Yahudi, Musuh Abadi

Yahudi, di mata umat Islam, selama ini menjadi “istilah” yang menyimbolkan keculasan dan kelicikan. Sehingga tidaklah heran jika kemudian muncul anekdot: “bukan Yahudi namanya kalau tidak licik”. Di masa lalu, rekam jejaknya sebagai sebuah bangsa memang banyak meninggalkan goresan dan kepedihan dalam catatan sejarah Islam. Pembunuhan atas sejumlah nabi, pengkhianatan terhadap Rasulullah n yang menyulut sejumlah peperangan, lahirnya agama Syiah Rafidhah, adalah sekelumit peristiwa di mana Yahudi menjadi aktor utamanya.

Di masa sekarang pun, sejumlah peristiwa politik besar yang terjadi di pelbagai belahan dunia juga tak lepas dari tangan-tangan Yahudi. Terlebih jika itu sudah menyangkut kepentingan umat Islam. Pendudukan atas tanah Palestina adalah contoh paling nyatanya.

Tak hanya rajin mengipasi bara permusuhan. Jaring Yahudi juga menjerat umat dengan beragam pemikiran merusak yang disusupkan ke tengah umat. Cara paling mudah dan efektif adalah dari dalam Islam sendiri yakni melalui orang-orang yang (sengaja) ditokohkan. Mereka umumnya adalah produk cuci otak setelah belajar “Islam” ke negara-negara Barat. Maka janganlah heran jika lantas lahir “pemikir” Islam tapi tak pernah shalat atau “intelektual” Islam tapi tak mengerti bahasa Arab terlebih tafsir dan hadits.

Islam dan pemeluknya yang dicitrakan sebagai teroris dan serba terbelakang, adalah juga buah perang opini yang dilancarkan Yahudi dan konco-konconya. Muara dari semua itu tak lain menjadikan umat fobi sekaligus minder terhadap agamanya sendiri.

Bagaimana sesungguhnya sepak terjang Yahudi dalam sorotan syariat selama ini? Pembaca bisa menelusurinya di Kajian Utama dan beberapa artikel lain.

Pembaca, berdandan adalah hal yang teramat lekat dengan wanita. Tak sepenuhnya salah memang. Namun ketika syariat telah membingkainya, maka perilaku alamiah ini mesti didudukkan secara semestinya. Islam memang menuntut wanita untuk berhias. Namun itu dilakukan dalam rangka memupuk kecintaan suami. Bukan untuk tebar pesona yang selama ini jamak dilakukan para wanita.

Anomali yang terjadi, istri bisa sangat cantik di luar rumah namun tidak demikian halnya di dalam rumah. Ketika pergi berbelanja, misalnya, mereka bisa memakai lebih dari lima jenis kosmetik di wajahnya, parfum yang baunya bisa tercium dari jarak belasan meter, hingga mengenakan baju seksi yang mengundang hasrat lelaki. Namun di depan suaminya ia justru berpakaian apa adanya. Wajahnya ‘dibedaki’ jelaga sementara ‘parfum’-nya adalah bau bumbu dapur. Bagaimana kita semestinya memaknai berhias (tabarruj) itu? Pembaca bisa mengkajinya dalam rubrik Wanita dalam Sorotan.

Pembaca, kian meningkat dan meluasnya kasus kekerasan dalam rumah tangga membuat kami tergugah untuk memberikan sumbangsih dalam bentuk nasihat. Memang, karena keterbatasan ruang, hal itu tidak bisa dipaparkan kasus per kasus. Namun artikel yang terangkum dalam rubrik Mengayuh Biduk ini insya Allah memberikan banyak manfaat bagi kita agar kita bisa menyelesaikan segala sesuatunya dengan bimbingan agama, berupaya mencari titik temu dengan terlebih dahulu mengurai akar persoalan, tidak memperturutkan emosi, serta tidak terburu-buru menempuh jalur hukum. Alih-alih melalui jalan pintas semisal ‘keberanian’ menggugat cerai, sebagaimana hal ini acap direkomendasikan kalangan aktivis perempuan.

Terakhir, sebagaimana senantiasa disinggung pada setiap edisi, pembaca juga bisa menjelajahi artikel lainnya yang tak kalah menarik. Selamat mengkaji!