Fenomena perilaku menyerupai orang kafir dalam berbagai bentuknya di kalangan kaum muslimin, saat ini telah sampai pada keadaan yang memprihatinkan. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menyinggung hal ini dalam salah satu bab dalam kitab Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah yang kami nukil sebagiannya.
Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam syariat bahwa tidak boleh bagi muslim atau muslimah untuk ber-tasyabbuh (meniru) orang kafir baik dalam perkara ibadah, hari raya atau tasyabbuh dalam pakaian yang menjadi ciri khas mereka. Larangan ber-tasyabbuh adalah kaidah yang agung dalam syariat Islam—namun ironisnya—saat ini banyak kaum muslimin telah keluar dari kaidah ini—termasuk juga di kalangan orang-orang yang berkepentingan terhadap perkara agama dan dakwah. Hal ini disebabkan karena kejahilan mereka terhadap agama, karena mereka mengikuti hawa nafsu, atau mereka hanyut dengan model-model masa kini serta taklid (mengikuti tanpa ilmu) kepada bangsa Eropa yang kafir. Keadaan ini termasuk menjadi penyebab kaum muslimin memiliki kedudukan yang rendah dan lemah serta berkuasanya orang asing terhadap mereka.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (ar-Ra’d: 11)
Duhai, seandainya kaum muslimin mengetahui. Hendaknya diketahui, dalil–dalil atas benarnya kaidah penting ini banyak terdapat dalam al-Kitab dan as-Sunnah. Jika dalil-dalil dalam al-Qur’an bersifat umum, maka as-Sunnah menafsirkan dan menjelaskan ayat-ayat tersebut. Di antara dalil dari ayat al-Qur’an adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَقَدۡ ءَاتَيۡنَا بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحُكۡمَ وَٱلنُّبُوَّةَ وَرَزَقۡنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلۡنَٰهُمۡ عَلَى ٱلۡعَٰلَمِينَ ١٦ وَءَاتَيۡنَٰهُم بَيِّنَٰتٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡرِۖ فَمَا ٱخۡتَلَفُوٓاْ إِلَّا مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلۡعِلۡمُ بَغۡيَۢا بَيۡنَهُمۡۚ إِنَّ رَبَّكَ يَقۡضِي بَيۡنَهُمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ فِيمَا كَانُواْ فِيهِ يَخۡتَلِفُونَ ١٧
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada bani Israil al-Kitab (Taurat), kekuasaan, dan kenabian. Dan kami berikan kepada mereka rezeki-rezeki yang baik dan kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (pada masanya) Dan kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang urusan (agama), maka mereka tidak berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka pengetahuan karena kedengkian yang ada di antara mereka. Sesungguhnya Rabbmu akan memutuskan antara mereka pada hari kiamat terhadap apa yang selalu mereka perselisihkan.” (al-Jatsiyah: 16—17)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang ayat ini dalam kitab Iqtidha hlm. 8, “Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa Dia memberikan nikmat kepada bani Israil dengan nikmat dien dan dunia. Bani Israil berselisih setelah datangnya ilmu akibat kedengkian sebagian mereka terhadap sebagian yang lain. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas syariat dari urusan agama itu dan Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengikuti syariat tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala larang beliau untuk mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
Masuk dalam pengertian (orang-orang yang tidak mengetahui) adalah semua orang yang menyelisihi syariat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang dimaksud dengan ahwa ahum adalah segala sesuatu yang menjadikan mereka cenderung kepada nafsu dan segala macam kebiasaan mereka yang tampak berupa jalan hidup mereka, yang merupakan konsekuensi dari agama mereka yang batil. Mereka cenderung kepada itu semua.
Mencocoki mereka dalam hal ini berarti mengikuti hawa nafsu mereka. Karena inilah, orang-orang kafir sangat bergembira dengan perbuatan tasyabbuh (meniru) yang dilakukan kaum muslimin dalam sebagian perkara mereka. Bahkan orang-orang kafir pun tak segan-segan untuk mengeluarkan dana besar untuk mendapatkan hasil ini.
Seandainya perbuatan tersebut tidak dianggap mengikuti hawa nafsu mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa menyelisihi mereka dalam hal ini justru lebih mencegah terhadap perbuatan mengikuti hawa nafsu mereka dan lebih membantu untuk mendapatkan ridha Allah subhanahu wa ta’ala ketika meninggalkan perbuatan tasyabbuh ini. Perbuatan meniru orang kafir dalam hal itu mungkin menjadi jalan untuk meniru mereka dalam perkara yang lain.
Sesungguhnya (sebagaimana penggambaran dalam sebuah hadits) barang siapa yang menggembala di sekitar daerah larangan maka dikhawatirkan dia akan terjatuh ke dalamnya. Apa pun dari dua keadaan itu, niscaya akan terwujud tasyabbuh itu secara umum, walaupun keadaan yang pertama lebih jelas terlihat.”
