Sikap-sikap yang Salah Terhadap Pemerintah

Berikut ini beberapa keyakinan dan tindakan yang keliru terkait hubungan seorang muslim dengan pemerintahnya.

1. Sebagian orang mengatakan bahwa tidak ada ketaatan dan keharusan taat kepada pemerintah, dengan alasan hadits-hadits yang memuat tentang perintah mendengar dan taat hanyalah ditujukan kepada imam yang global dan kekuasaannya meliputi seluruh dunia atau yang biasa diistilahkan dengan khalifah yang satu.

Tidak diragukan, pernyataan ini adalah pernyataan yang batil menyelisihi kesepakatan ahlul ilmi.  Karena itu, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah telah menukil kesepakatan dari Ibnu Baththal rahimahullah, yang mengatakan, “Para fuqaha telah sepakat akan wajibnya taat kepada pemerintah yang berkuasa dan berperang bersamanya. Bahkan, ketaatan kepadanya jauh lebih baik daripada memberontak terhadapnya.” (Fathul Bari)

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Para ulama dari seluruh mazhab telah sepakat bahwa siapa saja yang berkuasa di sebuah negeri, maka statusnya dianggap sebagai imam dalam seluruh perkara. Jika tidak seperti ini, maka dunia tidak akan tegak karena manusia sejak zaman dahulu sebelum al-Imam Ahmad rahimahullah hingga hari ini, mereka tidak berkumpul di bawah satu imam. Tidak pernah diketahui ada seorang ulama yang menyebutkan sesuatu dari hukum yang menyatakan bahwa tidak sah kecuali dengan adanya imamterbesar.”(ad-Duraras-Sunniyyah fi Ajwibati an-Najdiyyah)

Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah juga mengemukakan, “Seperti telah diketahui bahwa di setiap satu daerah/wilayah ada pemerintahnya. Demikian pula di daerah atau wilayah-wilayah lainnya. Tidak mengapa dengan berbilangnya pemerintahan, wajib bagi penduduk setiap daerah dan wilayah itu untuk memberikan ketaatan kepada pemerintahnya masing-masing setelah berbaiat kepadanya. Siapa yang mengingkari hal ini, dia pembohong. Dia tidak pantas diajak bicara dengan dalil, karena dia tidak dapatmemahaminya.”(as-Sailal-Jarrar)

Adapun asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Umat Islam telah terpisah-pisah sejak zaman sahabat. Seperti yang telah diketahui, sahabat Abdullah bin Zubair di Makkah, yang lainnya ada di Syam, di Mesir, bahkan di Yaman, dan seterusnya. Kaum muslimin meyakini bahwa baiat diberikan kepada penguasa tempat mereka tinggal. Kemudian penguasa itu disebut amirul mukminin. Tak ada seorang pun yang mengingkari hal ini. Siapa yang mengingkarinya berarti hendak memecah belah kesatuan kaum muslimin dari sisi tidak komitmennya dengan baiat dan penyelisihannya dengan kesepakatan kaum muslimin sejak dahulu.” (al-Fatawaas-Syar’iyyah fial-Qadhaya al-’Ashriyyah)

Pada kesempatan lain, beliau kembali mengatakan, “Sejak zaman dahulu, zaman para ulama, manusia sudah terpisah-pisah tempat tinggalnya menjadi beberapa bagian (wilayah/negara). Tiap-tiap bagian (wilayah/negara tersebut) ada pemerintahannya yang didengar dan ditaati dengan kesepakatan kaum muslimin. Tidak ada seorang pun yang mengatakan, ‘Tidak wajib taat, kecuali kepada pemimpin yang menyeluruh meliputi seluruh negeri kaum muslimin (satu khalifah).’

Tidak mungkin bagi siapa pun untuk mengatakan hal itu. Kalau sampai ada yang mengatakan demikian, berarti tidak akan ada pemimpin bagi kaum muslimin sekarang ini, dan semua manusia akan mati dalam keadaan mati jahiliah. Karena itu, pemimpin (pemerintah) ada di setiap tempat dan daerah sesuai dengan keadaan masing-masing.” (Syarh Riyadhus Shalihin)

Kemudian beliau menegaskan kembali, “Imam adalah pemimpin tertinggi di sebuah negara, tidak disyaratkan dia menjadi pemimpin bagi seluruh kaum muslimin. Sebab, imam yang menyeluruh yang meliputi seluruh negeri kaum muslimin sudah tidak ada sejak dahulu. Para tokoh Islam tetap meyakini untuk memberikan loyalitas dan ketaatan kepada pihak yang menjadi pemimpin di wilayahnya, meskipun tidak memiliki pemerintahan yang umum (meliputi seluruh wilayah muslimin).” (asy-Syarhul Mumti’)

2. Ada sekelompok orang yang membuat sebuah komunitas (jamaah) kemudian setiap anggota jamaah tersebut dituntut untuk mendengar dan taat kepadanya (sebagai pimpinannya) atau setiap anggota jamaah memberikan baiat kepadanya untuk senantiasa taat dan mendengar. Sementara itu, pemerintah yang sah ada di tengah-tengah mereka. Dengan tindakannya tersebut, mereka memosisikan diri sebagai waliyyul amri yang memiliki kekuasaan dan pemerintahan.

