Prinsip-Prinsip Mengkaji Agama

Prinsip-Prinsip Mengkaji Agama

Menuntut ilmu agama tidak cukup bermodal semangat saja. Harus tahu pula rambu-rambu yang telah digariskan syariat. Tujuannya, agar tidak bingung menghadapi seruan dari banyak kelompok dakwah. Yang paling penting, tidak terjatuh kepada pemahaman yang menyimpang!

Dewasa ini banyak sekali ‘jalan’ yang ditawarkan untuk mempelajari dinul Islam. Setiap pihak sudah pasti mengklaim jalannya sebagai yang terbaik dan benar. Melalui berbagai cara, mereka berusaha meraih pengikut sebanyak-banyaknya. Lihatlah sekeliling kita. Ada yang menawarkan jalan dengan memenej kalbunya. Ada yang mengajak untuk ikut hura-hura politik. Ada yang menyeru umat untuk segera mendirikan khilafah. Ada pula yang berkelana dari satu daerah ke daerah lain untuk mengajak manusia ramai-ramai ke masjid.

Namun, lihat pula sekeliling kita. Kondisi umat Islam masih begini-begini saja. Kebodohan dan ketidakberdayaan masih menyelimuti. Bahkan, sepertinya makin bertambah parah.

Adakah yang salah dari tindakan mereka?

Ya, melihat kondisi umat yang semakin tenggelam dalam kegelapan, sudah pasti ada yang salah. Mengapa mereka tidak mengajak umat untuk kembali mempelajari agamanya saja? Mengapa mereka justru menyibukkan umat dengan sesuatu yang berujung kesia-siaan?

Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai pewaris Nabi shallallahu alaihi wa sallam selalu berusaha mengamalkan wasiat beliau untuk mengajak umat kembali mempelajari agamanya. Dalam berbagai hal, Ahlus Sunnah tidak akan pernah keluar dari jalan yang telah digariskan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Lebih-lebih dalam mengambil dan memahami agama, yang merupakan sesuatu yang sangat asasi dalam kehidupan. Inilah yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh umat.

Berikut ini akan kami uraikan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam mengkaji agama. Namun, kami hanya menyebutkan hal-hal yang sangat pokok dan mendesak untuk diungkapkan. Tidak mungkin kita menyebutkan semuanya karena keterbatasan ruang yang ada.

Makna Manhaj

Manhaj dalam bahasa Arab adalah sebuah jalan terang yang ditempuh. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لِكُلٍّ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةً وَمِنۡهَاجًاۚ

“Dan kami jadikan untuk masing-masing kalian syariat dan minhaj.” (al-Maidah: 48)

Kata minhaj منهاج, sama dengan kata manhaj منهج. Kata minhaj dalam ayat tersebut diterangkan oleh imam ahli tafsir, Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, maknanya adalah sunnah. Sunnah sendiri artinya jalan yang ditempuh dan sangat terang. Demikian pula dijelaskan oleh Ibnu Katsir. (lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/67—68, dan al-Mu’jamul Wasith)

Pembahasan ini bermaksud menjelaskan jalan yang ditempuh Ahlus Sunnah dalam mendapatkan ilmu agama. Dengan jalan itulah, insya Allah kita akan selamat dari berbagai kesalahan atau kerancuan dalam mendapatkan ilmu agama. Berikut inilah rambu-rambu yang harus dipegang dalam mencari ilmu agama.

  1. Mengambil ilmu agama dari sumber aslinya, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ٱتَّبِعُواْ مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكُم مِّن رَّبِّكُمۡ وَلَا تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِۦٓ أَوۡلِيَآءَۗ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ

“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan jangan kalian mengikuti para pimpinan selain-Nya. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya.” (al-A’raf: 3)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ

“Ketahuilah bahwasanya aku diberi Al-Qur’an dan yang serupa dengannya bersamanya.” (Sahih, HR. Ahmad dan Abu Dawud dari al-Miqdam bin Ma’dikarib. Lihat ash-Shahihul Jami’ no. 2643)

  1. Memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih.

Mereka adalah para sahabat Rasulullah dan yang mengikutinya dari kalangan tabiin dan tabi’ut tabi’in. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

خَيرُ النَّاس قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang setelah mereka, kemudian yang setelah mereka.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)

Kebaikan yang melekat pada mereka adalah kebaikan yang mencakup segala hal yang berkaitan dengan agama, baik ilmu, pemahaman, pengamalan, maupun dakwah.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Nabi mengabarkan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasi beliau secara mutlak. Itu berarti bahwa merekalah yang paling utama dalam semua pintu kebaikan. Jika tidak demikian, yakni mereka hanya baik dalam sisi tertentu, mereka bukan generasi terbaik secara mutlak.” (lihat I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin, 4/104)

Dengan demikian, pemahaman mereka terhadap agama ini sudah dijamin oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Oleh sebab itu, kita tidak meragukan lagi bahwa kebenaran itu pasti bersama mereka. Hal itu sangat wajar karena mereka adalah orang yang paling tahu setelah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Mereka menyaksikan di mana dan kapan turunnya wahyu. Mereka juga tahu pada saat apa Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengucapkan hadits. Keadaan yang semacam ini tentu sangat mendukung terhadap pemahaman agama.

Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa ketika para sahabat bersepakat terhadap sesuatu, kita tidak boleh menyelisihi mereka. Tatkala mereka berselisih, tidak boleh kita keluar dari perselisihan mereka. Artinya, kita harus memilih salah satu dari pendapat mereka dan tidak boleh membuat pendapat baru di luar pendapat mereka.

Baca juga:

Mengapa Harus Manhaj Salaf?

Imam asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan,

“Mereka (para sahabat) berada di atas kita dalam segala ilmu, ijtihad, wara’ (sikap berhati-hati), akal, dan hal-hal yang mendatangkan ilmu atau diambil ilmu darinya. Pendapat mereka lebih terpuji dan lebih utama bagi kita dari pendapat kita sendiri—wallahu a’lam—…

Demikian kami katakan. Jika mereka bersepakat, kami mengambil kesepakatan mereka. Jika salah seorang dari mereka memiliki sebuah pendapat yang tidak diselisihi yang lain, kita mengambil pendapatnya. Jika mereka berbeda pendapat, kami mengambil sebagian pendapat mereka. Kami tidak akan keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan.” (al-Madkhal Ilas Sunan al-Kubra hlm. 110)

Begitu pula Muhammad bin al-Hasan mengatakan,

“Ilmu itu empat macam.

Pertama, apa yang terdapat dalam kitab Allah subhanahu wa ta’ala atau yang serupa dengannya.

Kedua, apa yang terdapat dalam Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam atau yang semacamnya.

Ketiga, apa yang disepakati oleh para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau yang serupa dengannya. Jika mereka berselisih di dalamnya, kita tidak boleh keluar dari perselisihan mereka…

Keempat, apa yang dianggap baik oleh para ahli fikih atau yang sejenisnya.

Ilmu itu tidak keluar dari empat macam ini.” (Intishar li Ahlil Hadits hlm. 31)

Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Setiap pendapat yang dikatakan hanya oleh seseorang yang hidup pada masa ini dan tidak pernah dikatakan oleh seorang pun yang terdahulu, maka itu salah. Imam Ahmad mengatakan, ‘Jangan sampai engkau mengeluarkan sebuah pendapat dalam sebuah masalah yang engkau tidak memiliki pendahulu dalam hal itu.’” (Majmu’ al-Fatawa, 21/291)

Baca juga:

Kedudukan Para Sahabat di Sisi Allah dan Rasul-Nya serta Kaum Mukminin

Hal itu—wallahu a’lam—karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَجَارَ أُمَّتِي أَنْ تَجْتَمِعَ عَلَى ضَلَالَةٍ

