Prinsip-Prinsip Tazkiyatun Nufus

Prinsip-Prinsip Tazkiyatun Nufus

Dari beberapa penjelasan sebelumnya, dapat dijelaskan beberapa prinsip tazkiyatus nufus. Di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Takhliyah dan Tahliyah

Artinya, menanggalkan dan menghiasi. Inilah dua prinsip utama dalam tazkiyatun nufus.

Takhliyah ialah menanggalkan segala hal yang menyimpang dari syariat Allah subhanahu wa ta’ala apabila hal itu ada pada diri kita, dengan cara menjauhi segala maksiat, dari yang terbesar—yaitu syirik kepada Allah subhanahu wa ta’ala—, yang di bawahnya, sampai kepada hal-hal yang makruh. Apabila hal-hal tersebut tidak ada pada kita, caranya adalah dengan kita berusaha senantiasa menjaga diri dari maksiat.

Baca juga: Akibat Buruk Kemaksiatan

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُل لِّلۡمُؤۡمِنِينَ يَغُضُّواْ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِمۡ وَيَحۡفَظُواْ فُرُوجَهُمۡۚ ذَٰلِكَ أَزۡكَىٰ لَهُمۡۚ

“Katakan kepada kaum mukmin agar mereka menundukkan pandangan-pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka itu lebih suci bagi mereka….” (an-Nur: 30)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

جَنَّٰتُ عَدۡنٍ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَاۚ وَذَٰلِكَ جَزَآءُ مَن تَزَكَّىٰ

“Surga ‘Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itu adalah balasan bagi orang yang membersihkan diri.” (Thaha: 76)

Baca juga: Jalan Menuju Surga

Maksudnya, menyucikan diri dari syirik, kekafiran, kefasikan, dan maksiat, dengan tidak melakukannya sama sekali, atau bertobat dari dosa-dosa tersebut yang pernah dilakukannya. Selain itu, ia menyucikan diri dan menumbuhkannya dengan iman dan amal saleh. Demikian ungkap Syaikh as-Sa’di rahimahullah.

Adapun tahliyah ialah menghiasi diri dengan banyak amal saleh; dari yang terbesar, yaitu menauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala sampai yang terkecil, yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَسَيُجَنَّبُهَا ٱلۡأَتۡقَى ١٧ ٱلَّذِي يُؤۡتِي مَالَهُۥ يَتَزَكَّىٰ ١٨

“Kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu. Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya.” (al-Lail: 17—18)

  1. Allah-lah yang menyucikan jiwa

Ketika kita mengetahui bahwa tazkiyah diwujudkan dengan amal saleh dan menjauhi maksiat, kita pun menyadari bahwa semua itu tidak dapat kita lakukan selain dengan taufik dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada kita semua.

Bagaimana tidak, Nabi shallallahu alaihi wa sallam sendiri mengatakan,

وَاللهِ، لَوْلاَ اللهُ مَا اهْتَدَيْنَا وَلاَ تَصَدَّقْنَا وَلاَ صَلَّيْنَا، فَأَنْزِلَنْ سَكِينَةً عَلَيْنَا وَثَبِّتِ الْأَقْدَامَ إِنْ لاَقَيْنَا

“Demi Allah, kalau bukan karena Allah, kami tidak mendapat petunjuk, kami tidak bisa shalat, dan kami tidak dapat memberi sedekah. Oleh karena itu, (ya Allah), turunkanlah kepada kami ketenteraman jiwa dan kokohkanlah kaki-kaki kami apabila kami bertemu musuh.” (Sahih, HR. al-Bukhari)

Baca juga: Meraih Hidayah dengan Dakwah Salafiyah

Allah subhanahu wa ta’ala pulalah yang menerangkan segala sarana dan fasilitas menuju kesucian jiwa. Kalaulah tidak Dia terangkan, niscaya kita akan buta terhadap segala sarana tersebut. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ وَمَن يَتَّبِعۡ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَإِنَّهُۥ يَأۡمُرُ بِٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۚ وَلَوۡلَا فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ وَرَحۡمَتُهُۥ مَا زَكَىٰ مِنكُم مِّنۡ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يُزَكِّي مَن يَشَآءُۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barang siapa mengikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (an-Nur: 21)

Maksudnya, tidak ada seorang pun yang bersih dari mengikuti langkah-langkah setan. Sebab, setan dan bala tentaranya selalu berusaha mengajak kepada langkah-langkahnya dan menampilkannya dengan gambaran yang indah. Lebih-lebih lagi, jiwa itu condong kepadanya, bahkan memerintahkan untuk mengikutinya. Kekurangan pun menguasai hamba dari segala sisi. Iman pun tidak kuat.