Ini adalah sebuah kesalahan besar dan dosa yang besar pula. Siapa yang melakukan ini berarti telah menentang Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya serta menyelisihi nash-nash yang syar’i. Karena itu, tidak wajib menaatinya, bahkan haram, sebab pada dasarnya yang bersangkutan tidak memiliki kekuasaan. Tidak pula pemerintahan sama sekali. Jadi atas dasar apa harus didengar dan ditaati layaknya pemerintahan yang telah tegak dan jelas?!

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang datang kepada kalian, sedangkan pengaturan urusan kalian ada di bawah seseorang yang menjadi pemimpin kalian, dan dia datang hendak memecah belah kesatuan kalian, penggallah lehernya.” (HR. Muslim)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar taat kepada pemimpin-pemimpin yang sudah ada dan diketahui, yang mereka itu memiliki pemerintahan dan kekuasaan untuk mengatur urusan manusia. Bukan taat kepada yang tidak ada dan tidak diketahui. Bukan pula kepada yang tidak memiliki pemerintahan dan kekuasaan sama sekali.” (Majmu’ul Fatawa)

3. Adapula orang yang mengatakan tidak harus taat kepada peraturan-peraturan umum yang dibuat oleh pemerintah, seperti peraturan lalu lintas, keimigrasian, dan lain-lain. Alasannya, menurut mereka, peraturan-peraturan tersebut tidak ada landasan syar’inya sedangkan ketaatan kepada pemerintah hanyalah terkait dengan perkara-perkara yang syar’i saja, dalam hal yang mubah dan bersifat anjuran tidaklah wajib!

Perkataan seperti ini sesungguhnya lebih disebabkan oleh sedikitnya ilmu. Al-Allamah al-Mubarakfuri mengatakan, “Pemimpin, apabila memerintahkan kepada sesuatu yang mubah dan bersifat anjuran, wajib ditaati.”(Tuhfatul Ahwadzi)

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata, “Ini adalah kebatilan dan kemungkaran. Yang benar adalah wajib mendengar dan taat dalam perkaraperkara yang tidak mengandung kemungkaran di dalamnya. Peraturan-peraturan itu ditetapkan pemerintah untuk kemaslahatan kaum muslimin. Untuk itu, wajib tunduk, mendengar dan taat, karena termasuk dari perkara yang ma’ruf yang bermanfaat untuk kaum muslimin.”(Nashihah Muhimmah)

4. Anggapan bolehnya memberikan baiat kepada pemimpin organisasi di samping kepada pemerintah.

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menegaskan, “Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk memberikan dua baiat, yaitu baiat kepada pemerintah setempat dan baiat kepada pemimpin organisasi yang diikutinya. Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam terkait dengan perintah mengangkat pemimpin kepada tiga orang yang melakukan safar, tidaklah berarti bahwa mereka harus memberikan baiat kepada yang diangkat jadi pemimpinnya. Namun, maksudnya adalah hendaknya ada satu orang di antara mereka yang dapat menyatukan kalimat-kalimat mereka (membuat keputusan), sehingga mereka tidak berselisih. Ini sekaligus menunjukkan bahwa pintu menuju perselisihan harus senantiasa ditutup dari segala arah.” (Transkrip ceramah berjudul Tha’atu Wulatil Umur)

5. Tidak berbaiat kepada pemerintah menjadi alasan untuk tidak mendengar dan taat.

Inilah sikap tidak terpuji yang diperlihatkan oleh sebagian orang kepada pemerintah. Akibatnya, mereka tidak merasa bersalah ketika harus berseberangan dan menyelisihi aturanaturan yang telah ditetapkan, sekalipun aturan-aturan tersebut menyangkut keagamaan. Sebaliknya, mereka lebih manut dan taat kepada pimpinan organisasinya atau “jamaah”-nya, karena merasa telah memberikan baiat kepadanya. Padahal semua itu hanyalah gambaran dari kebodohan dan omong kosong belaka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan, “Apa yang telah Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya perintahkan berupa taat kepada pemerintah dan menyampaikan nasihat kepadanya adalah wajib bagi setiap orang, meski tidak memberikan janji kepadanya dan memberikan sumpah setia (baiat) kepadanya.” (Majmu’ul Fatawa)

Adapun asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Apabila kaum muslimin bersatu di bawah seorang pemimpin, maka wajib bagi semuanya untuk taat, walaupun secara individu tidak berbaiat kepadanya. Para sahabat dan kaum muslimin tidak semuanya berbaiat kepada sahabat Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Hanya yang berada di Madinah yang berbaiat dan tuntutan dari baiat tersebut berlaku untuksemua.”(Tha’atu Wulatil Umur)

6. Berdemonstrasi adalah termasuk wasilah dakwah dan upaya untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah.

Tidak samar bagi siapa pun, demonstrasi di negeri ini menjadi budaya yang terus dihidupkan dan dikembangkan, seolah-olah ia menjadi senjata ampuh untuk keluar dari sebuah permasalahan. Siapa yang tidak ada keinginan untuk itu dicap sebagai pengecut dan tidak ada kemauan untuk memperbaiki keadaan. Lalu, benarkah demo menjadi solusi untuk bisa keluar dari kesulitan dan masalah?

Kalau mau jujur, akibat yang ditimbulkan dari berdemonstrasi jauh lebih rusak dan mengerikan dibandingkan problem yang terjadi. Anda lihat, bagaimana aksi-aksi yang dilakukan para demonstran akhir-akhir ini, sungguh di luar kewajaran dan melampaui batasan, seperti aksi jahit mulut hingga aksi bunuh diri. Aksi-aksi ini akan terus berlangsung, bahkan bisa jadi semakin mengerikan. Nas’alullah as-salamah.

Siapa yang rugi? Apakah masalah selesai setelah itu? Justru masalah kian membesar dan akan bertambah. Kondisi seperti ini diperparah dengan adanya fatwa-fatwa dari pihak yang tidak bertanggung jawab dengan menyatakan bahwa demonstrasi adalah wasilah dakwah, bagian dari bentuk amar ma’ruf nahi munkar, bahkan jihad di jalan Allah Subhanahu wata’ala.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Saya tidak melihat aksi demonstrasi dengan berjalan kaki atau longmarch sebagai solusi. Justru, saya melihatnya hanya sebagai sebab timbulnya fitnah dan kejelekan serta sebab tindakan zalim dan aniaya kepada sebagian pihak. Cara yang disyariatkan adalah mengirim surat, menyampaikan nasihat dan berdakwah kepada kebaikan dengan metode yang syar’i yang telah diuraikan oleh para ulama. Jadi, dengan mengirim tulisan (surat), berbicara langsung kepada pemimpin/pemerintah, atau melalui telepon, dan menyampaikan nasihat. Tidak mengumbar kejelekan-kejelekan pemerintah di atas mimbar-mimbar. Wallahulmusta’an.”(Fatawa al-’Ulama al-Akabir)

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang wajib bagi kita adalah menasihati pemerintah sesuai kemampuan. Adapun aksi turun ke jalan dan melakukan protes secara terang-terangan, maka ini menyelisihi petunjuk para salaf, dan aksi-aksi tadi sama sekali tidak nyambung dengan syariat. Tidak pula dengan upaya perbaikan. Semua itu hanyalah kemudaratan. Tidak boleh mendukung aksi demonstrasi dan semisalnya, karena upaya perbaikan dapat dilakukan dengan selainitu.”(Fatawa al-Ulama al-Akabir)

Di lain kesempatan, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menegaskan, “Penting kiranya untuk memahami manhaj salaf dalam bermuamalah dengan pemerintah, jangan sampai kesalahan pemerintah dijadikan celah untuk memprovokasi manusia dan menjauhkannya dari pemerintah karena ini adalah kerusakan dan satu penyebab utama munculnya fitnah.

Berpalingnya hati dari pemerintah akan mendatangkan fitnah, kejelekan, dan kekacauan. Begitu pun berpalingnya hati dari para ulama akan mendatangkan sikap meremehkan para ulama dan lebih jauhnya lagi meremehkan syariat. Maka, yang wajib adalah melihat apa yang telah ditempuh oleh para salaf dalam menghadapi pemerintahnya. Seseorang harus berhati-hati dan selalu melihat apa akibat yang akan timbul. Penting diketahui bahwa orang yang gemar melakukan provokasi pada hakikatnya sedang membantu musuh-musuh Islam.

Yang jadi patokan bukanlah dengan provokasi, bukan pula dengan menampakkan emosi yang meluap-luap. Akan tetapi, patokannya adalah adanya hikmah, dan saya tidak memaksudkan kata hikmah berarti mendiamkan kesalahan, namun memperbaiki kesalahan agar hukum/keadaan menjadi lebih baik.” (Mu’amalatul Hukkam)

Oleh : al Ustadz Abu Hamzah Yusuf