وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (al-Ahzab: 58)
Sebab Turunnya Ayat
Sebagian ulama tafsir, seperti al- Baghawi, al-Alusi, al-Baidhawi, dan yang lain, menyebutkan dalam kitab tafsirnya, beberapa pendapat terkait dengan sebab turunnya ayat ini. Ada yang menyatakan bahwa ayat ini turun sehubungan dengan tindakan kaum munafikin terhadap sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, seperti pada riwayat Muqatil. Pendapat lain menyatakan, ayat ini turun kepada Abdullah bin Ubay dan orang-orang yang bersamanya yang mereka melontarkan tuduhan palsu terhadap Aisyah x, seperti pada riwayat adh-Dhahhak. (al-Maktabah asy-Syamilah)
Makna Ayat
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
“Dan orang-orang yang menyakiti.”
Al-Baghawi rahimahullah mengatakan bahwa makna al-adza adalah menyelisihi perintah Allah Subhanahu wata’ala dan berbuat maksiat kepada-Nya. Lalu beliau menukil ucapan Mujahid rahimahullah, menyakiti bermakna mereka yang mencela, memfitnah, dan menuduh kaum mukminin tanpa dosa dan kesalahan. Adapun ath-Thabari rahimahullah menyatakan, makna ucapan Mujahid rahimahullah dengan tafsir seperti ini adalah orangorang yang mencela kaum mukminin dan mukminat, serta menjelek-jelekkannya, dengan harapan kejelekan dan keburukan itu ada pada mereka (kaum mukminin).
Al-Alusi rahimahullah berkata bahwa maknanya adalah mereka yang melakukan tindakan yang menyakiti kaum mukminin, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Ibnu Katsir rahimahullah (3/496) menjelaskan, maknanya adalah mereka yang menisbatkan (menuduh) kaum mukminin suatu perkara, yang kaum mukminin sendiri berlepas diri darinya, yaitu perkara yang tidak mereka lakukan dan tidak mereka perbuat.
بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا
“Tanpa kesalahan yang mereka perbuat.”
Artinya, tanpa dosa dan kesalahan yang mengharuskan mereka (kaum mukminin) disakiti. Mujahid rahimahullah berkata, “Dengan perkara yang tidak mereka lakukan.”
فَقَدِ احْتَمَلُوا
“Maka sesungguhnya mereka telah memikul.”
Maksudnya, di atas punggungpunggung mereka.
بُهْتَانًا
“Kebohongan dan dosa yang nyata.”
Al-Alusi rahimahullah menerangkan, kata buhtan bermakna perbuatan jelek, keji. Ada pula yang memaknai dengan kebohongan, berupa kebohongan yang sangat jelek. Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan, maknanya adalah kebohongan, kedustaan, fitnah, laporan yang jahat, dan keji (palsu). “Buhtan” adalah kebohongan yang paling buruk, keji, dan jelek. (asy- Syamilah) Disebutkan oleh asy-Syaukani rahimahullah dalam tafsirnya, Fathul Qadir (1/814), al-buhtan diambil dari kata al-buht. Artinya, kebohongan yang dituduhkan kepada orang yang bersih (dari tuduhan) dengan sesuatu yang diada-adakan. Dikatakan, bahata buhtan wa buhtaanan, jika seseorang mengatakan terhadap orang lain yang tidak ia ucapkan (yang tidak ada padanya). Kata buhita bisa dibaca dengan mengkasrah ha’ atau mendhammahnya, bahuta, bermakna tercengang, heran, diam dalam kebingungan. Contohnya adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ
“Lalu heran terdiamlah orang kafir itu.” (al-Baqarah: 258)
وَإِثْمًا مُّبِينًا
“Dosa yang nyata,” yaitu yang tampak dan jelas.
Tafsir Ayat
Ibnul Jauzi t dalam kitabnya Zadul Masir berkata, “Ulama tafsir sepakat bahwa makna ayat ini adalah menjelaskan adanya orang-orang yang menuduh kaum mukminin dan mukminat dengan perkara yang tidak ada pada mereka.” Ibnu Katsir rahimahullah (3/496—497) berkata, “Kebohongan terbesar adalah menceritakan dan menukil dari orangorang mukmin laki-laki ataupun perempuan, perkara yang tidak mereka perbuat, dengan tujuan mengaibkan, mencemarkan, dan mencela mereka. Kebanyakan orang yang masuk dalam ancaman ayat ini adalah orang yang kufur kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul- Nya.
Kemudian kaum Rafidhah, yang mencela dan menjelek-jelekkan para sahabat dengan perkara yang Allah Subhanahu wata’ala telah menyucikan mereka darinya. Mereka (Rafidhah) juga menyifati para sahabat dengan hal-hal yang bertentangan dengan yang Allah Subhanahu wata’ala beritakan tentang mereka. Sebab, Allah Subhanahu wata’ala telah memberitakan bahwa Ia telah ridha kepada kaum Muhajirin dan Anshar serta memuji mereka. Adapun mereka adalah orang-orang yang bodoh dan dungu, yang selalu mencaci maki dan mencela para sahabat, selalu menyebutkan perkara yang tidak ada pada mereka dan yang sama sekali tidak mereka lakukan. Maka dari itu, mereka (kaum Rafidhah) pada hakikatnya adalah orangorang yang terbalik hatinya karena mencela orang-orang yang terpuji dan memuji orang-orang yang tercela.” Kemudian beliau memaparkan riwayat dengan sanadnya dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Wahai Rasulullah, apa itu ghibah?” Beliau menjawab, “Ghibah adalah engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak ia sukai.” Lalu beliau ditanya, “Bagaimana pendapatmu jika apa yang aku sebut itu memang ada pada saudaraku?” Beliau menjawab, “Jika yang engkau sebut itu ada pada dirinya, engkau telah mengghibah dia. Namun, jika yang engkau sebut itu tidak ada padanya, engkau telah berbuat buhtan (berdusta) terhadap dia.” (HR. at-Tirmidzi)
Beliau juga memaparkan riwayat yang dikeluarkan Ibnu Abi Hatim rahimahullah dari Aisyah radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada para sahabatnya,
“Apakah perkara riba yang paling jelek di sisi Allah Subhanahu wata’ala?” Mereka menjawab, “Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Perkara riba yang paling jelek di sisi Allah Subhanahu wata’alaadalah orang yang menghalalkan kehormatan/harga diri seorang muslim.” Kemudian beliau membaca ayat,
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (al- Ahzab: 58)
As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Oleh karena itu, mencela atau memaki salah seorang dari kaum mukminin mengharuskan dia diberi hukuman, sebatas keadaan dan kedudukan orang yang dicelanya. Jadi, hukuman bagi orang yang mencela sahabat lebih berat. Hukuman bagi orang yang mencela para ulama dan orang-orang yang beragama Islam dengan baik, lebih besar daripada yang selain mereka.” Ulama yang sesungguhnya adalah mereka yang disifati oleh Allah Subhanahu wata’ala sebagaimana tersebut dalam ayat,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah Subhanahu wata’ala di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28)
Asy-Syaikh bin Baz pernah ditanya tentang tafsir ayat ini, (Majmu’ Fatawa, 24/268—270). Beliau menjawab, “Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa ulama itu adalah orang yang tahu tentang Allah Subhanahu wata’ala, agama, kitab (al-Qur’an) yang agung, dan sunnah Rasul-Nya yang mulia. Mereka adalah manusia yang sempurna takutnya kepada Allah Subhanahu wata’ala, sempurna takwanya kepada Allah Subhanahu wata’ala, dan sempurna ketaatannya kepada-Nya. Yang terdepan dari mereka adalah para rasul dan nabi.” Maka dari itu, yang dimaksud dengan “sesungguhnya yang takut kepada Allah” adalah rasa takut yang sempurna dari hamba-Nya, yaitu para ulama. Mereka adalah orang-orang yang mengenal Rabbnya dengan nama dan sifat-Nya serta keagungan hak-Nya. Mereka memahami syariat-Nya, mengimani apa yang ada di sisi-Nya, yaitu kenikmatan bagi yang bertakwa kepada-Nya serta azab bagi yang durhaka dan menyelisihi perintah-Nya.
Karena kesempurnaan ilmu tentang Allah Subhanahu wata’ala dan kesempurnaan pemahaman tentang kebenaran, mereka menjadi manusia yang paling takut kepada Allah Subhanahu wata’ala. Manusia yang banyak rasa takutnya dan pengagungannya kepada Allah Subhanahu wata’ala. Ayat ini tidaklah bermakna bahwa tidak ada yang takut kepada Allah Subhanahu wata’ala selain para ulama. Sebab, setiap muslim laki-laki dan perempuan serta setiap mukmin laki-laki dan perempuan memiliki rasa takut kepada Allah Subhanahu wata’ala. Namun, rasa takut tersebut berbeda, tidak sama. Setiap orang mukmin yang lebih mengenal Allah Subhanahu wata’ala, lebih paham terhadap agama, tentu ia akan memiliki lebih banyak rasa takut dan lebih sempurna khasyahnya.
Demikian pula halnya dengan seorang wanita yang beriman, jika keadaannya seperti itu. Setiap orang yang berkurang ilmu dan bashirahnya, akan berkurang pula rasa takut dan khasyahnya kepada Allah Subhanahu wata’ala. Manusia tidak sama dalam hal ini. Bahkan, keadaan para ulama pun demikian. Setiap alim yang lebih mengenal Allah Subhanahu wata’ala, lebih menjalankan hak dan agama-Nya, lebih berilmu tentang nama dan sifat-Nya, rasa takutnya kepada Allah l tentu lebih sempurna daripada alim yang lain. Semakin sedikit ilmunya, semakin sedikit pula rasa takutnya. Namun, setiap mukmin laki-laki dan perempuan memiliki rasa takut kepada Allah l, sebatas ilmu dan derajat mereka dalam hal iman. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَٰئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ {} جَزَاؤُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۖ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada- Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.” (al-Bayyinah: 7—8)
إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُم بِالْغَيْبِ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Rabbnya yang tidak tampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (al- Mulk: 12)
وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ
“Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Rabbnya ada dua surga.” (ar-Rahman: 46)
Jadi, mereka adalah orang-orang yang mendapatkan balasan sebatas rasa takut mereka kepada Allah Subhanahu wata’ala, meskipun mereka bukan para ulama, melainkan kalangan orang biasa. Akan tetapi, kesempurnaan rasa takut hanya ada pada ulama karena kesempurnaan pengetahuan dan ilmu mereka terhadap Allah Subhanahu wata’ala. Dengan demikian, rasa takut mereka kepada Allah Subhanahu wata’ala lebih agung.
Wallahu waliyyu at-taufiq.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafrudin