Mengafani Jenazah

cara mengafani jenazah

Ketika mayat selesai dimandikan, ia wajib dikafani. Bagaimana cara mengafani menurut syariat? Jawabannya ada di bahasan berikut.

Kematian adalah suatu kepastian. Kita ataupun orang-orang di sekitar kita mesti akan menemuinya karena Allah subhanahu wata’ala telah menetapkan,

كُلُّ نَفۡسٍ ذَآئِقَةُ ٱلۡمَوۡتِۗ

“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian.” (Ali Imran: 185)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri telah mengingatkan kita untuk memperbanyak mengingat mati dalam titahnya yang agung,

أَكْثِرُوْا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ-يَعْنِي الْمَوْتَ

“Perbanyaklah kalian mengingat penghancur kelezatan.” (Kata perawi), yang dimaksud oleh beliau shallallahu alaihi wasallam adalah kematian.[1]

Seorang muslim yang meninggal dunia punya hak yang harus ditunaikan oleh kaum muslimin yang masih hidup. Kewajiban tersebut hukumnya fardu kifayah, bila sudah ditunaikan oleh sekelompok orang, gugurlah kewajiban dari yang lain. Kewajiban yang dimaksud adalah memandikan mayat, mengafaninya, menshalatinya, dan menguburkannya.

Hal-hal yang berkaitan dengan memandikan mayat telah dibahas dalam edisi sebelum ini, selanjutnya masalah mengafani mayat.

Mengafani Mayat

Setelah mayat dimandikan, ia wajib dikafani berdasarkan perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Disebutkan dalam riwayat, seseorang yang sedang wukuf di Arafah tiba-tiba terjatuh dari hewan tunggangannya. Seketika itu, tunggangannya menginjaknya hingga ia meninggal dunia.

Nabi shallallahu alaihi wasallam pun memerintah para sahabatnya,

اغْسِلُوْهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوْهُ فِي ثَوْبَيْنِ …

“Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara. Kafani dia dalam dua pakaian/kain….”[2]

Ketika menjelaskan hadits Aisyah radhiyallahu ’anha, an-Nawawi rahimahullah berkata,

كُفِّنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثَلَاثَةِ أَثْوَابٍ بِيضٍ سُحُولِيَّةٍ

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dikafani dalam tiga kain suhuliyah[3] yang berwarna putih.”

Beliau berkata, “Hadits ini dan hadits Mush’ab bin Umair[4] yang terdahulu serta selain kedua hadits ini, menunjukkan wajibnya mengafani mayat. Ini merupakan kesepakatan kaum muslimin.” (Syarh Shahih Muslim, 7/8)

Ibnul Qaththan rahimahullah berkata, “Sunnah yang disepakati berkaitan dengan kaum muslimin yang meninggal dunia adalah mereka dimandikan dan dikafani. Ulama bersepakat tentang kewajiban mayat dimandikan dan dikafani apabila ia telah balig, selama ia tidak gugur sebagai syahid, terbunuh secara zalim, atau meninggal dalam hukum kisas.” (al-Iqna’ fi Masail al-Ijma’, 1/182)

Biaya Kafan

“Kafan tersebut atau biayanya diambil dari harta pokok si mayat[5] dengan dalil hadits Khabbab bin al-Aratt radhiyallahu ‘anhu. Ia mengisahkan bahwa ketika Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu gugur dalam Perang Uhud, ia tidak menyisakan peninggalan kecuali namirah, sejenis kain wol bergaris-garis yang biasa diselimutkan ke tubuh.

Apabila mereka menutupi kepalanya dengan namirah tersebut, tampaklah kedua kakinya. Ketika mereka menutupi kedua kakinya, tampaklah kepalanya. Melihat hal itu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintah mereka untuk menutupi bagian kepala, sedangkan kedua kakinya yang terbuka ditutupi tumbuhan bernama idzkhir, sejenis rumput-rumputan yang wangi.” (Syarh Shahih Muslim, 7/76)[6]

Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan agar Mush’ab radhiyallahu ‘anhu dikafani dengan namirah-nya. Beliau tidak menyuruh sahabat lain untuk mengeluarkan harta mereka guna keperluan kafan Mush’ab radhiyallahu anhu. Para fuqaha berkata, “Kafan mayat wajib diambil dari harta yang ditinggalkannya. Namun, apabila ia tidak memiliki harta, yang menanggung keperluan pengafanannya adalah orang yang wajib menafkahinya ketika ia hidup.” (Syarhu Shahih Muslim, 7/8; Nailul Authar, 4/46; Taudhihul Ahkam, 3/173)

