Mencintai Allah

Kita hidup di dunia ini hanyalah untuk beribadah kepada Sang Pencipta, karena memang itulah tujuan kita diciptakan.

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)

Allah adalah Dzat Yang Mahasuci, yang diibadahi dengan penuh rasa takut (khauf), berharap (raja’), dan cinta (mahabbah). Tiga perasaan ini tidak boleh hilang salah satunya, ketiganya harus ada pada diri seorang hamba.

Mengenai khauf dan raja’ insya Allah akan dibahas secara terpisah pada waktu mendatang. Adapun kali ini, secara ringkas kita akan berbicara tentang mahabbah.

Baca juga: Takutlah kepada Allah

Bagaimanakah hakikat mencintai Allah subhanahu wa ta’ala—yang selanjutnya kita sebut dengan “mahabbatullah”—yang sebenarnya? Apakah kita sudah mencintai-Nya dengan semestinya, atau kita justru tenggelam mengejar cinta makhluk, bahkan dibuat mabuk sehingga kita tidak lagi menyisakan tempat untuk-Nya di hati?

Kita akui, mayoritas umur kita telah habis untuk membicarakan cinta kepada makhluk dan ambisi memperoleh cinta mereka. Ketika cinta itu bertepuk sebelah tangan dan gayung tiada bersambut, patahlah hati dan serta-merta dada menjadi sesak. Demikianlah cinta kepada makhluk, kita bisa dibuat “sakit” karenanya.

Adapun cinta yang selama ini sering kita abaikan, padahal ia merupakan cinta teragung, ia sungguh tidak akan meninggalkan rasa sakit yang melukai kalbu. Itulah cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Seorang hamba yang mencintai-Nya tidak akan pernah patah arang saat mengejar cinta-Nya. Sebab, siapa saja yang jujur dalam cintanya, sungguh Allah subhanahu wa ta’ala pasti akan membalas cintanya tersebut. Sebuah cinta yang berbuah manis, yang akan menelurkan kelapangan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat kelak.

Mahabbatullah adalah sebuah keharusan, bagi siapa pun yang mengaku beriman kepada-Nya, baik lelaki maupun perempuan. Bahkan, cinta ini termasuk syarat dari syahadat “Laa ilaaha illlallah[1] dan merupakan landasan dalam beramal. (ad-Da’u wa ad-Dawa’, Ibnul Qayyim, hlm. 303)

Baca juga: Makna Syahadat Muhammad Rasulullah

Mencintai-Nya bukanlah pengakuan di bibir saja, melainkan harus sejalan dengan pembuktian, sebagaimana yang Allah nyatakan dalam firman-Nya,

قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian … ‘” (Ali Imran: 31)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

“Ayat yang mulia ini membungkam setiap orang yang mengaku mencintai Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi tidak menempuh ajaran Rasul Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Pengakuan cintanya dianggap dusta hingga ia mau mengikuti syariat Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, serta tunduk pada ajaran beliau dalam seluruh ucapan, perbuatan, dan keadaan.

Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Shahih, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

‘Siapa saja yang mengamalkan suatu amalan yang tidak sesuai dengan ajaran kami, maka amalan itu tertolak.’[2]

Karena itulah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ

‘… niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ (Ali Imran: 31)

Dengan mencintai-Nya, yang dibuktikan dengan mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, kalian akan mendapatkan sesuatu yang lebih daripada apa yang kalian upayakan; yaitu kalian akan mendapatkan cinta-Nya.

Baca juga: Hak-hak Rasulullah atas Umat Manusia

Ini lebih agung daripada yang pertama (cinta kalian kepada-Nya), sebagaimana ucapan sebagian ulama ahli hikmah,

لَيْسَ الشَّأْنُ أَنْ تُحِبَّ، إِنَّمَا الشَّأْنُ أَنْ تُحَبَّ

‘Bagaimana kamu mencinta itu bukanlah hal yang penting. Yang terpenting adalah bagaimana agar kamu dicinta.’

Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah dan para salafus shalih berkata, ‘Ada orang-orang yang mengaku mencintai Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah menguji mereka dengan ayat ini (ayat 31 dari surah Ali Imran).’

Oleh sebab itulah, ayat ini dinamakan ‘ayat ujian (mihnah/imtihan)’,” kata al-Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullah. (Tafsir Ibni Katsir, 2/24—25)

Baca juga: Kewajiban Mengikuti Sunnah Nabi

Jika Allah subhanahu wa ta’ala telah mencintai kalian, itu adalah bukti bahwa cinta kalian kepada-Nya adalah cinta yang jujur. Salah satu bukti bahwa kalian mencintai-Nya adalah mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dengan itu, kalian akan mendapatkan kecintaan dari Dzat yang mengutus rasul tersebut. Jika kalian tidak mau mengikuti Rasul, tetapi kalian mengaku mencintainya-Nya; cinta yang kalian nyatakan bukanlah cinta yang jujur sehingga Dia tidak akan mencintai kalian. (Madarijus Salikin, 3/20)

Sebab Memperoleh Cinta Allah

Ada sepuluh sebab yang akan membuat seorang hamba memperoleh cinta Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini telah disebutkan oleh al-Hafizh Ibnul Qayyim al-Jauziyah rahimahullah.

  1. Membaca al-Qur’an dengan tadabur, disertai dengan memahami makna dan maksud dari setiap ayatnya.
  2. Mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’aladengan amalan sunnah, setelah mengerjakan yang fardhu (wajib)[3]. Sebab, ia akan membuat seorang hamba dicintai, setelah sebelumnya ia mencintai.
  3. Terus-menerus mengingat-Nya dalam seluruh keadaan; dengan lisan, kalbu, dan amalan. Dengan ini seorang hamba akan memperoleh cinta-Nya, seukuran dengan seberapa sering ia mengingat Dzat yang dicintainya.
  4. Mengutamakan apa yang dicintai-Nya daripada apa yang kamu cintai, tatkala hawa nafsu sedang bergejolak.
  5. Memaksa kalbunya untuk mempersaksikan dan mengenal nama-nama serta sifat-sifat-Nya; dan senantiasa merenunginya.

Siapa yang mengenal Allah subhanahu wa ta’ala dengan seluruh nama, sifat, serta perbuatan-Nya; dia pasti akan mencintai Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itulah, kelompok sesat semacam al-mua’thilahfir’auniyah, serta jahmiyah[4] merupakan penghalang bagi kalbu untuk mencapai Dzat yang dicintainya.[5]

Baca juga: Mengenal Allah
  1. Menyaksikan dan mengakui seluruh kebaikan dan nikmat-Nya, yang lahir ataupun batin.
  2. Ini yang paling mengagumkan, yaitu hancur luluhnya kalbu di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, dan merasa tidak berdaya sama sekali di hadapan-Nya. Tidak ada kesombongan sedikit pun karena ia menyadari bahwa dirinya tidak ada apa-apanya di hadapan kebesaran dan kekuasaan Sang Pencipta.
  3. Berduaan dengan-Nya di waktu turun-Nya[6], untuk bermunajat kepada-Nya dan membaca kalam-Nya, kemudian menutupnya dengan istigfar dan tobat.
  4. Bermajelis dengan orang-orang yang juga mencintai-Nya dan jujur dalam keimanannya, serta memetik buah yang indah dari ucapan mereka, sebagaimana buah yang bagus akan selalu dipilih daripada selainnya.
  5. Menjauhi segala sebab yang dapat memisahkan kalbu dari Allah subhanahu wa ta’ala.

(Madarijus Salikin, 3/18)

Penutup

Sebagai penutup, hendaknya kita semua tidak sibuk mencinta dan mencari cinta makhluk, lantas malah lupa mencintai-Nya dan meraih cinta-Nya.

Sungguh, siapa saja yang mencintai-Nya dengan jujur, Dia pun akan mencintainya dan menjadikan penduduk langit dan bumi mencintainya, sebagaimana dinyatakan dalam hadits,

إِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَقَالَ: يَا جِبْرِيْلُ، إِنِّي أُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبَّهُ. قَالَ: فَيُحِبُّهُ جِبْرِيْلُ؛ قَالَ: ثُمَّ يُنَادِي فِي أَهْلِ الْسَّمَاءِ: إِنَّ اللهَ يُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبُّوْهُ. قَالَ: فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ. ثُمَّ يُوْضَعُ لَهُ الْقَبُوْلُ فِي الْأَرْضِ…

“Sungguh, apabila Allah subhanahu wa ta’ala telah mencintai seorang hamba, Allah akan memanggil Jibril, lalu berkata, ‘Wahai Jibril! Sungguh, Aku telah mencintai Fulan, maka cintailah dia.’ Jibril pun mencintai si Fulan, kemudian menyeru para penduduk langit, ‘Sungguh, Allah telah mencintai Fulan, maka cintailah dia.’ Para penduduk langit pun kemudian mencintainya. Lalu dijadikanlah rasa cinta itu pada hati para penduduk bumi.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)


Catatan Kaki

[1] Ucapan Laa ilaaha illlallah seorang hamba tidak akan diterima dan tidak bermanfaat sampai dia mencintai kalimat tersebut dan mencintai—termasuk mengamalkan—makna yang dikandungnya.

[2] HR. Muslim dan al-Bukhari. Al-Bukhari menyebutkannya secara mu’allaq.

[3] Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا افْتُرِضَ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ بَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ

“Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai, daripada amalan yang diwajibkan kepadanya. Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan nawafil (sunnah) hingga Aku pun mencintainya.” (HR. al-Bukhari)

[4] Kelompok yang menolak sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala seluruhnya atau sebagiannya, bahkan ada yang sampai menolak nama-nama-Nya yang husna (mencapai puncak kebaikan).

[5] Mereka yang menolak nama-nama Allah subhanahu wa ta’ala, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya, bagaimana bisa mereka akan mencintai-Nya dengan sebenar-benarnya?

[6] Pada sepertiga malam yang terakhir, sebagaimana dinyatakan dalam hadits yang sahih.

Ditulis oleh Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah