Siapakah yang Berhak Diambil Ilmunya?

Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan

 Well

Berbagai kerusakan dan kehancuran terjadi dalam urusan dunia, lebih-lebih lagi urusan agama. Penyebab utamanya adalah jauhnya umat ini dari ilmu kitabullah, sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan jauhnya mereka dari para ulama.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiallahu ‘anhuma,

إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla tidak akan mencabut ilmu dari umat manusia dengan sekali cabut. Akan tetapi, Dia akan mencabut dengan mematikan para ulama (ahlinya). Sampai apabila Dia tidak menyisakan seorang alim, umat manusia akan menjadikan orang-orang yang bodoh sebagai pimpinanpimpinan mereka. Mereka ditanya (oleh umatnya) lantas menjawab tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan dalam hadits yang lainnya tentang akibat dicabutnya ilmu.

يُقْبَضُ الْعِلْمُ وَيَظْهَرُ الْجَهْلُ وَالْفِتَنُ وَيَكْثُرُ الْهَرْجُ

“Ilmu akan dicabut, (akibatnya) akan merebak kebodohan, berbagai fitnah,dan akan timbul banyak pembunuhan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Amalan-amalan jelek ibarat penyakit, sedangkan para ulama ibarat obatnya. Apabila para ulama rusak, siapa yang akan mengobati penyakit?” (al-Hilyah, 6/361)

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Kalau tidak ada para ulama, niscaya umat manusia akan menjadi seperti binatang-binatang ternak (tidak tahu halal dan haram).” (Mukhtashar Nashihat Ahlil Hadits hlm.167)

 

Siapakah Para Ulama?

Allah ‘azza wa jalla mengabarkan tentang keutamaan mereka dalam firman-Nya,

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28)

Mereka itulah pewaris para nabi, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَلَكِنْ وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para nabi, sedangkan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barang siapa mengambilnya (warisan para nabi), berarti dia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Sifat-sifat para ulama yang pantas dijadikan sebagai ikutan dan suri teladan ialah orang-orang yang berilmu tentang Allah ‘azza wa jalla, memahami kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta mengikuti diri dengan ilmu yang bermanfaat dan amalan yang saleh.

Orang-orang yang pantas dijadikan suri teladan adalah orang-orang yang mengumpulkan ilmu yang bermanfaat dan amalan yang saleh (pada dirinya). Orang yang berilmu, namun tidak mengamalkan ilmunya, tidak boleh diikuti. Demikian pula orang jahil yang tidak berilmu, tidak boleh diikuti.

Tidak boleh diikuti dan diteladani kecuali orang yang mengumpulkan dua hal, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amalan yang saleh. Adapun orang yang berilmu dan tidak sengaja berbuat salah atau menyimpang dalam perjalanan atau pemikirannya, maka pantas diambil ilmunya.” (al-Ajwibah al-Mufidah hlm. 251)

Asy-Syaikh Ahmad bin Umar bin Salim Bazmul hafizhahullah berkata, “Orang alim adalah orang yang ada pada dirinya sifat-sifat berikut ini,

  • Mengikuti segala sesuatu yang ada di dalam al-Kitab dan as-Sunnah,
  • Mengaitkan pemahamannya terhadap al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman salaf ash-shalih,
  • Komitmen dengan ketaatan dan jauh dari kefasikan, maksiat, dan dosadosa,
  • Menjauhkan dirinya dari bid’ah, kesesatan, kebodohan, dan mentahdzir (umat) darinya,
  • Mengembalikan (dalil-dalil) yang mutasyabih (samar) kepada yang muhkam (jelas pengertiannya) dan tidak mengikuti (dalil-dalil) yang mutasyabih itu,
  • Khusyuk dan tunduk terhadap perintah Allah,
  • Ahli istinbath (mengambil kesimpulan hukum dari dalil) dan memahaminya. (Syarh Qaul Ibni Sirin, 116—117)

 

Perintah Menimba Ilmu dari Mereka, Bukan dari Pihak Lain

Allah ‘azza wa jalla memerintah para hamba-Nya dalam firman-Nya,

“Maka bertanyalah kepada ahlul dzikr jika kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),

“Terjadi pada generasi sebelum kalian, ada seorang yang telah membunuh 99 jiwa. Dia bertanya-tanya tentang seorang yang paling berilmu di penduduk bumi. Ditunjukkanlah dia kepada seorang ahli ibadah.

