Wujud Cinta Shahabat, Generasi Paling Mulia di Zaman Mulia

Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar

Abu Musa Al-Asy’ari bertutur:

صَلَّيْنَا الْمَغْرِبَ مَعَ رَسُولِ اللهِ n ثُمَّ قُلْنَا: لَوْ جَلَسْنَا حَتَّى نُصَلِّيَ مَعَهُ الْعِشَاءَ. قَالَ: فَجَلَسْنَا فَخَرَجَ عَلَيْنَا فَقَالَ: مَا زِلْتُمْ هَا هُنَا؟ قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، صَلَّيْنَا مَعَكَ الْمَغْرِبَ ثُمَّ قُلْنَا: نَجْلِسُ حَتَّى نُصَلِّيَ مَعَكَ الْعِشَاءَ. قَالَ: أَحْسَنْتُمْ أَوْ أَصَبْتُمْ. قَالَ: فَرَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ وَكَانَ كَثِيرًا مِمَّا يَرْفَعُ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ، فَقَالَ: النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ، فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ، وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ، وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ.

“Kami pernah melaksanakan shalat maghrib bersama Rasulullah n. Kemudian kami berkata, ‘Alangkah baiknya bila kita tetap duduk di sini hingga kita dapat shalat isya’ bersama beliau. ‘ Lalu kami pun tetap duduk sampai Rasulullah n keluar menemui kami dan bertanya, “Kalian masih berada di sini?” Kami menjawab, “Wahai Rasulullah kami telah melaksanakan shalat maghrib bersama Anda, lalu kami berkata, ‘Alangkah baiknya bila kita tetap duduk di sini hingga dapat shalat isya’ bersama Anda. ‘ Lantas Rasulullah n bersabda, “Bagus –atau: Kalian benar.” Setelah itu beliau n mengangkat kepala ke arah langit –beliau sering mengangkatnya ke arah langit– dan bersabda, “Bintang gemintang adalah ketentraman untuk langit. Apabila bintang gemintang itu lenyap maka akan tiba apa yang dijanjikan untuk langit. Aku adalah ketentraman untuk para sahabatku, apabila aku wafat maka akan tiba apa yang dijanjikan untuk para sahabatku. Dan para sahabatku adalah ketentraman untuk seluruh umatku, apabila para sahabatku telah meninggal maka akan tiba apa yang dijanjikan untuk umatku.”

Tentang sanad hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 2531). Beliau berkata: “Abu Bakr bin Abi Syaibah, Ishaq bin Ibrahim dan Abdullah bin Umar bin Abaan telah menceritakan kepada kami, dan mereka mendapatkan hadits ini dari Husain bin Ali Al-Ju’fi, dari Mujammi’ bin Yahya, dari Sa’id bin Abi Burdah, dari Abu Burdah, dari Abu Musa z.

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam ‘Abd bin Humaid (no. 539) dari Husain bin Ali, melalui sanad yang sama dengan sanad Al-Imam Muslim.

Al-Imam Ahmad juga meriwayatkannya (4/398) dari Ali bin Abdillah, dari Husain bin Ali, melalui sanad yang sama dengan sanad Al-Imam Muslim.

Dengan demikian, derajat hadits ini shahih. Silahkan melihat keterangan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ (no. 6800).

Makna hadits

Al-Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim berkata, “Ulama menjelaskan bahwa أَمَنَةٌ dibaca dengan hamzah dan mim yang difathah. Al-Amnu dan Al-Amaan adalah satu makna. Adapun makna hadits ini, selama bintang gemintang masih ada maka langit pun tetap ada. Apabila bintang gemintang berjatuhan dan berserakan pada hari kiamat maka langit akan lemah, terpecah dan terbelah lalu hancur.

Sabda Nabi n: Aku adalah ketentraman untuk para sahabatku, apabila aku wafat maka akan tiba apa yang dijanjikan untuk para sahabatku, artinya jika aku meninggal maka akan menimpa sahabatku apa yang dijanjikan untuk mereka berupa berbagai fitnah, banyaknya peperangan, orang-orang A’rab yang murtad, perselisihan hati dan hal-hal lainnya yang telah diperingatkan Nabi n secara jelas. Semuanya telah terjadi.

Sedangkan sabda Nabi n: Dan para sahabatku adalah ketentraman untuk seluruh umatku, apabila para sahabatku telah meninggal maka akan tiba apa yang dijanjikan untuk umatku, maknanya, muncul berbagai bid’ah, hal-hal baru dalam beragama, banyaknya fitnah, munculnya tanduk setan, kemenangan Romawi dan yang lain atas kaum muslimin, dilanggarnya kehormatan kota Madinah dan Makkah, serta hal-hal lain. Semua ini termasuk mu’jizat Nabi n.”

Mengapa mereka mencela sahabat Nabi n?

Rasulullah n menetapkan bahwa di antara wujud keimanan seorang hamba adalah mencintai para sahabatnya. Adapun sikap membenci dan mengecilkan kedudukan sahabat menjadi bukti seseorang memusuhi Islam, disadari maupun tidak. Setan memperdaya dan mempermainkan mereka yang tidak memiliki fiqih dengan menghembuskan keyakinan dan pemikiran yang dapat meruntuhkan pilar-pilar Islam. Kecintaan terhadap para sahabat Nabi n sebagai contohnya.

Kecintaan kepada para sahabat telah menjadi tolak ukur seseorang dapat dikatakan sebagai bagian dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sebagaimana kebencian terhadap mereka telah ditetapkan sebagai ciri ahlul bid’ah. Seluruh ulama yang menulis tentang akidah Ahlus Sunnah selalu menyebutkan sebuah bab yang terkait dengan wajibnya mencintai dan membela kehormatan para sahabat. Karena mereka adalah generasi paling mulia.

Lalu mengapa sebagian orang menunjukkan kebencian dan keraguan terhadap kedudukan para sahabat? Banyak alasan yang dapat dimunculkan untuk menjawab pertanyaan ini. Namun seluruh alasan tersebut kembali kepada satu hal, yaitu bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat g bertentangan dengan hawa nafsu dan syahwat mereka. Merasa kesesatan mereka disalahkan dan tidak dibenarkan secara pandangan Islam, maka tidak ada jalan bagi mereka kecuali dengan mencela para penukil hadits, yaitu para sahabat Rasulullah g.

Al-Imam Ibnu Khuzaimah menjelaskan, “Orang yang buta mata hatinya mencela Abu Hurairah z karena ingin menolak haditsnya, disebabkan ia tidak faham tentang maknanya. Orang tersebut adakalanya seorang mu’athil jahmi (pengikut aliran sesat Jahmiyah), hanya karena ia mendengar hadits-hadits Abu Hurairah z yang menyelisihi madzhab kufur mereka, ia lalu mencela Abu Hurairah z dan menuduhnya dengan tuduhan yang Allah sucikan darinya. Tuduhan ini untuk membentuk opini pada orang awam, bahwa hadits-hadits Abu Hurairah tidak benar.

Adakalanya ia seorang Khawarij yang mengangkat pedang terhadap kaum muslimin dan menganggap tidak wajibnya menaati khalifah dan imam. Jika ia mendengar hadits-hadits Abu Hurairah z dari Nabi n yang menyelisihi madzhab sesatnya, lalu ia tidak dapat menolak berita-berita beliau ini dengan hujjah, maka ujung-ujungnya ia menggunakan cara lain yaitu mencela Abu Hurairah z.

Atau mungkin dia seorang qadari (pengikut aliran sesat Qadariyah) yang meninggalkan Islam dan kaum muslimin serta mengkafirkan kaum muslimin yang mengikuti taqdir yang telah ditetapkan Allah dahulu sebelum hamba melakukannya. Jika melihat hadits-hadits yang beliau sampaikan dari Nabi n dalam menetapkan taqdir, lantas ia tidak mendapatkan hujjah yang dapat digunakan untuk mendukung pendapat mereka yang merupakan kekufuran dan kesyirikan, maka mereka mencari alasan dengan menyatakan bahwa berita-berita Abu Hurairah z tidak boleh dipakai sebagai hujjah.