Ukuran Kafan

“Sepantasnya kafan yang dipakai untuk menutupi mayat itu panjang dan lebar sehingga dapat menutupi seluruh tubuhnya.” (al-Majmu’, 5/154)

Hal ini ditunjukkan oileh hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ يَوْمًا فَذَكَرَ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِهِ قُبِضَ فَكُفِّنَ فِي كَفَنٍ غَيْرِ طَائِلٍ وَدُفِنَ لَيْلًا، فَزَجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُقْبَرَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهِ إِلَّا أَنْ يُضْطَرَّ النَّاسُ إِلَى ذَلِكَ. وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا كَفَّنَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُحْسِنْ كَفَنَهُ

“Suatu hari Nabi shallallahu alaihi wasallam berkhotbah. Beliau menyebut seseorang dari kalangan sahabat beliau yang telah meninggal. Orang itu dibungkus dengan kafan yang tidak panjang/lapang dan dikuburkan pada malam hari. Nabi shallallahu alaihi wasallam pun mencerca apabila jenazah seseorang dikuburkan pada malam hari sebelum jenazah itu selesai dishalati, kecuali apabila terpaksa. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Apabila salah seorang dari kalian mengafani saudaranya, hendaklah ia membaguskan kafannya’.”[7]

Yang dimaksud dengan membaguskan kafan, menurut para ulama adalah kafan itu berwarna putih, bersih, tebal, dapat menutupi, dan pertengahan—tidak berlebih-lebihan/mewah dan tidak pula jelek. Jadi, maksud membaguskan kafan bukanlah berlebihan-lebihan dan bermegah-megahan. (Syarhus Sunnah 5/315; al-Majmu’ 5/155; Subulus Salam 2/154; Ahkamul Janaiz, Syaikh al-Albani hlm. 77)

Sunnah-Sunnah dalam Hal Kain Kafan

Ada beberapa perkara yang disunnahkan berkaitan dengan kain kafan:

  1. Kain kafan berwarna putih

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ

“Pakailah kain yang berwarna putih dari pakaian kalian karena pakaian putih adalah sebaik-baik pakaian kalian. Kafanilah orang yang meninggal di kalangan kalian dalam kain putih.”[8]

  1. Kain kafan berjumlah tiga lembar

Dalilnya adalah hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُفِّنَ فِي ثَلاَثَةِ أَثْوَابٍ يَمَانِيَةٍ بِيضٍ، سُحُولِيَّةٍ مِنْ كُرْسُفٍ لَيْسَ فِيهِنَّ قَمِيصٌ وَلاَ عِمَامَةٌ {أُدْرِجَ فِيْهَا إِدْرَاجًا}

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dikafani dalam tiga kain yamaniyah berwarna putih suhuliyah dari bahan katun. Tidak ada gamis (baju) di antara lembar kafan itu, tidak ada pula imamah (surban). Beliau dimasukkan (dibungkus) ke dalam semua kafan itu.”[9]

Kain kafan tidak boleh lebih dari tiga lembar karena menyelisihi apa yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam. Selain itu, hal tersebut berarti menyia-nyiakan/membuang harta padahal kita dilarang melakukannya.

Keluarga yang masih hidup yang ditinggal mati si mayat tentu lebih utama mendapatkan kelebihan kain tersebut daripada digunakan secara berlebihan (sebagai kafan). Apalagi bila kainnya bagus,mewah, dan mahal.

Semoga Allah merahmati Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, ketika Aisyah radhiyallahu ‘anha, putrinya, berkomentar tentang kain yang disediakannya untuk kafannya nanti, “Kain ini telah usang.” Abu Bakr menanggapi dengan pernyataannya, “Sungguh, orang yang masih hidup lebih pantas untuk memakai kain yang baru.” (ar-Raudhatun Nadiyyah dengan Ta’liqat ar-Radhiyyah, 1/85)

Apabila tidak ada kain kafan kecuali hanya selembar, itu sudah mencukupi dan kewajiban telah tertunaikan. Sebab, Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mengafani paman beliau, Hamzah radhiyallahu anhu, dengan satu kain/pakaian. (Syarhus Sunnah, 5/314; Tharhu at-Tatsrib fi Syarhi at-Taqrib, 3/915)

Jumlah Kafan bagi Wanita

Mayat wanita dalam hal ini sama dengan laki-laki. Mayat wanita disunnahkan untuk dikafani dengan tiga lembar kafan karena tidak ada dalil yang membedakannya dengan laki-laki.

