Keberanian Sejati

Tidak semua orang memiliki keberanian sejati. Tahukah Anda, apakah keberanian sejati itu? Keberanian sejati adalah sikap bersedia dikoreksi bila salah dan siap menerima kebenaran meskipun dari orang yang memiliki kedudukan lebih rendah.

 

Mempraktikkan apa yang diucapkan butuh pengorbanan yang besar. Bahkan terkadang harus dengan taruhan nyawa. Orang yang berbicara dengan redaksi yang diolah demikian rupa serta disusun dengan rapi dan indah sehingga mampu membuat orang terkesima, biasanya mudah diacungi jempol dan dianggap sebagai orang “hebat”. Walaupun dalam kesempatan lain dia melanggar dan menelan perkataannya sendiri.

Bila penilaian untuk menjadikan seorang sebagai murabbi (pembimbing) cukup dengan perkataan yang membuat umat terkesima, maka sadarilah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah mengingatkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berhati-hati dari orang demikian.

وَإِن تُطِعۡ أَكۡثَرَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنۡ هُمۡ إِلَّا يَخۡرُصُونَ ١١٦

Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta.(al-An’am: 116)

فَأَعۡرِضۡ عَن مَّن تَوَلَّىٰ عَن ذِكۡرِنَا وَلَمۡ يُرِدۡ إِلَّا ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا ٢٩ ذَٰلِكَ مَبۡلَغُهُم مِّنَ ٱلۡعِلۡمِۚ

Maka berpalinglah (wahai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan kami, dan tidak menginginkan melainkan kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka.(an-Najm: 29—30)

Engkau jangan merasa aman dan terlalu percaya diri, lebih-lebih angkuh dan sombong. Telah berlalu suri teladan yang buruk yang bisa kita jadikan pelajaran. Sebuah kejadian yang menimpa orang-orang yang memiliki ilmu bagaikan gunung menjulang setinggi langit, ibadah yang kuat, zuhud, qana’ah, dan sifat-sifat mulia lain yang menghiasi bajunya. Namun dia harus menanggalkan kemuliaannya itu di hadapan seorang wanita yang kurang agama dan lemah akalnya. Dialah ‘Imran bin Haththan.[1]

Oleh karena itu, dengarlah bimbingan Allah subhanahu wa ta’ala kepada Rasulmu sekaligus peringatan dari-Nya,

وَٱصۡبِرۡ نَفۡسَكَ مَعَ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ رَبَّهُم بِٱلۡغَدَوٰةِ وَٱلۡعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجۡهَهُۥۖ وَلَا تَعۡدُ عَيۡنَاكَ عَنۡهُمۡ تُرِيدُ زِينَةَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَلَا تُطِعۡ مَنۡ أَغۡفَلۡنَا قَلۡبَهُۥ عَن ذِكۡرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ وَكَانَ أَمۡرُهُۥ فُرُطٗا ٢٨

Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan senja hari dengan mengharap wajah-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.(al-Kahfi: 28)

Semoga dengan peringatan ayat-ayat ini engkau terbangun dari tidur lalu bergegas menuju orang-orang yang menginginkan keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Duduk bersama mereka adalah bimbingan dan keselamatan. Keselamatan diri dan agama tidak bisa ditukar oleh apa pun juga.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا

Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari apa neraka.” (at-Tahrim: 6)

 

Setan Bersama Orang yang Menyendiri

Serigala akan berani menerkam apabila seekor kambing melepaskan diri dari kelompoknya dan berjalan penuh percaya diri tanpa peduli. Ingatlah, di hadapanmu ada yang lebih tinggi dari dirimu.