Atau mungkin dia orang bodoh yang ingin menjadi faqih, namun mencarinya dari tempat yang salah. Jika ia mendengar berita Abu Hurairah z menyelisihi pendapat madzhab orang yang dipilihnya secara taklid tanpa hujjah, maka orang tersebut tentu akan mencela Abu Hurairah z dan menolak riwayat-riwayatnya yang menyelisihi madzhab mereka. Tetapi anehnya ia akan berhujjah menggunakan hadits-hadits Abu Hurairah z jika hadits tersebut sesuai dengan madzhabnya untuk mengalahkan orang yang tidak sependapat.” (Al-Mustadrak Ala Ash-Shahihain no. 6233 dengan sedikit perubahan)

Besarlah dosa orang yang mencela sahabat Nabi n

Banyak sekali dalil naqli (Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang menjelaskan keutamaan sahabat, baik secara umum maupun perorangan. Banyak juga dalil naqli yang menunjukkan haramnya mencela dan meremehkan kedudukan para sahabat. Sebagai satu contoh adalah hadits Ibnu Abbas c, Rasulullah n bersabda:

مَنْ سَبَّ أَصْحَابِي فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ

“Barangsiapa mencela sahabatku maka baginya laknat Allah.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1001 dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Zhilalil Jannah 2/469)

Yang menunjukkan bahwa hal ini adalah sangat penting sekali adalah banyaknya perkataan ulama yang membahas masalah ini dalam kitab-kitab mereka. Di antaranya adalah pernyataan Al-Imam Ibnu Qudamah, “Termasuk sunnah adalah memberikan loyalitas dan cinta untuk para sahabat Rasulullah g. Demikian juga menceritakan kebaikan-kebaikan mereka, mendoakan rahmat, memintakan ampun untuk mereka serta menahan diri untuk tidak menceritakan kejelekan dan perselisihan yang terjadi di antara mereka. Juga mengakui keutamaan serta mereka terdahulu di dalam Islam.” (Lum’atul I’tiqad hal. 32)

Ibnu Hajar berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah sepakat tentang wajibnya tidak mencela seorangpun dari para sahabat.” (Fathul Bari, 13/34)

Al-Imam Malik bin Anas berkata, “Mereka adalah sekelompok orang yang memiliki ambisi untuk menghabisi Rasulullah n, namun mereka tidak mampu. Lalu mereka pun mencela sahabat beliau, agar kemudian dikatakan bahwa beliau adalah orang jahat. Sebab, jika beliau orang baik maka para sahabatnya pun orang baik.” (Ash-Sharimul Maslul, hal. 580)

Al-Imam Malik berkata, “Barangsiapa yang bangun pagi sedangkan di dalam hatinya ada kebencian terhadap salah seorang sahabat, maka ia termasuk dalam ayat:

“Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min).” (Al-Fath: 29) [Ash-Sharimul Maslul]

Al-Imam Al-‘Awwam bin Hausyab berkata, “Sebutkanlah kebaikan-kebaikan sahabat Nabi Muhammad n, tentu hati manusia akan cinta kepada mereka. Janganlah kalian menceritakan kejelekan-kejelakan mereka, karena akan menumbuhkan kebencian kepada mereka.” (As-Sunnah karya Al-Khallal hal. 829)

Abu Utsman Ash-Shabuni berkata, “Ashabul hadits meyakini untuk menahan diri dari perselisihan yang terjadi di antara para sahabat Rasulullah n, serta menjaga kesucian lisan sehingga tidak menyebutkan sesuatu yang menunjukkan celaan atau kekurangan mereka. Mereka juga meyakini untuk mendoakan rahmat serta memberikan kecintaan untuk para sahabat seluruhnya.” (‘Aqidatus Salaf 144)

Lebih lengkapnya silahkan membaca Asy Syari’ah Vol. II/No. 17/1426 H/2005 dengan judul Membela kemuliaan para shahabat.

