Ilmu dan Akhlak Orang yang Berilmu

Ulama adalah pewaris para nabi. Mereka adalah pemimpin manusia sepeninggal para nabi. Mereka membimbing manusia kepada Allah, memberi arahan, dan mengajari manusia tentang agama mereka. Akhlak para ulama ini sedemikian agung. Sifat-sifat mereka begitu terpuji.

Para ulama memiliki akhlak yang paling tinggi karena mereka menempuh jalan para rasul. Mereka berjalan di atas manhaj dan jalan para rasul dalam berdakwah kepada Allah subhanahu wa ta’ala serta memberi peringatan kepada umat dari sebab-sebab datangnya kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka adalah orang yang bersegera mengamalkan kebaikan yang mereka ketahui, baik berupa ucapan maupun perbuatan.

Sebaliknya, mereka amat jauh dari kejelekan yang mereka ketahui, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Mereka adalah qudwah dan uswah setelah para nabi dalam hal akhlak mereka yang agung, sifat mereka yang terpuji, dan amal mereka yang mulia. Mereka berilmu dan beramal serta mengarahkan para murid mereka kepada akhlak yang tinggi dan jalan yang terbaik.

Telah lewat penjelasan kami bahwa ilmu adalah ucapan Allah subhanahu wa ta’ala dan ucapan Rasul-Nya. Inilah ilmu syariat, ilmu tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam serta ilmu yang mendukung untuk memahami Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Orang yang berilmu wajib berpegang dengan asas yang agung ini, mengajak manusia kepadanya, dan mengarahkan murid-murid mereka kepadanya. Hendaklah yang selalu menjadi tujuan adalah ilmu tentang apa yang diucapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, mengamalkannya, mengarahkan dan membimbing manusia kepadanya.

Baca juga: Amalan Tanpa Ilmu Laksana Fatamorgana

Dalam berdakwah, orang yang berilmu tidak boleh berpecah belah dan berselisih. Tidak boleh pula berdakwah kepada kelompok/partai Fulan, kepada pendapat Fulan, atau kepada pikiran si Allan. Namun, yang wajib, dakwah itu hanyalah satu, yaitu dakwah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Bukan dakwah kepada mazhab Fulan, kepada dakwah si Allan, kepada partai tertentu, atau pendapat tertentu. Kaum muslimin wajib menempuh jalan yang satu dan tujuan yang satu, yaitu mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Adapun perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam mazhab yang empat dan selainnya, yang wajib adalah mengambil pendapat yang paling dekat kepada kebenaran, yaitu pendapat yang paling mendekati ucapan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya atau yang lebih mendekati kandungan kaidah-kaidah syariat.

Para imam mujtahid, tujuan mereka hanyalah itu. Para sahabat sebelum mereka pun demikian. Mereka berposisi sebagai para imam/pemimpin sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, merupakan orang-orang yang paling tahu tentang Allah, paling utama di kalangan manusia, paling sempurna ilmu dan akhlak mereka. Mereka pun pernah berbeda pendapat dalam sebagian masalah. Akan tetapi, dakwah mereka tetap satu, jalan mereka hanya satu. Mereka mengajak kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Demikian pula generasi setelah para sahabat dari kalangan tabiin dan atba’ut tabi’in, seperti Imam Malik, Abu Hanifah, asy-Syafii, Ahmad, dan dari kalangan para imam selain mereka yang memberi petunjuk, seperti al-Auza’i, ats-Tsauri, Ibnu Uyainah, Ishaq bin Rahuyah, dan yang semisal mereka dari kalangan orang yang berilmu dan beriman rahimahumullah.

Baca juga: Jalan Kebenaran Hanya Satu

Dakwah mereka satu, yaitu dakwah kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka melarang para pengikut mereka melakukan taklid terhadap mereka. Mereka mengatakan, “Ambillah dari mana kami mengambil.” Yang mereka maksudkan adalah ambillah dari Kitabullah dan As-Sunnah.

Siapa yang tidak mengetahui al-haq, dia wajib bertanya kepada orang yang berilmu, yang dikenal memiliki ilmu dan keutamaan, memiliki akidah dan perjalanan hidup yang baik. Dia mengambil ilmu dari mereka disertai dengan sikap memuliakan ulama dan mengetahui kadar/keutamaan mereka. Dia juga mendoakan agar mereka mendapat tambahan taufik dan pahala yang besar.

