- Berwudhu sebelum tidur dan sebelum makan.
Apabila orang yang junub belum sempat mandi atau ingin menunda mandinya, sementara ia hendak tidur, disenangi untuk dia berwudhu terlebih dahulu.
Hal ini dipahami dari riwayat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma ketika mengisahkan tentang ayahnya, ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang junub pada suatu malam. ‘Umar menyebutkan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pun bersabda,
تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ ثُمَّ نَمْ
“Berwudhulah dan (sebelumnya) cucilah kemaluanmu, kemudian tidurlah.”[i]
Demikian pula ketika orang yang junub tersebut hendak makan dan minum, disenangi untuk dia berwudhu menurut kesepakatan ulama. (al-Majmu’ 2/178, ar-Raudhul Murbi’ 1/63, Subulus Salam 1/138, Nailul Authar 1/304, dan asy-Syarhul Mumti’ 1/238)
Hal ini ditunjukkan oleh perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang disebutkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha,
كاَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ جُنُبًا فَأَرَادَ أَنْ يَّأْكُلَ أَوْ يَنَامَ، تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلصَّلاَةِ
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam junub kemudian hendak makan atau tidur, beliau berwudhu seperti wudhu untuk mengerjakan shalat.”[ii]
Wudhu dalam keadaan ini hukumnya sunnah/mustahab menurut pendapat jumhur ulama. Inilah pendapat yang rajih, insya Allah.
Pendapat ini menyelisihi pendapat mazhab Zhahiriyah yang mewajibkan wudhu ketika seorang yang junub hendak tidur. (Fathul Bari 1/511, al-Minhaj 3/208—209, Subulus Salam 1/138, Nailul Authar 1/303, asy-Syarhul Mumti’ 1/239, Taudhihul Ahkam 1/393)
- Berwudhu ketika hendak mengulangi jima’.
Seseorang yang ditimpa janabah usai berhubungan intim dengan istrinya, kemudian hendak mengulangi untuk kedua kali atau kesekian kalinya, disenangi baginya untuk berwudhu terlebih dahulu seperti wudhu untuk shalat dan mencuci kemaluannya. (al-Majmu’ 2/178, Nailul Authar 1/305, asy-Syarhul Mumti’ 1/240, Taudhihul Ahkam 1/392)
Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini,
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يعُوْدَ، فَلْيَتَوَضَّأْ بَيْنَهُمَا وُضُوْءً
“Apabila salah seorang dari kalian mendatangi istrinya (jima’), kemudian hendak mengulangi hubungan tersebut, hendaklah ia berwudhu satu kali di antara keduanya (antara jima’ yang pertama dan yang kedua, –pent.).”[iii]
Hadits di atas disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bentuk perintah, dan hukum asal perintah adalah wajib. Akan tetapi, hukum wajib ini berpindah karena adanya tambahan lafadz yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/152),
إِنَّهُ أَنْشَطُ لِلْعَوْدِ
“Karena dengan berwudhu akan menyemangatkan pengulangan tersebut.”[iv]
Dengan adanya lafadz ini, wudhu ketika hendak mengulangi jima’ tidaklah wajib. Ini hanyalah anjuran dan bimbingan agar menyemangatkan pengulangan tersebut. (Fathul Bari 1/486, asy-Syarhul Mumti’ 1/240)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab, wal ‘ilmu ‘indallah.
[i] HR. al-Bukhari no. 290 dan Muslim no. 702
[ii] HR. Muslim no. 689
[iii] HR. Muslim no. 705
[iv] Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 263
Ditulis oleh al-Ustadz Muslim Abu Ishaq