Anggapan salah yang harus diluruskan

Kebencian merupakan pangkal kejahatan. Karena kebencian jugalah mereka berusaha untuk menyudutkan para sahabat dengan berbagai upaya. Dengan beberapa hadits yang dipahami secara salah, mereka ingin menjauhkan umat dari generasi pertama Islam. Berikut ini beberapa hadits yang seringkali menjadi alasan bagi pengikut hawa nafsu dan ahlul bid’ah untuk meruntuhkan kepercayaan umat terhadap para sahabat.

1. Hadits Ibnu Abbas yang menceritakan tentang telaga Rasulullah n pada hari kiamat nanti. Umat beliau n akan turut menikmati telaga tersebut. Telaga yang airnya lebih putih daripada susu, lebih manis dibandingkan madu, jumlah timbanya seperti banyaknya bintang di langit, dan barangsiapa yang minum seteguk saja, ia tidak akan merasakan haus selamanya. Disebutkan bahwa akan ada sekelompok orang dari umat Islam yang akan dihalangi bahkan diusir sehingga tidak dapat mendekati telaga tersebut. Maka Rasulullah pun berusaha untuk membela:

فَأَقُولُ: يَا رَبِّ أُصَيْحَابِي. فَيُقَالُ: إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ

“Wahai Rabbku, mereka adalah sahabatku!” Lalu malaikat pun menjelaskan, “Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka perbuat sepeninggalmu.” Maka Rasulullah mendoakan kejelekan untuk mereka, “Sungguh celaka.” (HR. Al-Bukhari no. 4625 dan Muslim no. 2860)

Berdasarkan hadits di atas, mereka yang tersesat jalannya beranggapan bahwa setelah Rasulullah n wafat, para sahabat kemudian murtad dan membuat hal-hal yang baru dalam Islam sehingga mereka diusir dari telaga Rasulullah n. Kerancuan di dalam memahami ini dapat diluruskan dengan beberapa jawaban:

1. Yang dimaksud dengan “sahabatku” adalah sahabat dalam pengertian bahasa, bukan dalam pengertian istilah. Sehingga yang disebut sebagai sahabat di dalam hadits ini adalah umat yang mengikuti Nabi Muhammad n secara umum. Sebagaimana pengikut Abu Hanifah dikatakan Ashaab Abi Hanifah atau pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i yang disebut dengan Ashaab Asy-Syafi’i. Demikian juga penggunaan kalimat “Ashaabuna” untuk orang-orang sebelumnya dan sependapat dalam salah satu madzhab, padahal selang waktu di antara mereka terpaut jauh. Adapun Rasulullah n pada hari kiamat nanti dapat mengenali umat Islam karena terlihat tanda-tanda wudhu di wajah dan tangan mereka, sebagaimana hadits Hudzaifah riwayat Muslim (no. 248).

2. Seandainya “sahabat” yang disebutkan di dalam hadits tersebut adalah mereka yang hidup di masa Rasulullah n, maka sebagian ulama telah menyebutkan beberapa kemungkinan makna. Di antaranya, (pertama) bahwa yang dimaksud dengan “sahabatku” adalah kaum munafikin dan orang-orang yang murtad. Boleh jadi mereka dibangkitkan pada hari kiamat nanti dengan wajah dan tangan yang menunjukkan mereka pun berwudhu ketika di dunia.

Kedua, yang dimaksud dengan “sahabatku” adalah orang-orang yang beriman di masa Rasulullah n lalu mereka murtad sepeninggal Rasulullah n. Beliau dapat mengenali mereka karena semasa hidupnya beliau mengetahui orang-orang tersebut.

Ketiga, yang dimaksud dengan “sahabatku” adalah pelaku maksiat dan dosa besar yang meninggal dalam keadaan bertauhid. (Syarah Nawawi)

Di dalam hadits itu sendiri terdapat lafadz yang menguatkan kemungkinan makna yang kedua yaitu sabda Rasulullah n pada beberapa riwayat hadits yang memanggil mereka dengan Ushaihabi dalam bentuk tashghir. Al-Imam Al-Khaththabi menjelaskan bahwa lafadz ini menunjukkan tentang sedikitnya orang-orang tersebut. Hal ini pun hanya terjadi pada sebagian orang Arab badui yang kaku, dan tidak terjadi pada diri sahabat yang masyhur. (Fathul Bari 8/136)