“Sesungguhnya Allah melindungi umatku untuk berkumpul di atas kesesatan.” (Hasan, HR. Abu Dawud no. 4253, Ibnu Majah no. 395, dan Ibnu Abi ‘Ashim, dari Ka’b bin ‘Ashim no. 82, 83; dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah no. 1331)

Jadi, dalam sebuah perkara agama yang diperselisihkan oleh mereka, tidak mungkin semua pendapat mereka salah. Jika semua pendapat mereka adalah salah, berarti mereka telah berkumpul di atas kesalahan. Pasti kebenaran itu ada pada salah satu di antara pendapat mereka. Karena itu, kita tidak boleh keluar dari pendapat mereka. Kalau kita keluar dari pendapat mereka, dipastikan akan salah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah di atas.

  1. Tidak melakukan taklid atau ta’ashub (fanatik) mazhab.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ٱتَّبِعُواْ مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكُم مِّن رَّبِّكُمۡ وَلَا تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِۦٓ أَوۡلِيَآءَۗ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya).” (al-A’raf: 3)

وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (al-Hasyr: 7)

Dengan jelas, ayat di atas menganjurkan untuk mengikuti apa yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala, baik berupa Al-Qur’an maupun hadits. Maka dari itu, ucapan siapa pun yang tidak sesuai dengan keduanya berarti harus ditinggalkan. Imam asy-Syafi’i mengatakan, “Kaum muslimin bersepakat bahwa siapa pun yang telah jelas baginya Sunnah Nabi, dia tidak boleh berpaling pada ucapan seseorang, siapa pun orang itu.” (Sifat Shalat an-Nabi hlm. 50)

Demikian pula, kebenaran itu tidak terbatas pada pendapat salah satu dari imam mazhab yang empat. Selain mereka, masih banyak ulama yang lain, baik yang sezaman atau yang lebih dahulu dari mereka. Ibnu Taimiyah mengatakan,

“Sesungguhnya tidak ada seorang Ahlus Sunnah pun yang mengatakan bahwa kesepakatan empat imam itu adalah hujah yang tidak mungkin salah. Tidak seorang pun dari mereka yang mengatakan bahwa kebenaran itu terbatas padanya dan bahwa yang keluar darinya berarti batil. Bahkan, jika seseorang yang bukan pengikut empat imam itu—seperti Sufyan ats-Tsauri, al-Auza’i, al-Laits bin Sa’d dan yang sebelum mereka atau ahlul ijtihad yang setelah mereka—mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi pendapat empat imam tersebut, perselisihan mereka dikembalikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Pendapat yang paling kuat adalah yang berada di atas dalil.” (Minhajus Sunnah, 3/412 dari al-Iqna’ hlm. 95)

Baca juga:

Taklid dan Fanatisme Golongan

Sebaliknya, ta’ashub (fanatik) mazhab akan menghalangi seseorang untuk sampai pada kebenaran. Tak mengherankan kalau ada dari kalangan ulama mazhab mengatakan, “Setiap hadits yang menyelisihi mazhab kami, maka itu mansukh (terhapus hukumnya) atau harus ditakwilkan (yakni diarahkan pada makna yang lain).”

Akhirnya mazhablah yang menjadi ukuran kebenaran, bukan ayat atau hadits. Bahkan ta’ashub semacam itu menimbulkan kesan jelek terhadap agama Islam sehingga menghalangi masuk Islamnya seseorang. Pernah terjadi di Tokyo, ketika beberapa orang ingin masuk Islam dan ditunjukkan kepada orang-orang India, mereka menyarankan untuk memilih mazhab Hanafi. Ketika datang kepada orang-orang Jawa atau Indonesia, mereka menyarankan untuk memilih mazhab Syafi’i. Mendengar jawaban-jawaban itu, mereka sangat keheranan dan bingung sehingga sempat menghambat mereka dari jalan Islam. (Lihat mukadimah Sifat Shalat an-Nabi hlm. 68)

  1. Waspada dari para dai jahat.

Jahat yang dimaksud bukan dari sisi kriminal, melainkan lebih khusus dari tinjauan keagamaan. Artinya, mereka yang membawa ajaran-ajaran yang menyimpang dari akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, sedikit atau banyak.