Dia lantas menemuinya dan berkata, ‘Sesungguhnya aku telah membunuh 99 jiwa. Apakah aku masih memiliki kesempatan untuk bertobat?’

Ahli ibadah itu menjawab, ‘Tidak.’

Akhirnya, orang itu membunuhnya sehingga genap 100 jiwa yang telah dibunuhnya. Kemudian dia bertanya lagi tentang orang yang paling berilmu. Ditunjukkanlah dia kepada seorang alim.

Dia berkata, ‘Sesungguhnya aku telah membunuh seratus jiwa, apakah aku masih memiliki kesempatan untuk bertobat?’

Dia (si alim) berkata, ‘Ya, siapa yang menghalangi antara dirimu dan tobat? Pergilah engkau ke sebuah negeri yang cirinya demikian dan demikian, karena masyarakat negeri itu beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla. Beribadahlah engkau kepada Allah ‘azza wa jalla bersama mereka dan jangan kembali ke negerimu, karena negerimu adalah negeri yang jelek’.” (Muttafaqun ‘alaih)

Perhatikanlah kisah yang mulia ini. Kisah tentang akibat dari salah mengambil rujukan ilmu. Ujungnya menjadikan dia sesat (putus asa dari rahmat-Nya) dan zalim (membunuh). Sebaliknya, orang yang menuntut ilmu dari ahlinya, maka dirinya akan selamat, orang lain juga selamat dari kejelekan dan kejahatannya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits ini mengandung penjelasan bahwa seorang muslim hanya akan bertanya kepada seorang alim yang terpercaya di dalam agama dan keilmuannya, lantas mengambil ilmu darinya. Seorang muslim tidak akan bertanya kepada sembarang orang.” (Fathul Bari, 6/517)

Beliau rahimahullah juga berkata, “Di dalamnya ada penjelasan bahwa kembali kepada para ulama adalah sebab keselamatan dan kebahagiaan.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Seorang murid membutuhkan ustadz dari sisi ilmu dan dari sisi amal. Oleh karena itulah, wajib bagi dia untuk betul-betul bersemangat memilih ustadz-ustadz (yang akan dia ambil ilmunya). Hendaknya dia memilih ustadz yang sudah dikenal keilmuannya, dikenal amanah dan agamanya, serta dikenal keselamatan manhaj dan pengarahannya yang benar. Dengan demikian, dia bisa menimba ilmu dari mereka sekaligus belajar dari manhajnya.” (Washaya wa Taujih li Thullabil Ilmi, hlm. 100)

 

Cara Mengenali Ahli Ilmu

Ada tiga cara untuk mengenali ahlul ilmu yang berhak diambil ilmunya.

  1. Orang-orang yang berilmu dan terkenal akan keilmuannya.
  2. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syu’bah rahimahullah, “Ambillah ilmu dari orang-orang yang masyhur/terkenal.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam kitab al-Jarh wa Ta’dil, 2/28)

Sebagai permisalan di masa kita adalah seperti asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, asy-Syaikh al-Albani, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, dll.

  1. Bertanya pada ahlul ilmi pada zaman tersebut.
  2. Orang-orang yang masyhur bahwa dia menuntut ilmu di majelis-majelis para ulama.

Syu’bah berkata, “Ambillah ilmu dari orang-orang yang terkenal (keilmuannya).” (Diriwayatkan oleh al-Khatib di dalam al-Kifayah, hlm. 161)

Ibnu Aun rahimahullah berkata, “Tidak boleh diambil ilmu ini kecuali dari orang-orang yang dipersaksikan dengan menuntut ilmu.”