Adapun hadits Laila bintu Qais ats-Tsaqafiyah tentang pengafanan putri Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan lima kain kafan, kata Syaikh al-Albani rahimahullah sanadnya tidak sahih karena ada rawi bernama Nuh bin Hakim ats-Tsaqafi. Dia adalah rawi yang majhul, sebagaimana dinyatakan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dan selainnya. Di samping itu, dalam hadits tersebut ada ‘illat (penyakit/cacat) yang lain sebagaimana diterangkan oleh az-Zaila’i dalam Nashbur Rayah. (Ahkamul Janaiz, hlm. 85)

Demikian pula tambahan lafaz yang dimasukkan sebagian perawi dalam kisah pemandian jenazah Zainab bintu Rasulullah radhiyallahu ‘anha,

فَكَفَنَّاهَا فِي خَمْسَةِ أَثْوَابٍ

“Kami mengafaninya dalam lima kain.”

merupakan tambahan yang syadz (ganjil) atau mungkar. Hal ini diterangkan panjang lebar oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam adh-Dha’ifah (12/752—754).

Setelahnya, beliau rahimahullah berkata,

“Yang wajib dari sisi pembahasan fikih adalah berhenti pada hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang terdahulu bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam dikafani dengan tiga kain, dan tidak lebih. Hal ini dalam rangka mengikuti sunnah dan menjaga harta.

Alangkah bagusnya atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (3/259) dengan sanad yang sahih dari Rasyid bin Sa’ad, ia berkata, “Umar radhiyallahu ‘anha berkata, ‘Seorang laki-laki dikafani dalam tiga kain dan jangan kalian melebihkannya. Sebab, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat melampaui batas’.”
Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anha pun dikafani dengan tiga kain.

Tidak diragukan dalam hal ini bahwa wanita sama dengan lelaki karena asalnya demikian. Hal ini diketahui dari sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,

إِنَّمَا النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ

“Hanyalah wanita itu saudara kandungnya laki-laki.” (Hadits ini sahih, di-takhrij dalam al-Misykat, 441, Shahih Sunan Abi Dawud, 234, dan selain keduanya; adh-Dha’ifah, 12/754—755)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata tentang jumlah kain kafan untuk wanita,

“Hukum asal dalam perkara syariat laki-laki sama dengan wanita, kecuali bila ada dalil yang menunjukkan perbedaan[10]. Apabila ada dalil yang menyatakan pengkhususan dalam hukum (misalnya khusus untuk laki-laki, -pent.), niscaya hukum tersebut berlaku khusus, tidak berlaku bagi yang lain. Namun, apabila tidak ada dalil, laki-laki dan wanita itu sama.” (asy-Syarhul Mumti’, 2/520—521)

Al-‘Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullah berkata,

“Memperbanyak kafan dan berlebih-lebihan dalam harganya bukanlah perkara yang terpuji. Seandainya tidak ada keterangan dari syariat bahwa mayat itu harus dikafani, niscaya perbuatan tersebut termasuk membuang-buang harta. Sebab, kafan itu tidak memberikan manfaat kepada si mayat, tidak pula kembali kemanfaatannya kepada orang yang hidup.” (ar-Raudhatun Nadiyyah dengan Ta’liqat ar-Radhiyyah, 1/436)

Namun, dalam hal ini banyak ulama yang menyukai agar seorang wanita dikafani dengan lima lembar kafan—tidak lebih—bila memang dibutuhkan untuk lebih menutupi tubuhnya. Hal ini dinyatakan oleh Ibnul Mundzir rahimahullah, “Mayoritas ulama yang kami hafal dari mereka berpandangan bahwa wanita dikafani dengan lima kain kafan. Hal ini disenangi karena wanita semasa hidupnya harus ekstra menutup tubuhnya daripada laki-laki karena auratnya yang lebih dari laki-laki.”

Lima kain ini berupa kain yang disarungkan ke bagian aurat dan sekitarnya, dira’ (baju) yang dipakaikan ke tubuhnya, kerudung, dan dua kain yang diselimutkan ke seluruh tubuhnya sebagaimana mayat laki-laki. (al-Mughni, 2/173)

Jumlah Kafan Anak Kecil

Anak kecil cukup dikafani dalam selembar kain. Namun, tidak apa-apa apabila dikafani dalam tiga lembar kain. Demikian dikatakan oleh Ishaq bin Rahuyah, Said bin al-Musayyab, ats-Tsauri, ashabur ra`yi, dan selain mereka (al-Mughni, 2/171).