Ingatkah engkau ketika Iblis dengan penuh kesabaran merayu bapak dan ibu kita Adam dan Hawa ‘alaihimassalam yang pada akhirnya keduanya harus menelan kepahitan hidup di atas ujian yang tadinya di atas kehidupan yang diliputi rahmat dan nikmat Allah subhanahu wa ta’ala. Engkau tidak akan bisa menyamai Nabi Adam ‘alaihissalam. Oleh karena itu, kembalilah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, serta berjalan bersama orang-orang yang mengejar ridha Allah subhanahu wa ta’ala dan mencari keselamatan dari-Nya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan bahayanya menyendiri dalam bermalam dan berjalan ketika safar,

نَهَى عَنِ الْوِحْدَةِ أَنْ يَبِيْتَ الرَّجُلُ وَحْدَهُ أَوْ يُسَافِرَ وَحْدَهُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk menyendiri: menyendiri ketika bermalam dan menyendiri ketika safar.” ( HR. Ahmad di dalam al-Musnad, 2/91, Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf, 9/38 no. 6439)[2]

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ فِي الْوِحْدَةِ مَا أَعْلَمُ مَا سَارَ رَاكِبٌ بِلَيْلٍ وَحْدَهُ أبداً

“Seandainya manusia mengetahui bahayanya menyendiri sebagaimana yang aku ketahui, niscaya seseorang tidak akan berkendaraan di malam hari sendirian (selamanya).” (HR. al-Bukhari, at-Tirmidzi, ad-Darimi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan Ahmad dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma)

الرَّاكِبُ شَيْطَانٌ وَالرَّاكِبَيْنِ شَيْطَانَانِ وَالثَّلاَثَةُ رُكَبٌ

“Pengendara seorang diri (adalah) pelaku maksiat, dua pengendara (adalah) dua pelaku maksiat, dan tiga pengendara itulah pengendara yang benar.” (HR. Malik, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan lainnya dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash radhiallahu ‘anhuma)

Al-Imam ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Peringatan ini adalah adab dan bimbingan disebabkan kengerian yang akan dialami seseorang ketika sendirian, dan bukan haram hukumnya. Seseorang yang berjalan di padang sahara seorang diri atau orang yang bermalam seorang diri tidak akan aman dari kengerian, lebih-lebih kalau dia memiliki pemikiran jelek atau memiliki hati yang lemah.

Yang benar adalah, manusia dalam hal ini berbeda-beda keadaannya. Larangan dan peringatan tersebut adalah untuk menutup kemungkinan-kemungkinan di atas. Oleh karena itu, dibenci (makruh) melakukan safar seorang diri dalam rangka menutup pintu-pintu (kejahatan tersebut). Dibencinya dua orang lebih ringan dibandingkan dengan dibencinya menyendiri.” (Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, 1/132)

Demikian hakikat perjalanan di dunia apabila menyendiri, dihantui marabahaya yang tidak kecil, bahkan mengancam keselamatan. Bagaimana halnya dengan perjalanan menuju Allah subhanahu wa ta’ala, sebagai persinggahan akhir dan terakhir?

Haruskah kita melepaskan diri dari jalan orang yang beriman (para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)? Berjalan seorang diri dengan penuh keberanian menantang dan melanggar pagar yang telah dibuat Allah subhanahu wa ta’ala? Bukankah marabahaya yang mengancam (di akhirat) akan lebih besar dan dahsyat dibandingkan dengan bahaya yang mengancam di dunia? Bukankah kobaran api yang menyala dengan bahan bakar manusia dan batu itu lebih mengerikan?

 

Keberanian Menerima Kebenaran adalah Keberanian yang Sejati

Guru teladan adalah guru yang siap menerima nasihat apabila salah dan siap kembali kepada kebenaran apabila tersesat, tanpa menggugat kebenaran itu dan tanpa meremehkan siapa yang membawanya. Kebenaran adalah modal keselamatan dan kebenaran itu lebih berharga daripada kita. Kebenaranlah yang menjadi akhir dari setiap usahanya. Dari itu dia menjunjung tinggi amanat Allah subhanahu wa ta’ala ketika Dia mengatakan,

وَٱلۡعَصۡرِ ١ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣

“Demi masa, sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.” (al-‘Ashr: 1—3)

Mengangkat nasihat dalam kebenaran menjadi tujuan yang meliputi lubuk hatinya. Kapan saja dia mendengar kebenaran dan di mana menemukannya, dia segera mengambil dan berpegang dengannya.

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama adalah nasihat.”

Kami mengatakan, “Bagi siapa?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan orang awam mereka.”

Dalam buku Qawa’id wa Fawaid (hlm. 95) disebutkan, “Cukup bagi seseorang berada dalam kemuliaan ketika dia melaksanakan apa yang telah dipikul oleh makhluk Allah subhanahu wa ta’ala yang mulia dari kalangan para nabi dan rasul. Nasihat adalah sebab yang membuat tinggi derajat para nabi. Barang siapa menginginkan ketinggian dalam penilaian Rabb langit dan bumi, hendaklah dia melaksanakan tugas yang mulia ini.”

Pembimbing teladan adalah orang yang berusaha menjauhkan diri dari sifat,

بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (Sahih, HR. Muslim no. 91, dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu)

Keberanian dan sikap tegas dalam menerima kebenaran adalah keberanian yang terpuji dan sejati. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan sifat kaum yang beriman dalam firman-Nya,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمٗا ٦٥

        “Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati terhadap keputusan yang kamu berikan dan mereka menerima sepenuhnya.” (an-Nisa: 65)

وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٖ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلٗا مُّبِينٗا ٣٦

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukminah apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu keputusan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat dalam kesesatan yang nyata.” (al-Ahzab: 36)

إِنَّمَا كَانَ قَوۡلَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذَا دُعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ لِيَحۡكُمَ بَيۡنَهُمۡ أَن يَقُولُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَاۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٥١

“Sesungguhnya jawaban orang-orang yang beriman bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukumi (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, ‘Kami mendengar dan kami patuh.’ Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (an-Nur: 51)

Asy-Syaikh Abdurahman as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan, “Tatkala Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan keadaan orang-orang yang menyeleweng dari syariat Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian menyebutkan keadaan orang-orang yang beriman yang mendapat pujian ‘apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili di antara mereka.’ (Apakah keputusan Allah subhanahu wa ta’ala itu) mencocoki keinginan mereka atau tidak, mereka mengatakan: ‘Kami mendengar hukum Allah subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya dan siap menyambut siapa saja yang menyeru kami kepadanya dan kami akan menaatinya dengan ketaatan yang sempurna tanpa ada perasaan berat pada diri kami’.” (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 520)

وَذَكِّرۡ فَإِنَّ ٱلذِّكۡرَىٰ تَنفَعُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٥٥

“Dan tetaplah memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (adz-Dzariyat: 55)

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya peringatan (nasihat) itu akan bermanfaat bagi hati yang beriman.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/238)

Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala memberitakan bahwa peringatan tersebut akan bermanfaat bagi orang yang beriman karena pada diri mereka ada keimanan, rasa takut, taubat dan mengikuti ridha Allah subhanahu wa ta’ala, yang semua itu mengharuskan peringatan tersebut bermanfaat baginya, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

فَذَكِّرۡ إِن نَّفَعَتِ ٱلذِّكۡرَىٰ ٩ سَيَذَّكَّرُ مَن يَخۡشَىٰ ١٠ وَيَتَجَنَّبُهَا ٱلۡأَشۡقَى ١١

‘Oleh sebab itu berilah peringatan karena peringatan itu bermanfaat. Orang-orang yang takut kepada Allah akan mendapat pelajaran, orang-orang yang kafir dan celaka akan menjauhinya.’ (al-A’la: 9—11)

Adapun yang tidak memiliki iman dan tidak ada kesiapan untuk menerima peringatan, maka peringatan kepadanya tidak akan bermanfaat bagaikan tanah tandus yang hujan pun tidak akan bermanfaat baginya sedikit pun. Apabila datang kepada mereka ayat Allah subhanahu wa ta’ala mereka tidak beriman dengannya sampai mereka melihat azab yang pedih.” (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 755)

Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah


[1] Imran bin Haththan dahulunya adalah seorang tokoh Sunni, namun setelah menikah dengan putri pamannya, seorang wanita Khawarij, justru dia menjadi tokoh Khawarij. Bahkan, dia memuji Ibnu Muljim, pembunuh Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib.

[2] Asy-Syaikh al-Albani di dalam Silsilah ash-Shahihah mengatakan bahwa sanadnya sahih dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma. Ada pula penguatnya yang mauquf dari ‘Umar bin al-Khaththab, dikeluarkan oleh Abdurrazzaq di dalam al-Mushannaf).