hadits meyakini akan disyariatkannya shalat Jum’at, shalat ied, dan shalat-shalat lainnya bersama pemerintah muslimin yang baik ataupun yang jahat.” (Aqidah Salaf wa Ashhabul Hadits)
Dengan demikian, siapa saja yang enggan dan meninggalkan shalat Jum’at dan shalat berjamah di belakang pemerintah yang jahat, maka dia pelaku bid’ah menurut mayoritas ulama. (Ibnu Abil ‘Izz, Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah)
Berpuasa & Berhari Raya Bersama Pemerintah
Sesungguhnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberi isyarat akan pentingnya menjaga persatuan, yang dalam hal ini, ketika akan mengawali pelaksanan ibadah puasa ataupun ketika akan mengawali hari berbuka atau ‘Iedul Fithri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Berpuasa adalah hari dimana kalian semuanya berpuasa dan berbuka adalah hari di mana kalian semuanya berbuka, serta hari raya kurban adalah hari dimana kalian semua berkurban.” (HR. at-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Ketika komunitas manusia akan melaksanakan semua ibadah ini, lalu setiap pihak menetapkan keputusan dan sikap/kewenangan tersendiri, maka tidak akan pernah ada wujud persatuan dan kebersaman. Akan tetapi, jika mereka melakukannya dengan serempak sesuai dengan aturan syariat yang ditetapkan, kemudian mengembalikan keputusan dan kewenangannya kepada pemerintah mereka, akan terwujudlah persatuan dan kebersaman yang diharapkan sehingga berpuasa bersama pemerintahnya dan berhari raya pun bersama pemerintahnya.
Terkait dengan hadits di atas, al-Imam Abul Hasan as-Sindi rahimahullah berkata, “Yang pasti, penentuan urusan ini (berpuasa, berbuka, dan berhari raya) bukanlah kewenangan setiap orang. Tidak dibolehkan bagi mereka untuk menyendiri dalam pelaksanannya. Akan tetapi, hendaknya dikembalikan kepada pemerintah. Untuk itu, wajib bagi setiap orang untuk mengikuti apa yang telah diputuskan/ditetapkan pemerintah dan komunitas manusia yang bersamanya.” (Hasyiyah as-Sindi ‘ala Ibni Majah)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Apabila pemerintah sudah mengumumkan melalui radio atau media lainnya tentang penetapan masuknya awal bulan Hijriyyah, maka wajib beramal dengannya untuk menetapkan waktu masuk dan keluarnya bulan, baik bulan Ramadhan atau bulan yang lainnya.
Hal itu dikarenakan pengumuman dari pemerintah adalah hujah syar’i yang harus diamalkan. Oleh sebab itu, dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada Bilal untuk mengumumkan kepada masyarakat penetapan awal bulan agar mereka semuanya berpuasa, dan pada waktu itu, masuknya bulan telah terbukti di sisi beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian, beliau menjadikan pengumuman itu sebagai ketetapan yang harus mereka ikuti untuk menjalankan ibadahpuasa.”(Majalis Syahr Ramadhan)
Dalam sebuah ceramah yang disampaikannya, syaikh kembali menegaskan bahwa siapa yang telah melihat hilal dengan yakin, hendaklah memberi tahu pemerintah dan jangan menyembunyikannya. Kemudian, jika pemerintah mengumumkan masuknya bulan Ramadhan, berpuasalah. Sebaliknya, jika pemerintah mengumumkan masuknya bulan Syawal, berbukalah, karena pengumuman yang disampaikan pemerintah itulah hukum yang terkait dengannya. (Ditranskrip dari ceramah berjudul Man Yajibu ‘Alaihi Shaumu Ramadhan)
Berhaji & Berjihad Bersama Pemerintah
Ahlus Sunnah wal Jamah berkeyakinan bahwa pelaksanan ibadah haji, jihad, dan shalat Jum’at disyariatkan bersama penguasa yang baik dan yang jahat. (Ibnu Taimiyah, Aqidah al-Wasithiyyah)
Jihad adalah ibadah yang agung dan salah satu syiar Islam. Dengan jihad, Allah Subhanahu wata’ala menangkan agama ini. Dengan jihad pula, kaum muslimin mendapatkan kemenangan.
Jihad adalah ‘amal jama’i. Oleh karena itu, salah satu syarat jihad untuk ditegakkan adalah hendaknya di bawah bendera pemerintah yang muslim. Tidak dibenarkan setiap orang mengangkat bendera jihad dan perang, atau setiap pihak membuat kelompok tersendiri, karena hanya akan membahayakan kaum muslimin sendiri sebelum dapat mengalahkan orang-orang kafir.
Jika kaum muslimin terkotak-kotak menjadi sekian kelompok atau jamah kemudian masing-masing mengusung bendera jihad, yang akan terjadi adalah saling berlomba menampakkan kelompoknya. Bahkan, tidak menutup kemungkinan mereka akan saling menjatuhkan dan saling menjegal.
Kondisi ini pernah dialami oleh beberapa kelompok jihad di waktu yang lalu. Ketika berhasil mengalahkan musuh, yang terjadi kemudian ialah saling menyerang dan membunuh antarmereka
sendiri. Sebabnya adalah karena semua berebut untuk mendapatkan kekuasan. Inilah akibat berjihad tidak di bawah satu bendera dan satu pimpinan.
Karena itu, kemaslahatan yang didapat ketika jihad itu ditegakkan di bawah satu bendera sangatlah besar. Kaum muslimin akan tetap berada di atas persatuan dan kesatuannya. Demi kemaslahatan yang besar ini, Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa jihad ditegakkan bersama pemerintah, yang baik atau yang jahat sekalipun.
Al-Imam Ali Ibnul Madini rahimahullah menegaskan, “Berjihad yang dilakukan bersama umara terus berlangsung hingga hari kiamat, terlepas apakah dia umara yang baik atau jahat.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah)
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah menerangkan, “Perkara jihad dan ijtihadnya diserahkan sepenuhnya kepada pemimpin dan wajib atas seluruh rakyat untuk menati kebijakan-kebijakan yang telah ditentukan oleh pemerintah mereka.” (al-Mughni)
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah juga berkata, “Tidak diperbolehkan bagi sebuah pasukan perang untuk berangkat berperang selain dengan izin penguasa, agar penguasa tersebut dapat memantau dan membantu dari belakang mereka.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan, “Aku berpendapat bahwa jihad tetap berlangsung bersama setiap pemerintah (yang baik atau yang jahat).” (Aqidah Muhammad bin Abdul Wahhab)
Demikian halnya dengan pelaksanan ibadah haji, Ahlus Sunnah meyakini harus bersama dengan pemerintah. Al-Imam Abu Zur’ah rahimahullah berkata, “Kami (Ahlus Sunnah) tidak mengafirkan kaum muslimin lantaran dosa-dosa mereka (selama tidak sampai pada kekafiran). Kami serahkan keadan batinnya kepada Allah ‘azza wa jalla. Kami menunaikan kewajiban jihad dan haji bersama dengan pemerintah muslim di setiap masa dan zaman.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah)
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, ”Kami berpendapat bahwa haji dan jihad tetap berlangsung bersama setiap pemimpin, yang baik ataupun yang jahat.” (Lum’atul I’tiqad)
Al-Imam al-Barbahari rahimahullah juga mengatakan hal yang sama, pelaksanan haji dan jihad bersama pemerintah tetap berlangsung. (Syarhus Sunnah) Wallahu a’lam.
Oleh : al Ustadz Abu Hamzah Yusuf