Apabila yang meninggal adalah anak perempuan yang belum haid/balig, menurut al-Hasan al-Bashri rahimahullah, ia dikafani dengan satu kain kafan atau tiga lembar kafan. Dikisahkan oleh Ayub bahwa putri Anas bin Sirin meninggal dunia dalam usia mendekati haid. Ibnu Sirin memerintahkan mereka untuk mengafaninya dengan satu kerudung dan dua kain yang diselimutkan ke seluruh tubuhnya. (al-Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah, 3/263—264)

  1. Salah satu dari kafan itu berupa kain bergaris-garis, bila mudah didapatkan

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

إِذَا تُوُفِّيَ أَحَدُكُمْ فَوَجَدَ شَيْئًا فَلْيُكَفَّنْ فِي ثَوْبٍ حِبَرَةٍ

“Apabila salah seorang dari kalian meninggal dan dia mendapati sesuatu (kelapangan), hendaklah ia dikafani dalam kain yang bergaris-garis.”[11]

  1. Kafan tersebut diberi wewangian berupa bukhur (dupa yang wangi) sebanyak tiga kali.

Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

إِذَا جَمَّرْتُمُ الْمَيِّتَ فَأَجْمِرُوْهُ ثَلَاثًا

“Apabila kalian mewangi-wangikan mayat, wangikanlah sebanyak tiga kali.”[12]

(Penjelasan tentang perkara yang disunahkan dalam kafan ini bisa dilihat dalam al-Majmu’ [5/155—156], al-Mughni [2/169], al-Muhalla [3/339—341], Nailul Authar [4/49—51], dll.)

Cara Mengafani Mayat

Setelah kafan diberi wangi-wangian hingga aroma semerbaknya menempel pada kain, kafan yang paling bagus dan paling lebar/lapang dibentangkan kemudian diberi hanuth[13]. Menyusul kain kedua diletakkan di atas kain pertama lalu diberi hanuth dan kapur barus. Demikian pula kain ketiga yang akan bersentuhan langsung dengan tubuh mayat.

Setelahnya mayat diangkat dalam keadaan tertutup kain dan diletakkan di atas kain kafan yang paling atas (dari tiga lapis kain yang telah disusun) dalam keadaan telentang. Kain kafan yang tersisa pada bagian kepalanya dibuat lebih panjang daripada pada bagian kedua kakinya.

Kemudian disiapkan kapas yang diberi hanuth dan kapur barus, lalu dimasukkan di antara dua belahan pantat si mayat dengan cara yang lembut untuk menahan keluarnya sesuatu dari duburnya yang beraroma tidak sedap. Setelah itu, diikat di atasnya dengan kain perca yang dibelah ujungnya, seperti celana pendek.

Diambil lagi kapas yang diberi hanuth dan kapur barus lalu diletakkan di atas mulut si mayat, dua lubang hidung, dua mata, dua telinga, anggota-anggota sujudnya—yaitu dahi dan hidung—, telapak tangan, dua lutut, dan dua telapak kaki, serta seluruh lubang yang ada di anggota tubuhnya. Termasuk pula lukanya yang berlubang apabila ada, guna mencegah darah atau nanah yang mungkin keluar dan akan mengotori kafan.

Rambut dan jenggot si mayat diberi kapur barus pula. Setelah itu, bagian kain kafan yang tersisa di sisi kiri si mayat ditekuk/dilipat ke sisi kanan tubuh mayat. Selanjutnya, kain yang di sisi kanan ditekuk ke sisi kiri tubuh mayat sehingga mayat benar-benar terbungkus/diselimuti dalam kafannya. Bisa juga sebaliknya, sisi kanan kafan terlebih dulu ditekuk, baru yang di sisi kiri.

Hal yang sama juga dilakukan pada lembar kafan yang kedua dan ketiga. Terakhir, kain yang tersisa di bagian kepala mayat dikumpulkan, lalu ditekuk ke bagian atas wajah mayat agar kain pada bagian wajah tidak tersingkap karena tiupan angin misalnya.

Adapun kain yang tersisa pada bagian kaki ditekuk ke bagian atas kedua kaki mayat. Kain tersebut bisa diikat apabila khawatir kafannya terbuka/terlepas. Namun, apabila hendak dimasukkan ke kuburannya, ikatan tersebut dibuka. (al-Hawil Kabir [3/21—23], al-Majmu’ [5/157—161], al-Mughni [2/169], asy-Syarhul Mumti’, 2/517—519])


[1] HR. an-Nasai, no. 1824, kitab al-Janaiz, bab Katsratu Dzikril Maut; at-Tirmidzi, no. 2307, kitab az-Zuhd ‘an Rasulillah shallallahu alaihi wasallam, bab Ma Ja’a fi Dzikril Maut, dan selain keduanya.