Di antara ciri-ciri mereka adalah suka berdalil dengan ayat-ayat yang belum begitu jelas maknanya sehingga bisa mereka tafsirkan semau mereka. Dengan itu mereka maksudkan menebar fitnah, yakni menyesatkan para pengikutnya.

Baca juga:

Mewaspadai Penyeru Kebinasaan

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمۡ زَيۡغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَٰبَهَ مِنۡهُ ٱبۡتِغَآءَ ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَآءَ تَأۡوِيلِهِۦۖ وَمَا يَعۡلَمُ تَأۡوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُۗ

“Adapun yang dalam hatinya terdapat penyelewengan (dari kebenaran), mereka mengikuti apa yang belum jelas dari ayat-ayat itu. (Mereka) inginkan dengannya fitnah dan ingin menakwilkannya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah.” (Ali Imran: 7)

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Menginginkan fitnah artinya ingin menyesatkan para pengikut mereka dengan mengesankan bahwa mereka berhujah dengan Al-Qur’an untuk (membela) bid’ah mereka. Padahal Al-Qur’an itu sendiri menyelisihi mereka. Ingin menakwilkannya artinya menyelewengkan maknanya sesuai dengan kemauan mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/353)

  1. Memilih guru yang dikenal berpegang teguh kepada Sunnah Nabi dalam berakidah, beribadah, berakhlak, dan muamalah.

Sebab, urusan ilmu adalah urusan agama. Seseorang tidak bisa sembarangan atau asal comot mengambilnya, tanpa peduli dari siapa dia dapatkan. Hal ini akan berakibat fatal sampai akhirat kelak. Maka dari itu, dia harus mengetahui orang yang akan dia ambil ilmu agamanya.

Jangan sampai dia mengambil agamanya dari orang yang memusuhi As-Sunnah; orang yang memusuhi Ahlus Sunnah; orang yang tidak pernah diketahui belajar akidah yang benar karena selama ini mempelajari akidah-akidah yang salah; atau orang yang mendapatkan ilmu hanya dari hasil membaca tanpa bimbingan para ulama Ahlus Sunnah. Sangat dikhawatirkan, dia memiliki pemahaman-pemahaman yang salah karena hal tersebut.

Seorang tabiin bernama Muhammad bin Sirin mengatakan, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka dari itu, perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”

Beliau juga berkata, “Dahulu orang-orang tidak bertanya tentang sanad (rangkaian para rawi yang meriwayatkan) hadits. Tatkala terjadi fitnah, mereka mengatakan, ‘Sebutkan kepada kami sanad kalian.’ Mereka melihat (sanadnya adalah) Ahlus Sunnah, lalu mereka menerima haditsnya. Mereka juga melihat (sanadnya adalah) ahlul bid’ah, lalu menolak haditsnya.” (Riwayat Muslim dalam “Muqaddimah” Shahih-nya)

Baca juga:

Siapakah yang Berhak Diambil Ilmunya?

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ

“Keberkahan ada pada orang-orang besar kalian.” (Sahih, HR. Ibnu Hibban, al-Hakim, dan Ibnu Abdil Bar dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi hlm. 614 dengan tahqiq Abul Asybal; dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 2887 dan ash-Shahihah no. 1778)

Dalam ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu,

لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَخَذُوا الْعِلْمَ عَنْ أَكَابِرِهِمْ، فَإِذَا أَخَذُوا عَنْ صِغَارِهِمْ وَشِرَارِهِمْ هَلَكُوا

“Manusia tetap akan baik selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang besar mereka. Jika mereka mengambilnya dari orang-orang kecil dan jahat di antara mereka, mereka akan binasa.”