Dalam bab ini, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَٱلَّذِينَ ءَاتَيۡنَٰهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ يَفۡرَحُونَ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَۖ وَمِنَ ٱلۡأَحۡزَابِ مَن يُنكِرُ بَعۡضَهُۥۚ قُلۡ إِنَّمَآ أُمِرۡتُ أَنۡ أَعۡبُدَ ٱللَّهَ وَلَآ أُشۡرِكَ بِهِۦٓۚ إِلَيۡهِ أَدۡعُواْ وَإِلَيۡهِ مََٔابِ ٣٦ وَكَذَٰلِكَ أَنزَلۡنَٰهُ حُكۡمًا عَرَبِيّٗاۚ وَلَئِنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم بَعۡدَ مَا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِ مَا لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن وَلِيّٖ وَلَا وَاقٖ ٣٧
“Orang-orang yang kami berikan kitab kepada mereka bergembira dengan kitab yang diturunkan kepadamu dan di antara golongan-golongan(Yahudi dan Nasrani) yang bersekutu, ada yang mengingkari sebagiannya. Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Dia’. Dan demikianlah, Kami telah menurunkan al-Qur’an itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekalikali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.” (ar- Ra’d: 36—37)
Kata ganti ‘mereka’ ( هُم ) dalam kata hawa ‘nafsu mereka’ ( أَهۡوَآءَهُم ) kembali—wallahu a’lam—kepada yang disebutkan sebelumnya, yaitu al-ahzab (kelompok-kelompok) yaitu orang-orang yang mengingkari sebagian al-Kitab. Termasuk dalam pengertian ini adalah setiap orang yang mengingkari sesuatu dari al-Qur’an, baik (dilakukan oleh) Yahudi maupun Nasrani, atau selain keduanya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَئِنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم بَعۡدَ مَا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِ…
“Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu….” (ar-Ra’d: 37)
Mengikuti kaum kafir dalam perkara yang dikhususkan bagi agama mereka atau mengikuti agama mereka, termasuk mengikuti hawa nafsu mereka. Bahkan bisa jadi akan menyebabkan mengikuti hawa nafsu mereka dalam perkara lain selain perkara agama.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَلَمۡ يَأۡنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَن تَخۡشَعَ قُلُوبُهُمۡ لِذِكۡرِ ٱللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ ٱلۡحَقِّ وَلَا يَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلُ فَطَالَ عَلَيۡهِمُ ٱلۡأَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوبُهُمۡۖ وَكَثِيرٞ مِّنۡهُمۡ فَٰسِقُونَ ١٦
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun kepada mereka. Dan janganlah mereka seperti orang-orang sebelumnya telah diturunkan kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan mereka adalah orangorang yang fasik.” (al-Hadid: 16)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Iqtidha hlm. 43 tentang ayat ini, “Firman Allah subhanahu wa ta’ala ( وَلَا يَكُونُواْ ) ‘janganlah mereka menjadi’ adalah larangan mutlak untuk menyerupai orang kafir dan dalam ayat ini secara khusus juga terdapat larangan untuk menyerupai kerasnya hati mereka, sedangkan kerasnya hati adalah buah dari maksiat. ”Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini (4/310), “Karena inilah Allah subhanahu wa ta’ala melarang kaum mukminin menyerupai orang kafir dalam satu perkara, baik dalam perkara-perkara pokok maupun cabang.
”Di antara larangan tasyabbuh adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقُولُواْ رَٰعِنَا وَقُولُواْ ٱنظُرۡنَا وَٱسۡمَعُواْۗ وَلِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٞ ١٠٤
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) ‘ra’ina’, akan tetapi katakan ‘undzurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir terdapat siksa yang pedih.” (al-Baqarah: 104)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini (1/148), “Allah subhanahu wa ta’ala telah melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk meniru orang kafir dalam ucapan dan perbuatan mereka. Hal itu karena sesungguhnya orang Yahudi dahulu menggunakan kata-kata yang mengandung tauriyah (tipuan) karena mereka bermaksud untuk melecehkan. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melaknati mereka. Jika mereka ingin mengatakan ‘dengarkan kami’, mereka justru mengatakan ra’ina[1].Mereka maksudkan makna ru’unah dengan makna dungu. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
مِّنَ ٱلَّذِينَ هَادُواْ يُحَرِّفُونَ ٱلۡكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِۦ وَيَقُولُونَ سَمِعۡنَا وَعَصَيۡنَا وَٱسۡمَعۡ غَيۡرَ مُسۡمَعٖ وَرَٰعِنَا لَيَّۢا بِأَلۡسِنَتِهِمۡ وَطَعۡنٗا فِي ٱلدِّينِۚ وَلَوۡ أَنَّهُمۡ قَالُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَا وَٱسۡمَعۡ وَٱنظُرۡنَا لَكَانَ خَيۡرٗا لَّهُمۡ وَأَقۡوَمَ وَلَٰكِن لَّعَنَهُمُ ٱللَّهُ بِكُفۡرِهِمۡ فَلَا يُؤۡمِنُونَ إِلَّا قَلِيلٗا ٤٦
“Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata, ‘Kami mendengar namun kami tidak menurutinya’. Dan (mereka mengatakan) pula, ‘dengarlah’, sedangkan kamu sebenarnya tidak mendengar apaapa. Dan (mereka mengatakan) rai’na dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan, ‘Kami mendengar dan patuh, dan dengarlah, dan perhatikan kami’ tentulah itu lebih baik dan lebih tepat. Akan tetapi Allah mengutuk mereka karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis.” (an-Nisa: 46)
Demikian pula terdapat hadits-hadits yang memuat berita tentang Yahudi bahwa jika memberi salam, mereka mengatakan as-samu ‘alaikum, padahal as-samu berarti al-maut. Karena itulah kita diperintahkan untuk membalas (salam) mereka dengan perkataan ‘alaikum[2]. Doa kita ini dikabulkan atas mereka dan doa mereka atas kita tidak dikabulkan.
Maksudnya bahwa Allah subhanahu wa ta’ala melarang kaum mukminin untuk menyerupai orang kafir dalam perkataan dan perbuatan. Syaikhul Islam rahimahullah berkata tentang ayat ini dalam hlm. 22 yang ringkasnya, “Qatadah dan selainnya berkata, ‘Yahudi mengatakan perkataan ini kepada Nabi sebagai istihza (olok-olok).’ Allah subhanahu wa ta’ala melarang kaum mukminin untuk mengucapkan perkataan seperti mereka.” Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Yahudi mengatakan kepada Nabi ra’ina sam’aka. Mereka (bermaksud) mengolok-olok dengan ucapan ini karena di kalangan Yahudi perkataan ini adalah sebuah kejelekan. Ini menjelaskan bahwa kata-kata ini dilarang bagi kaum muslimin untuk mengucapkannya karena orang Yahudi mengucapkannya, walaupun orang Yahudi bermaksud jelek dan kaum muslimin tidak bermaksud jelek.
Karena dalam hal itu terdapat kesamaan terhadap orang kafir dan memberi jalan bagi mereka untuk mencapai tujuan mereka.” Dalam bab ini terdapat beberapa ayat lain, namun apa yang kami sebutkan telah mencukupi. Barang siapa yang ingin mengetahui ayat-ayat itu silakan melihat kitab Iqtidha.
Dari ayat-ayat sebelumnya telah jelas bahwa meninggalkan jalan hidup orang kafir dan tidak meniru mereka dalam perbuatan, ucapan, dan hawa nafsu mereka merupakan maksud dan tujuan syariat ini. Maksud dan tujuan syariat itu terdapat di dalam al-Qur’an al-Karim dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan hal itu serta merincinya untuk umat ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hal itu juga dalam banyak perkara dari cabang syariat. Yahudi yang tinggal di Madinah sangat mengetahui hal ini, bahkan mereka merasa bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menyelisihi mereka dalam segala urusan yang menjadi ciri khas mereka. Seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu,
“Sesungguhnya pada kaum Yahudi jika ada seorang wanita di antara mereka mengalami haid, mereka tidak bersedia makan bersama wanita tersebut dan tidak berkumpul dengan wanita itu dalam rumah.” Maka para sahabat bertanya kepada Nabi tentang hal ini, maka turunlah ayat Allah subhanahu wa ta’ala,
وَيَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡمَحِيضِۖ قُلۡ هُوَ أَذٗى فَٱعۡتَزِلُواْ ٱلنِّسَآءَ فِي ٱلۡمَحِيضِ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah kotoran.’ Oleh karena itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid.” (al-Baqarah: 222)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menjawab pertanyaan para sahabat, “Berbuatlah segala sesuatu kecuali nikah (maksudnya jima’, –red.)” Kejadian ini sampai kepada orang-orang Yahudi, mereka pun berkata, “Laki-laki ini tidak membiarkan satu perkara pun dari perkara kita kecuali dia (pasti) menyelisihi kita dalam hal itu.”
Kemudian datanglah Usaid bin Hudhair dan ‘Abbad bin Bisyr radhiallahu ‘anhuma. Keduanya bertanya, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Yahudi berkata begini dan begitu. Tidakkah kita berjima’ saja dengan para wanita (untuk menyelisihi Yahudi)?”
Berubahlah wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga kami menyangka beliau marah kepada kedua sahabat itu sampai keduanya keluar (dari rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Kemudian kedua sahabat itu menerima hadiah berupa susu (yang ditujukan) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau menyusulkan hadiah tersebut kepada keduanya. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi mereka berdua minum, (akhirnya) mereka berdua mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata tidak marah kepada keduanya.
Adapun dari as-Sunnah, maka nash-nash (dalil-dalil) tentang larangan tasyabbuh jumlahnya banyak, yang sangat baik untuk menguatkan kaidah yang lalu. Nash-nash dalam as-Sunnah ini tidak terbatas dalam satu bab saja dari sekian macam bab dalam syariat yang suci, misalnya shalat. Namun nash-nash ini juga mencakup juga hal selainnya, berupa perkara-perkara ibadah, adab, kemasyarakatan, dan adat. (Nash-nash dari as-Sunnah) ini adalah penjelas yang merinci keterangan global yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an yang telah lalu dan ayat yang semisalnya, sebagaimana telah diisyaratkan.
Buah karya asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah
Comments are closed.