Demikian juga lafadz hadits yang menyebutkan bahwa “Engkau tidak mengetahui apa yang mereka lakukan sepeninggalmu” menunjukkan bahwa Rasulullah n tidak mengenali mereka secara perorangan meskipun Nabi n mengetahui mereka merupakan dari bagian umat Islam. (Fathul Bari 11/484)

Sehingga memahami “sahabatku” dalam hadits di atas adalah sahabat Rasulullah n dengan pengertian secara istilah, tidak akan dilakukan oleh seorang muslim, karena menyelisihi rekomendasi Allah dan Rasul-Nya untuk para sahabat. Demikian juga bertentangan dengan ijma’ kaum muslimin. Wallahu a’lam.

2. Mereka menganggap bahwa sebagian sahabat berani berdusta di masa hidup Rasulullah n. Sehingga tidak menutup kemungkinan mereka pun berdusta atas nama Rasulllah n. Anggapan ini muncul berdasarkan sebuah riwayat dari Buraidah bin Al-Hushaib z, ia berkata:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَوْمٍ فِي جَانِبِ الْمَدِينَةِ فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ n أَمَرَنِي أَنْ أَحْكُمَ بِرَأْيِي فِيكُمْ، فِي كَذَا وَكَذَا. وَقَدْ كَانَ خَطَبَ امْرَأَةً مِنْهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَأَبَوْا أَنْ يُزَوِّجُوهُ، فَبَعَثَ الْقَوْمُ إِلَى النَّبِيِّ n يَسْأَلُونَهُ، فَقَاَل: كَذَبَ عَدُوُّ اللهِ. ثُمَّ أَرْسَلَ رَجُلاً فَقَالَ: إِنْ أَنْتَ وَجَدْتَهُ مَيِّتاً فَأَحْرِقْهُ. فَوَجَدَهُ قَدْ لُدِغَ فَمَاتَ، فَحَرَقَهُ

Seseorang datang menemui suatu kaum di dekat kota Madinah. Ia berkata kepada mereka, “Sesungguhnya aku diperintah oleh Rasulullah n untuk memutuskan dalam perkara kalian dengan pendapatku sendiri.” Dahulu di masa jahiliyah orang tersebut pernah melamar seorang wanita dari kampung mereka, namun mereka enggan untuk menikahkannya. Kemudian mereka mengirim utusan untuk menemui Rasulullah n guna menanyakan tentang orang tersebut. Lalu Rasulullah n bersabda, “Musuh Allah telah berdusta.” Lalu Rasulullah mengutus seorang sahabat dan berpesan, “Jika engkau menemuinya dalam keadaan ia telah meninggal maka bakarlah jenazahnya.” Ternyata sahabat itu menemukan ia telah disengat binatang berbisa dan meninggal. Ia pun dibakar.

Hadits ini dibawakan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil (4/1371) dan dinukil oleh Ibnul Jauzi dalam Muqaddimah Al-Maudhu’at (1/55-56). Di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Shalih bin Hayyan Al-Qurasyi. Menurut kesepakatan ulama hadits, ia termasuk perawi yang lemah dan cacat, sebagaimana disebutkan dalam Tahdzib At-Tahdzib (4/386). Al-Imam Adz-Dzahabi menyebutkan biografinya dalam kitab Al-Mizan dan menjelaskan bahwa hadits di atas termasuk riwayatnya yang munkar.

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Ausath (3/59) dari hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash. Namun dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Atha’ bin Sa’ib, yang termasuk perawi mukhtalith. Al-Imam Abu Dawud menjelaskan bahwa hadits ini termasuk hadits yang ia sampaikan setelah mengalami ikhtilath. (Tahdzib At-Tahdzib 7/203)

Kesimpulannya, hadits ini lemah sekali dan tidak dapat digunakan sebagai hujjah dan landasan dalam berpendapat. Wallahul musta’an.