Apabila segala faktor pendorong ini dibiarkan (tanpa mendapat rahmat Allah subhanahu wa ta’ala –pen.), niscaya tidak seorang pun bersih dari dosa dan kejelekan. Dia pun tidak akan berkembang dengan melakukan kebaikan. Akan tetapi, karunia Allah subhanahu wa ta’ala dan rahmat-Nya menghendaki kesucian sebagian dari kalian. (Taisir al-Karimir Rahman, dengan sedikit diringkas)

Baca juga: Sebab Terjaganya Keimanan

Oleh karena itu, hendaknya seseorang banyak berdoa dan memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar diberi taufik untuk menyucikan jiwanya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah mencontohkan dengan sebuah doa yang beliau panjatkan,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَالْهَرَمِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ، اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, sifat penakut, sifat pelit, pikun, dan azab kubur. Ya Allah, berikanlah kepada jiwaku ketakwaannya dan sucikanlah ia. Engkaulah sebaik-baik Dzat Yang menyucikan, Engkaulah walinya dan maulanya. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, kalbu yang tidak khusyuk, jiwa yang tidak merasa puas, dan doa yang tidak terkabul.” (HR. Muslim)

Baca juga: Doa Memohon Keistiqamahan

Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari kejelekan jiwa sebagaimana telah diterangkan pada pembahasan sebelumnya.

  1. Ittiba’ (mengikuti) Nabi Muhammad

Mengikuti Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah satu-satunya jalan untuk meraih tazkiyatun nufus (kesucian jiwa). Sebab, memang salah satu tujuan pengutusan beliau adalah untuk tazkiyah (penyucian), menyucikan jiwa manusia yang sebelumnya telah terkotori oleh noda-noda jahiliah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَقَدۡ مَنَّ ٱللَّهُ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذۡ بَعَثَ فِيهِمۡ رَسُولًا مِّنۡ أَنفُسِهِمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبۡلُ لَفِي ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ

“Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, serta mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Ali Imran: 164)

Baca juga: Ittiba, Kewajiban Mengikuti As-Sunnah

Ini adalah nikmat terbesar yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Bahkan, ia adalah pangkal segala nikmat, yaitu pemberian karunia kepada mereka dengan datangnya Rasul shallallahu alaihi wa sallam yang mulia. Dengan nikmat ini, Allah subhanahu wa ta’ala menyelamatkan mereka dari kesesatan dan melindungi mereka dari kebinasaan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِذۡ بَعَثَ فِيهِمۡ رَسُولًا مِّنۡ أَنفُسِهِمۡ

“Ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri.”

Maksudnya, mereka mengenal nasab, perangai, dan tutur katanya. Rasul itu berasal dari kaum dan suku mereka. Ia adalah seorang yang beritikad baik untuk kaumnya, belas kasih terhadap mereka, membacakan ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala kepada mereka, mengajari mereka lafaz-lafaz dan makna-maknanya, dan (menyucikan mereka) dari kesyirikan, maksiat, berbagai kerendahan, dan seluruh akhlak tercela. (Tafsir as­-Sa’di)

Baca juga: Cara Bertobat dari Maksiat

Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala hanya akan menerima tazkiyah yang dilakukan sesuai dengan cara yang Dia syariatkan melalui Rasul-Nya. Rasul shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan agama ini, amalan itu tertolak.” (Sahih, HR. Muslim)

Allah subhanahu wa ta’ala telah mencanangkan tujuan, yaitu tazkiyah. Allah subhanahu wa ta’ala pun telah memberikan sarananya melalui keterangan Rasul-Nya. Maka dari itu, siapa saja yang hanya ingin mencapai tujuan tanpa sarana yang digariskan, ia tidak akan sampai ke tujuan.

Baca juga: Syarat Diterimanya Amal
  1. Tidak mengklaim diri telah suci

Ghurur, terkecoh oleh kondisi diri sendiri. Itulah kata yang tepat bagi seseorang yang telah menganggap dirinya suci. Sesungguhnya, kesucian diri kita belum terjamin. Yang kita lakukan hanya sebatas usaha dan tentu hasilnya secara pasti baru akan diketahui di akhirat kelak. Allah subhanahu wa ta’ala lah yang paling mengetahui kondisi diri kita.

Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَلَا تُزَكُّوٓاْ أَنفُسَكُمۡۖ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَنِ ٱتَّقَىٰٓ

“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (an-Najm: 32)

Allah subhanahu wa ta’ala mencela mereka yang menganggap suci diri mereka padahal hakikatnya tidak demikian.

أَلَمۡ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنفُسَهُمۚ بَلِ ٱللَّهُ يُزَكِّي مَن يَشَآءُ وَلَا يُظۡلَمُونَ فَتِيلًا

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak teraniaya sedikit pun.” (an-Nisa: 49)

Atas dasar itulah, ketika ada seorang sahabiyah bernama Barrah, yang artinya orang yang baik, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menegurnya dan menggantinya dengan nama Zainab. Sahabiyah tersebut kemudian menjadi salah seorang istri beliau shallallahu alaihi wa sallam.

Baca juga: Zainab Bintu Jahsy

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan cerita Zainab radhiallahu anha,

سُمِّيتُ بَرَّةَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمُ اللهُ أَعْلَمُ بِأَهْلِ الْبِرِّ مِنْكُمْ. فَقَالُوا: بِمَ نُسَمِّيهَا؟ قَالَ: سَمُّوهَا زَيْنَبَ.

Aku diberi nama Barrah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengatakan, “Janganlah kalian menganggap suci diri kalian, Allah lebih tahu orang yang baik di antara kalian.” Mereka mengatakan, “Dengan apa kami memberi nama dia?” Beliau menjawab, “Berilah nama Zainab.”

Bahkan, sampai dalam hal memuji pun, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyuruh kita berhati-hati agar tidak terjerumus dalam larangan ini. Beliau shallallahu alaihi wa sallam berkata,

مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَادِحًا أَخَاهُ لاَ مَحَالَةَ فَلْيَقُلْ: أَحْسِبُ فُلاَنًا، وَاللهُ حَسِيبُهُ، وَلاَ أُزَكِّي عَلَى اللهِ أَحَدًا، أَحْسِبُهُ كَذَا وَكَذَا-إِنْ كَانَ يَعْلَمُ ذَلِكَ مِنْهُ

Siapa saja di antara kalian yang mau tidak mau memuji saudaranya, hendaknya mengatakan, “Perkiraanku Fulan (demikian), dan Allah lah yang lebih mengetahui tentangnya. Aku tidak mendahului Allah dalam menganggap suci seseorang secara pasti. Menurut saya demikian dan demikian—apabila dia mengetahui hal itu darinya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Oleh karena itu, para sahabat dahulu adalah orang-orang yang sangat jauh dari sifat merasa suci. Mereka justru khawatir kalau diri mereka ternyata masih kotor. Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah mengatakan,

أَدْرَكْتُ ثَلاَثِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ

“Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, semuanya khawatir terhadap kemunafikan atas diri mereka.”

Baca juga: Sifat-Sifat Sahabat Rasul

Ibrahim at-Taimi rahimahullah mengatakan,

مَا عَرَضْتُ قَوْلِي عَلَى عَمَلِي إِلاَّ خَشِيتُ أَنْ أَكُونَ مُكَذَّبًا

“Tidaklah kubandingkan ucapanku dengan amalanku melainkan aku khawatir aku khawatir nanti menjadi orang yang didustakan.”

Disebutkan pula bahwa al-Hasan al-Bashri rahimahullah dahulu mengatakan,

مَا خَافَهُ إِلاَّ مُؤْمِنٌ، وَلاَ أَمِنَهُ إِلاَّ مُنَافِقٌ

“Tidaklah seseorang khawatir (dari kemunafikan) melainkan dia seorang mukmin, dan tidaklah merasa aman (dari kemunafikan) melainkan dia adalah munafik.”

Baca juga: Keadaan Seorang Mukmin

Ketiga riwayat di atas dikeluarkan oleh al-Bukhari rahimahullah dalam “Bab Khauful Mu’min an Yuhbatha ‘Amaluhu….”

Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Ditulis oleh Ustadz Qomar Suaidi, Lc.