Iran mempunyai nama resmi Islamic Republic of Iran (Jomhori-e Islami-e Iran). Republik Iran berdiri secara resmi pada 1 April 1979. Teheran menjadi ibukota untuk Iran, negara yang berpenduduk 70,4 juta jiwa menurut sensus tahun 2007. Agama resmi yang dianut adalah ajaran Syiah Itsna Asyariah. (Website Kemenlu RI)
Pada zaman dahulu, seluruh wilayah Iran berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Persia. Persia sendiri adalah imperium adikuasa yang telah berdiri 1.000 tahun lebih. Hanya dalam 10 tahun setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, imperium Persia runtuh dan lenyap. Kekaisaran Persia berhasil ditaklukkan oleh para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di dalam referensi sejarah, surat yang dikirim oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Kaisar Persia, malah dirobek-robek. Surat tersebut berisikan ajakan untuk masuk Islam. Kaisar Persia merasa terhina dengan hal itu. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mendoakan supaya Kekaisaran Persia menjadi hancur lebur, sebagaimana surat beliau dirobek-robek. Akhirnya Kekaisaran Persia memang benar-benar hancur.
Sejak itu, agama Islam yang murni masuk dan diterima oleh penduduk Persia. Selama hampir 9 abad, Islam yang dianut oleh penduduk Iran adalah Islam dengan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Bahkan tidak sedikit ulama-ulama Islam berasal dari wilayah Iran.
Masa berganti masa, sebagaimana wilayah lain, Iran pun mengalami berbagai peristiwa besar. Peristiwa yang kemudian cukup memengaruhi masa depan Iran adalah kekuasaan Raja Ismail ash-Shafawi atas Iran. Pada 906 H (1500 M), Ismail ash-Shafawi menguasai Iran dan memaksakan keyakinan Syiah Itsna Asyariyah (Imam 12) sebagai ideologi negara.
Setiap orang yang tidak meyakini ideologi tersebut akan dibunuh. Akhirnya, terjadilah pembantaian kaum muslimin secara besar-besaran. Ismail ash-Shafawi mengaku bahwa tindakan tersebut dilakukan atas perintah dari 12 Imam. Penduduk Iran dipaksa untuk mendengar cercaan dan cacian terhadap tiga khalifah, yaitu Abu Bakr, Umar, dan Utsman.
Pada masa Ismail ash-Shafawi, sekolah-sekolah berpemahaman Syiah didirikan secara masif. Masjid-masjid Sunni dihancurkan dan diubah fungsinya. Setiap khatib dan penceramah diharuskan untuk mencaci-maki para sahabat; Abu Bakr, Umar, dan Utsman karena dianggap telah merampas hak kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
Sejak saat itulah, Syiah menjadi agama resmi di Iran dan mayoritas penduduknya beragama Syiah.
Dendam Persia Terhadap Islam
Cobalah bayangkan! Persia adalah sebuah imperium yang berdiri dan berkuasa secara turun-temurun selama lebih dari 1.000 tahun. Persia dengan agama Majusinya dan kitab Zoroaster-nya, tentu telah melekat kuat pada jutaan penduduknya. Hal itu tentu akan menyisakan pengikut fanatik yang memendam dendam terhadap Islam, Arab, dan para pemimpinnya.
Ambil contoh adalah panglima Islam bernama Khalid bin Walid. Beliau adalah panglima terdepan yang ditunjuk oleh Khalifah Abu Bakar untuk menaklukan Persia. Pasukan Persia yang lebih banyak dalam jumlah selalu dapat dikalahkan oleh pasukan Islam di bawah komando Khalid bin Walid. Lebih dari 100.000 tentara Persia tewas disebabkan peperangan melawan pasukan Khalid. Artinya, berapa banyak anak, istri, dan keluarga yang mendendam?
Persia dalam menjalankan dendam, berpikir dengan keras. Jika melalui pertempuran secara langsung, sejarah tentu tidak dapat mereka lupakan, yakni pasti kalah. Karena itu, cara yang ditempuh adalah dengan merusak Islam dari dalam. Mereka menggunakan isu cinta kepada Ahlul Bait untuk menciptakan kekacauan di dalam Islam. Mengenai hal ini, Pembaca dapat menelaah kembali kajian-kajian tentang Syiah pada Majalah Asy Syariah yang telah terbit sebelumnya.