3. Mereka mengatakan bahwa para sahabat saling berperang satu sama lain dalam perang Shiffin dan Jamal. Padahal Rasulullah n pernah bersabda dalam sebuah hadits dari sahabat Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajali:

لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّاراً يَضْرِبُ بَعْضَكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ

“Janganlah kalian kembali kafir sepeninggalku, sebagian kalian menebas leher yang lain.” (HR. Al-Bukhari no. 7080 dan Muslim no. 65)

Kedustaan semacam ini telah dibahas secara luas oleh Ibnul A’rabi dalam Al-‘Awashim minal Qawashim dan Syaikhul Islam dalam Minhajus Sunnah.

Perlu difahami bahwa hadits ini diucapkan oleh Rasulullah n dalam konteks larangan dan peringatan dari memerangi orang mukmin. Penggunaan istilah kekafiran untuk perbuatan memerangi orang mukmin menunjukkan beberapa kemungkinan secara makna. Di antaranya untuk menunjukkan bahwa larangan tersebut benar-benar keras sehingga setiap orang yang mendengarnya benar-benar akan memperhatikan. Sehingga makna hadits tersebut adalah “Janganlah kalian melakukan perbuatan orang-orang kafir dengan saling membunuh satu sama lain.” Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan adanya beberapa kemungkinan yang lain dalam Fathul Bari (13/30 dan 12/201-202).

Oleh karena itu, peperangan yang pernah terjadi di antara para sahabat bukan dengan dasar keyakinan menghalalkan perbuatan tersebut sehingga dinyatakan perbuatan tersebut sebagai salah satu bentuk kekufuran. Bagaimana mungkin disebut sebagai bentuk kekufuran, sedangkan Al-Qur’an dan As-Sunnah menyebut mereka sebagai kaum mukminin.

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Al-Hujurat: 9-10)

Di dalam ayat di atas, Allah l menamakan mereka sebagai orang-orang yang bersaudara, menyebut mereka sebagai kaum mukminin, padahal terjadi peperangan dan perbuatan aniaya di antara mereka.

Al-Hafizh Ibnu Katsir t berkata, “Berdasarkan hal ini dan beberapa hal lainnya, Al-Imam Al-Bukhari berdalil bahwa perbuatan maksiat tidak dapat mengeluarkan dari keimanan walaupun besar. Bukan seperti keyakinan kaum Khawarij dan para pengikutnya dari kaum Mu’tazilah dan yang sejenis. Demikian juga telah disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dari hadits Al-Hasan dari Abu Bakrah, beliau berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah n berada di atas mimbar sementara Al-Hasan bin ‘Ali berada di samping beliau. Terkadang Rasulullah n menghadap ke arah sahabat, kadang-kadang beliau menghadap ke arah Al-Hasan. Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya cucuku ini adalah seorang pemimpin dan semoga dengan perantaranya Allah mendamaikan dua kelompok besar kaum muslimin.” Terjadilah apa yang telah disabdakan Rasulullah n. Dengan perantaraan Al-Hasan, Allah l mendamaikan antara penduduk Syam dan penduduk Irak setelah terjadi peperangan panjang dan banyak pertempuran dahsyat.”

Sehingga, sahabat yang terlibat dalam peperangan tersebut tidaklah keluar dari dua kemungkinan. Benar dalam pendapatnya, atau salah dalam berijtihad dan tetap mendapatkan pahala. Benarlah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz yang telah berkata, “Allah telah membersihkan pedang kita dari darah mereka. Maka janganlah menodai lisan kita dengan membicarakan mereka dengan kejelekan.” (Fathul Mughits 3/96)

Khatimah

Para sahabat Nabi n adalah orang-orang yang memiliki banyak keutamaan. Mereka adalah generasi terbaik umat ini sebagaimana disabdakan sendiri oleh Rasulullah n. Lebih dari itu, mereka adalah orang-orang yang telah diridhai oleh Allah. Banyak di antara mereka ketika masih hidup telah mendapatkan kabar gembira yaitu akan dimasukkan ke dalam surga. Tidak ada keutamaan yang demikian tinggi seperti ini didapatkan oleh umat manapun, terlebih umat setelah mereka.