Semua itu karena para ulama adalah orang-orang terdepan dalam melakukan kebaikan yang besar. Mereka telah mengajari, memberikan bimbingan, dan menjelaskan jalan kebenaran kepada manusia. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati mereka.

Kita harus tahu kadar dan keutamaan mereka, mendoakan rahmat bagi mereka, mencontoh mereka dalam hal semangat berilmu dan berdakwah ke (jalan) Allah subhanahu wa ta’ala serta mendahulukan ucapan Allah dan Rasul-Nya daripada yang selainnya. Kita harus bersabar di atas semua itu, bersegera dalam beramal saleh, dan mencontoh mereka dalam keutamaan yang agung.

Akan tetapi, kita tidak boleh sama sekali ta’ashub/fanatik buta kepada salah seorang dari mereka. Kita juga tidak boleh menganggap bahwa ucapan/pendapatnya adalah kebenaran mutlak. Yang semestinya kita katakan ialah bahwa setiap orang terkadang salah, terkadang benar. Yang benar hanyalah apa yang sesuai dengan ucapan Allah dan Rasul-Nya.

Baca juga: Taklid dan Fanatisme Golongan

Apabila ada perselisihan/perbedaan pendapat, kita wajib mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ  

“Apabila kalian berselisih dalam suatu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan Rasulullah.” (an-Nisa: 59)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

وَمَا ٱخۡتَلَفۡتُمۡ فِيهِ مِن شَيۡءٍ فَحُكۡمُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِۚ  

“Apa saja perkara yang kalian berselisih di dalamnya, maka hukumnya dikembalikan kepada Allah.” (asy-Syura: 10)

Tidak boleh sama sekali fanatik buta terhadap Si Zaid misalnya atau Si Amr. Tidak boleh pula fanatik buta kepada pendapat Si Fulan atau Si Allan. Demikian pula, tidak boleh fanatik buta kepada partai A, jalan B, atau jamaah C. Sikap fanatik buta seperti ini termasuk kesalahan terkini, yang mayoritas manusia jatuh ke dalamnya.

Ketahuilah, kaum muslimin wajib menempuh satu tujuan, yaitu mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dalam segala keadaan, baik dalam keadaan sempit maupun lapang, ketika safar (bepergian ke luar kota) ataupun mukim (berdiam/tidak safar). Apabila seseorang mendapatkan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama, hendaklah ia meneliti pendapat-pendapat mereka, lalu mengikuti pendapat yang sesuai dengan dalil, tanpa ta’ashub kepada seorang pun.

Baca juga: Prinsip-Prinsip Mengkaji Agama

Seorang alim dikenali dengan kesabaran dan takwa, rasa takut kepada Allah, bersegera melakukan hal yang diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta menjauh dari perkara yang Allah dan Rasul-Nya haramkan.

Demikianlah seharusnya keberadaan seorang alim, baik berprofesi sebagai guru, hakim, maupun juru dakwah (dai yang mengajak manusia kepada Allah). Dia wajib menjadi qudwah (teladan) dalam kebaikan, uswah dalam kesalehan. Ia wajib mengamalkan ilmunya dan bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala di mana saja ia berada. Ia wajib membimbing manusia kepada kebaikan sehingga dapat menjadi qudwah yang saleh bagi murid-muridnya, keluarganya, tetangganya, dan orang-orang yang mengenalnya. Mereka mencontoh ucapan dan amalannya yang sesuai dengan syariat Allah subhanahu wa ta’ala.

Seorang penuntut ilmu wajib berhati-hati sekali dari sikap menyepelekan perkara yang Allah subhanahu wa ta’ala wajibkan atau menggampang-gampangkan dirinya ketika jatuh dalam perkara yang Dia haramkan. Sebab, penuntut ilmu menjadi contoh bagi yang lain. Apabila ia bersikap demikian, orang yang lain pun akan bersikap sama.

Sepantasnya pula penuntut ilmu bersemangat menjalankan amalan sunnah agar ia terbiasa dengan amalan tersebut dan manusia pun dapat mencontohnya. Sebaliknya, ia harus menjauhi perkara yang makruh dan syubhat sehingga manusia tidak mencontohnya.