Setelah Raja Ismail ash-Shafawi berkuasa, ajaran Syiah yang diciptakan oleh bangsa Persia sebagai alat untuk melampiaskan dendam, menjadi ideologi resmi negara.
Namun, pengaruh Ismail ash-Shafawi juga tidak bertahan selamanya. Gerakan-gerakan kekacauan tidak bisa dikatakan padam. Berturut-turut yang menguasai Iran setelah Dinasti Shafawi adalah Dinasti Ashfar, Dinasti Zand, dan Dinasti Qajar. Pada 1921, terjadi kudeta militer yang dipimpin oleh Reza Shah Pahlevi.
Revolusi Iran pada 1979 adalah Revolusi Syiah, walaupun dinamakan Revolusi Islam. Khomeini menjadi pelopor revolusi Syiah. Keberhasilan Revolusi Syiah pada 1979 adalah upaya untuk mengokohkan kembali ajaran-ajaran Syiah yang sempat menjadi besar dan ideologi resmi pada masa dinasti Shafawiyah.
Kita bisa menemukan banyak kesamaan antara ajaran Syiah—yang ditetapkan sebagai ideologi resmi negara Iran—dan keyakinan kaum Majusi Persia. Berikut ini adalah beberapa contohnya.
- Kultur agama Majusi Persia adalah memosisikan kaisar dan keturunannya sebagai dewa atau tuhan.
- Ajaran Syiah Itsna Asyariah (12 Imam) pun demikian. Kaum Syiah memosisikan para imam mereka layaknya Rabb. Mereka meyakini para imam mempunyai dan mampu melakukan hal-hal yang hanya mampu dilakukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. (Lihat Majalah Asy Syariah edisi 092)
- Kaum Majusi Persia sangat membenci Abu Bakr, Umar, dan Utsman. Sebab, pada masa beliau bertiga, Kekaisaran Persia runtuh dan tumbang. Kebencian itu lebih kuat lagi terhadap sahabat Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu. Sebab, di masa kekhalifahan Umar, Kekaisaran Persia benar-benar hilang dari percaturan dunia.
- Kaum Syiah juga membenci Abu Bakr, Umar, dan Utsman. Walaupun mereka beralasan karena beliau bertiga telah merampas hak kekhalifahan dari Ali bin Abi Thalib, namun alasan tersebut hanya dibuat-buat saja.
- Kaum Majusi Persia sangat mengagungkan Abu Lu’luah al-Majusi, orang yang telah membunuh Khalifah Umar dengan menggunakan pisau beracun.
- Kaum Syiah juga menghormati dan memuliakan Abu Lu’luah tersebut. Kaum Syiah membangun sebuah kuburan untuk Abu Lu’luah di kota Kasyan, Iran. Kuburan tersebut dibangun, direnovasi menjadi megah, dan diagung-agungkan oleh kaum Syiah. Bahkan, sebagian kaum Syiah menetapkan hari kematiannya sebagai salah satu hari besar yang patut dirayakan.
- Kaum Majusi sangat menghormati dan mengagungkan api, bahkan mereka menuhankan api.
- Kaum Syiah dalam beberapa kegiatan mereka, seperti hari raya Ghadir, juga menggunakan api sebagai rangkaian perayaan tersebut.
Selain hal di atas, warisan kultur budaya kaum Majusi Persia juga terus dipertahankan. Misalnya, bahasa resmi Iran adalah bahasa Persia; penanggalan yang digunakan juga penanggalan Persia; Iran juga menjadi pihak yang paling ngotot untuk menamakan teluk yang memisahkan antara Persia dan Arab dengan Teluk Persia.
Bahkan, Hari Nairuz yang merupakan hari raya kaum Majusi masih dipertahankan sebagai hari besar di Iran.
Oleh sebab itu, tidak salah jika kita menyimpulkan bahwa banyak kesamaan antara negara Iran dan Kekaisaran Persia di masa lalu.
Wallahul musta’an.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar bin Rifa’i