 

Orang-Orang yang Tidak Boleh Diambil Ilmunya

Asy-Syaikh Ahmad bin Umar bin Salim Bazmul hafizhahullah berkata, “Memerhatikan keadaan orang-orang yang berbicara di majelis untuk memberi faedah kepada orang lain akan membuahkan pembeda yang akan memilah antara orang-orang yang berhak diambil ilmunya dan yang tidak berhak.”

Ibnu Sirin berkata rahimahullah, “(Salaf) dahulu tidak bertanya tentang sanad. Tatkala terjadi fitnah, mereka berkata, ‘Sebutkanlah kepada kami para perawi kalian.’ Setelah itu diteliti, perawi-perawi dari Ahlus Sunnah diambil haditsnya. Adapun perawi-perawi dari kalangan ahli bid’ah tidak diambil haditsnya.”

Sungguh, sebagian orang asing telah mengaku-aku berilmu. Sebagian ahlul bid’ah dan pengekor hawa nafsu juga telah berbicara di majelis-majelis untuk memberi faedah kepada umat (dengan bid’ahnya). Orang yang sebenarnya lebih membutuhkan ilmu dan dakwah daripada orang-orang yang bodoh, sudah berani naik mimbar. Sungguh, salaf ash-shalih telah memperingatkan umat dari mereka.

Ahlul ilmi dan iman yang mengikuti salaf ash-shalih dengan baik senantiasa mentahdzir umat dari orang yang semacam ini dan melarang mengambil ilmu darinya disebabkan bahaya mereka terhadap masyarakat dan kesesatan serta penyimpangan yang muncul darinya.

Selanjutnya, asy-Syaikh Ahmad Bazmul menjelaskan bahwa kita bisa menyimpulkan tentang sebab-sebab pokok orang yang tidak berhak diambil ilmunya.

  1. Jahil (orang bodoh)
  2. Menyelisihi kebenaran karena syahwat dan syubhat

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah menggolongkan ulama menjadi tiga.

  1. Orang yang berilmu tentang Allah ‘azza wa jalla (nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mulia), tetapi tidak berilmu tentang perintah (syariat) Allah ‘azza wa jalla.
  2. Orang yang berilmu tentang perintah Allah ‘azza wa jalla dan berilmu tentang syariat-Nya. Orang ini adalah yang takut terhadap Allah ‘azza wa jalla dan itulah orang alim yang sempurna
  3. Orang berilmu tentang syariat Allah ‘azza wa jalla, namun tidak berilmu tentang Allah ‘azza wa jalla. Ini adalah orang yang tidak takut terhadap Allah ‘azza wa jalla, dan dialah alim yang jahat. (Syarh Qaul Ibni Sirin, hlm. 121—122)

Syaikhul Islam berkata, “Setiap muslim wajib memerhatikan segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya lantas mengamalkannya. Dia juga wajib memerhatikan segala sesuatu yang dilarang oleh Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya lantas meninggalkannya. Inilah jalan Allah ‘azza wa jalla dan agama-Nya, yaitu ash-shirath al-mustaqim. Jalan orang-orang yang telah dikaruniai nikmat oleh Allah ‘azza wa jalla, dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh.

Ash-shirath al-mustaqim adalah jalan yang menggabungkan antara ilmu dan amal. Ilmu yang syar’i dan amal yang syar’i. Barang siapa telah berilmu, namun tidak mengamalkan ilmunya, berarti dia adalah orang yang jahat. Barang siapa beramal tanpa ilmu, berarti dia sesat.” (Majmu’ Fatawa, 11/26)

Mudah-mudahan Allah ‘azza wa jalla senantiasa melimpahkan hidayah taufik kepada kita sehingga terkumpul pada diri kita semua dua hal yang mulia, yaitu ilmu dan amal.

Amin.