Diriwayatkan pula yang semakna dengannya dari sahabat Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu. (Riwayat Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi hlm. 615 dan 616, tahqiq Abul Asybal; dinilai sahih olehnya)

Ibnu Abdil Bar menukilkan dari sebagian ulama tentang maksud dari hadits di atas, “Yang dimaksud dengan orang-orang kecil dalam hadits Umar dan hadits-hadits yang semakna dengannya ialah orang yang dimintai fatwa padahal tidak berilmu. Adapun orang besar artinya yang berilmu tentang segala hal, atau yang mengambil ilmu dari para sahabat.” (Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi hlm. 617)

  1. Tidak mengambil ilmu dari sisi akal atau rasio.

Sebab, agama ini adalah wahyu, bukan hasil penemuan akal. Allah subhanahu wa ta’ala berkata kepada Nabi-Nya,

قُلۡ إِنَّمَآ أُنذِرُكُم بِٱلۡوَحۡيِۚ

Katakanlah (wahai Nabi), “Sesungguhnya aku memberi peringatan kepada kalian dengan wahyu.” (al-Anbiya: 45)

وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ٣ إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٌ يُوحَىٰ ٤

“Dan tidaklah yang diucapkan itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (an-Najm: 3—4)

Sungguh berbeda. Wahyu bersumber dari Allah, Dzat yang Mahasempurna, yang sudah pasti dan memiliki kesempurnaan. Adapun akal berasal dari manusia yang bersifat lemah, dan yang dihasilkannya pun lemah.

Jadi, siapa pun tidak boleh meninggalkan dalil yang jelas dari Al-Qur’an ataupun hadits yang sahih karena menurutnya tidak sesuai dengan akal. Seseorang harus menundukkan akalnya di hadapan keduanya.

Baca juga:

Kedudukan Akal dalam Islam

Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu berkata,

لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ، وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ

“Seandainya agama ini dengan akal maka tentunya bagian bawah khuf (semacam kaos kaki/sepatu yang terbuat dari kulit yang tingginya di atas mata kaki) lebih utama untuk diusap (saat berwudhu, -red.) daripada bagian atasnya. Sungguh, aku melihat Rasulullah mengusap bagian atas khuf-nya.” (Sahih, HR. Abu Dawud, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 162)

Pada ucapan beliau terdapat keterangan bahwa diperbolehkan seseorang mengusap bagian atas khuf, kaos kaki, atau sepatunya ketika berwudhu dan tidak perlu mencopotnya, jika terpenuhi syaratnya sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab fikih. Yang jadi bahasan kita di sini adalah ternyata yang diusap justru bagian atasnya, bukan bagian bawahnya. Padahal secara akal, yang lebih berhak diusap adalah bagian bawahnya karena itulah yang kotor.

Ini menunjukkan bahwa agama ini murni dari wahyu. Kita yakin bahwa wahyu tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat dan fitrah yang selamat. Masalahnya, terkadang akal tidak memahami hikmahnya, seperti dalam masalah ini. Bisa jadi, syariat melihat dari pertimbangan lain yang belum kita mengerti.

Jangan sampai ketidakmengertian kita menyebabkan kita menolak hadits yang sahih atau ayat Al-Qur’an yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala yang pasti membawa kebaikan pada makhluk-Nya. Hendaklah kita mencontoh sikap Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu di atas.

Baca juga:

Penundukan Ajaran Agama di Bawah Kendali Akal

Abul Muzhaffar as-Sam’ani menerangkan akidah Ahlus Sunnah,

“Para pengikut kebenaran menjadikan Al-Kitab dan As-Sunnah sebagai panutan mereka. Mereka mencari agama dari keduanya. Adapun apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Jika didapati sesuai dengan keduanya, mereka menerimanya dan bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang telah memperlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik.

Namun, jika didapati tidak sesuai dengan keduanya, mereka meninggalkannya. Mereka tetap mengambil Al-Kitab dan As-Sunnah lalu menganggap salah akal mereka. Sebab, keduanya tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang haq (kebenaran), sedangkan pendapat manusia kadang benar kadang salah.” (al-Intishar li Ahlil Hadits hlm. 99)

Ibnul Qayyim menyimpulkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:

  1. Pendapat akal yang menyelisihi nas Al-Qur’an atau As-Sunnah.
  2. Berbicara masalah agama dengan praduga dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nas-nas, serta memahami dan mengambil hukum dengan itu.
  3. Pendapat akal yang mengantarkan pada sikap menolak nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan Allah subhanahu wa ta’ala dengan teori atau qiyas yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.
  4. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya As-Sunnah.
  5. Berbicara tentang hukum-hukum syariat dengan sekadar anggapan baik dan prasangka.

Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. (lihat Ilamul Muwaqqi’in, 1/104—106; al-Intishar hlm. 21, 24; dan al-‘Aql wa Manzilatuhu)

  1. Menghindari perdebatan dalam agama.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ، ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ {مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلَۢاۚ بَلۡ هُمۡ قَوۡمٌ خَصِمُونَ}

“Tidaklah sebuah kaum tersesat setelah mereka berada di atas petunjuk kecuali mereka akan diberi sifat jadal (berdebat). Lalu beliau membaca ayat (artinya), ‘Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja. Bahkan, mereka adalah kaum yang suka berbantah-bantahan’.” (Hasan, HR. at-Tirmidzi dari Abu Umamah al-Bahili, dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5633)

Ibnu Rajab mengatakan, “Di antara sesuatu yang diingkari para imam salafush shalih adalah perdebatan dan berbantah-bantahan dalam masalah halal dan haram. Itu bukan jalan para imam agama ini.” (Fadhl ‘Ilmis Salaf hlm. 57, dari al-Intishar hlm. 94)

Ibnu Abil ‘Izz menerangkan makna mira` (berbantah-bantahan) dalam agama Allah ialah membantah ahlul haq (pemegang kebenaran) dengan menyebutkan syubhat-syubhat ahlul batil, dengan tujuan membuat keraguan pada masalah tersebut dan menyimpangkannya. Sebab, perbuatan ini mengandung ajakan kepada kebatilan, menyamarkan kebenaran, dan merusak agama Islam. (Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah hlm. 313)

Baca juga:

Debat dalam Urusan Agama, Jaring dan Perangkap Setan

Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan berdebat dengan cara yang paling baik. Firman-Nya,

ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ

“Ajaklah kepada jalan Rabb-Mu dengan hikmah, mauizah (nasihat) yang baik, dan berdebatlah dengan yang paling baik.” (an-Nahl: 125)

Para ulama menerangkan bahwa perdebatan yang paling baik bisa terwujud jika niat setiap pihak adalah baik. Selain itu, masalah yang diperdebatkan juga baik dan bisa dicapai kebenarannya dengan diskusi. Setiap pihak beradab dengan adab yang baik. Mereka juga punya kemampuan ilmu dan siap menerima kebenaran apabila kebenaran itu tampak dari hasil perdebatan mereka. Setiap pihak juga bersikap adil dan menerima orang yang kembali rujuk pada kebenaran. (ar-Rad ‘Alal Mukhalif, hlm. 56—62)

Perdebatan para sahabat dalam sebuah masalah adalah perdebatan musyawarah dan nasihat. Bisa jadi, mereka berselisih dalam sebuah masalah ilmiah atau amaliah dengan tetap bersatu dan berukhuwah. (Majmu’ al-Fatawa, 24/172)

Inilah beberapa rambu-rambu dalam mengambil ilmu agama sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an, hadits yang sahih, dan keterangan para ulama. Kiranya hal-hal di atas bisa menjadi titik perhatian kita dalam kehidupan beragama ini. Selanjutnya, kita berharap bisa beragama sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Wallahu a’lam.

 

Ditulis oleh Ustadz Qomar Suaidi, Lc.

 

Comments are closed.