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata tentang hadits ini dalam Shahih Sunan an-Nasa’i dan Shahih Sunan at-Tirmidzi, “Hasan sahih”.

[2] HR. al-Bukhari, no. 1265 dalam Shahih-nya, kitab al-Janaiz, bab al-Kafan fi Tsaubaini; dan Muslim, no. 1206, kitab al-Hajj, bab Ma Yuf’alu bil Muhrim idza Mata.

[3] Nama kain yang dinisbahkan (disandarkan) kepada sebuah tempat/kota di Yaman yang bernama Suhul atau kain putih bersih dari katun. (al-Hawil Kabir [3/21], Syarhus Sunnah [5/313], al-Majmu’ [5/152], Tharhu at-Tatsrib fi Syarhi at-Taqrib [3/914], Fathul Bari [3/174])

[4] Yang dikafani dengan namirah-nya karena hanya itu yang harta ia tinggalkan.

[5] Demikian pendapat ‘Atha, az-Zuhri, Amr bin Dinar, dan Qatadah.

Ibrahim An-Nakha’i rahimahullah berkata, “Yang lebih dahulu disisihkan dari harta si mayat (sebelum dibagikan kepada ahli warisnya, pent.) adalah keperluan kafannya, kemudian keperluan untuk membayar utangnya, kemudian penunaian wasiatnya.”

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Ongkos penggalian kubur dan biaya memandikan mayat sama dengan hukum kafan; ia diambil dari pokok harta si mayat.” (Riwayat al-Bukhari secara mu’allaq dalam Shahih-nya, kitab al-Janaiz, bab al-Kafanu min Jami’il Mal, Fathul Bari [3/174—175])

[6] Lihat haditsnya dalam Shahih al-Bukhari, no. 1276, kitab al-Janaiz, bab Idza lam Yajid Kafanan illa Ma Yuwari Ra’sahu au Qadamaihi Ghaththa Ra`sahu; dan Shahih Muslim, no. 940, kitab al-Janaiz, bab Fi Kafanil Mayyit.

[7] HR. Muslim no. 943, bab Fi Tahsini Kafanil Mayyit.

[8] HR. Abu Dawud no. 4061, at-Tirmidzi, no. 2810, dan ia berkata, “Hadits hasan sahih.”

Syaikh Muqbil rahimahullah dalam al-Jami’ush Shahih (2/249) berkata, “Hadits ini hasan menurut syarat Muslim.”

[9] HR. al-Bukhari no. 1264, bab ats-Tsiyabul Bidh lil Kafani; dan Muslim, no. 941 bab Fi Kafanil Mayyit. Lafaz yang ada dalam kurung dari riwayat Imam Ahmad.

[10] Sementara itu, dalil yang menunjukkan perbedaan jumlah kafan wanita dengan laki-laki adalah dha’if, sebagaimana diterangkan di atas.

[11] HR. Abu Dawud no. 3150, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud.

Beliau berkata dalam Ahkamul Janaiz ketika membahas hadits ini, “Ini sanad yang sahih menurutku. Demikian pula menurut al-Mizzi rahimahulllah. Adapun al-Hafizh dalam at-Talkhis mengatakan bahwa sanadnya hasan. Hadits ini memiliki jalan lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah dari Abu az-Zubair dari Jabir dengan lafaz,

مَنْ وَجَدَ سَعَةً، فَلْيُكَفَّنْ فِي ثَوْبٍ حِبَرَةٍ

“Siapa yang mendapatkan kelapangan, hendaklah ia dikafani dengan kain yang bergaris-garis.”

[12] HR. Ahmad, 3/331.

Al-Hakim berkata, “Sahih menurut syarat Muslim.” Adz-Dzahabi rahimahullah sepakat dengan penilaian al-Hakim.

Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan, “Keadaan hadits ini seperti yang dinyatakan keduanya. An-Nawawi rahimahullah juga menilainya sahih dalam al-Majmu’ (5/196).” (Ahkamul Janaiz hlm. 84)

[13] Sejenis wangi-wangian yang biasa diberikan kepada mayat secara khusus. (al-Majmu’, 5/157)

 

Ditulis oleh Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah