Pendapat yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Syaikh al-Albani, dan Syaikh Muqbil rahimahumullah terkait dengan shalat gaib adalah hanya dilakukan untuk jenazah seorang muslim yang wafat di suatu negeri yang tidak ada seorang pun yang menyalatinya. Hal ini seperti perbuatan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan shalat gaib pada hari wafatnya Najasyi (Raja Habasyah ketika itu). (HR. al-Bukhari no. 1245 dan Muslim no. 951 dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Baca juga: Shalat Gaib untuk Jenazah Covid-19
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
صَلُّوا عَلَى أَخٍ لَكُمْ مَاتَ بِغَيْرِ أَرْضِكُمْ
“Shalatilah saudara kalian yang wafat bukan di negeri kalian.”
قَالُوا: مَنْ هُوَ؟
Para sahabat bertanya, “Siapa dia?”
قَالَ: النَّجَاشِيُّ
Rasulullah shallallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Najasyi.” (HR. Ibnu Majah no. 1537 dari sahabat Huzaifah bin Usaid radhiallahu anhu dengan sanad yang sahih)
Artinya, ketika itu tidak ada yang menyalatinya di negeri Habasyah yang penduduknya beragama Nasrani.
Baca juga: Hukum Menyalati Jenazah di Kuburan
Ada beberapa kondisi yang dikiaskan oleh para ulama dengan peristiwa an-Najasyi tersebut untuk dilakukan shalat gaib, di antaranya:
- Mati tenggelam dan tidak ditemukan jenazahnya
- Jasadnya dimakan bintang buas
- Jenazah dimakan ikan dan yang semisalnya, yang positif mati tetapi tidak dapat ditemukan atau diselamatkan jasadnya.
Di antara kitab literatur dalam masalah ini ialah kitab Ahkamul Janaiz karya Syakh al-Albani, kitab Zadul Ma’ad karya Imam Ibnul Qayyim, dan kitab al-Inshaf (2/509).
Wallahu a’lam, termasuk pula dalam hal ini adalah korban jatuhnya pesawat yang jenazahnya tidak ditemukan. Demikian pula korban musibah tanah longsor yang jenazahnya tidak bisa dievakuasi.
Wallahu a’lam bish-shawab.