Baca juga: Menghidupkan Sunnah Nabi yang Kian Terasing

Penuntut ilmu itu mulia keberadaannya. Mereka adalah orang pilihan di alam ini. Mereka memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang tidak dipikul oleh selain mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang kepemimpinannya.”[1]

Orang yang berilmu adalah para pembimbing dan pemberi petunjuk. Maka dari itu, mereka wajib memperhatikan orang-orang yang di bawah bimbingannya. Hendaklah mereka takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan membimbing manusia kepada sebab-sebab keselamatan serta memperingatkan mereka dari sebab-sebab kebinasaan.

Hendaklah mereka menumbuhkan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya di antara mereka. Seharusnya mereka juga istiqamah di atas agama Allah, rindu kepada-Nya, kepada surga, dan kemuliaan-Nya. Sebaliknya, mereka berhati-hati dari api neraka karena neraka adalah seburuk-buruk tempat kembali.

Ilmu-ilmu selain ilmu syariat, seperti pertambangan, pertanian, perikanan, dan seluruh industri yang bermanfaat, terkadang bisa menjadi wajib apabila memang dibutuhkan oleh kaum muslimin. Hukumnya fardhu kifayah. Hendaklah pemerintah memperhatikan hal-hal yang memberi kemanfaatan kepada kaum muslimin, membantu orang-orang yang menempuh bidang tersebut untuk memberi kemanfaatan kepada kaum muslimin dan sebagai persiapan menghadapi musuh-musuh mereka. Amal seorang hamba akan menjadi ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala apabila murni/tulus niatnya, ikhlas karena-Nya. Namun, apabila tanpa niat, itu terhitung sebagai hal yang mubah.

Baca juga: Perjalanan Panjang Meraih Ilmu

Adapun ilmu syariat, haruslah dituntut oleh setiap orang (fardhu ‘ain). Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya dan bertakwa pada-Nya. Sementara itu, tidak ada jalan untuk beribadah dan bertakwa kecuali dengan ilmu syar’i, yaitu ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana penjelasan yang telah lewat.

Seharusnya penuntut ilmu mendalami agamanya, mempelajari hukum-hukum Allah, mengenali akidah salafiyah yang benar yang dipegangi oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik; yaitu iman kepada Allah dan Rasul-Nya, iman kepada nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, membiarkannya sebagaimana datangnya sesuai dengan sisi yang pantas bagi kemuliaan Allah tanpa tahrif, tanpa ta’thil, tanpa takyif dan tanpa tamtsil[2], tidak dikurangi dan tidak ditambah.

Baca juga: Mengenal Allah

Kita memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar memberikan taufik kepada para penuntut ilmu dan membantu mereka dalam urusan yang mendatangkan ridha-Nya. Kita juga memohon agar Dia memberikan hidayah kepada para hamba dan memperbaiki keadaan mereka. Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.

Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabat beliau, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan.


Catatan Kaki

[1] HR. al-Bukhari dan Muslim. (-pen.)

[2] Tahrif secara bahasa bermakna menyimpangkan sesuatu dari hakikat, bentuk, dan kebenarannya. Adapun secara istilah syariat, maknanya adalah memalingkan sebuah ucapan dari makna zahirnya yang semula dipahami, kepada makna lain yang tidak ditunjukkan oleh rangkaian kalimatnya.

Ta’thil secara bahasa maknanya meninggalkan dan mengosongkan. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah menolak makna yang benar di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Tamtsil secara bahasa maknanya menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah meyakini bahwa sifat-sifat Allah yang Maha Pencipta serupa dengan sifat-sifat makhluk ciptaan-Nya.

Takyif maknanya meyakini sifat-sifat Allah dalam bentuk tertentu yang dibayangkan di alam pikiran, atau menanyakan bagaimana bentuknya walaupun tanpa menyerupakannya dengan sesuatu yang wujud.

(Dinukil oleh Ummu Ishaq al-Atsariyyh dari kitab al-‘Ilmu wa Akhlaqu Ahlihi, Syaikh Ibnu Baz rahimahullah)