Makan Ala Islam (2)

Makan atau minum dengan tangan kiri, bagi kebanyakan orang sudah menjadi hal yang biasa. Namun, dalam Islam, perbuatan jelek ini bukan masalah yang ringan. Setidaknya, makan dan minum dengan tangan kiri adalah perbuatan yang menyerupai setan. Jadi, penting untuk mengajari anak bagaimana makan dan minum sesuai dengan tuntunan Nabi. Sebab, apabila terlambat melakukannya, anak akan susah dibetulkan.

 

Pada edisi yang lalu dengan judul Makan Ala Islam, kita mengetahui betapa sempurna agama Allah ‘azza wa jalla dan betapa indah ajarannya, yang tentu tidak dimiliki oleh agama lain.

Keindahan itu akan bisa dirasakan apabila seseorang kembali kepada jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jalan para sahabat beliau dalam memahami, mengamalkan, dan mendakwahkan Islam.

Orang sering berceloteh dan menyuarakan harus kembali kepada Islam yang kaffah (sempurna). Akan tetapi, kenyataannya mereka tetap mendahulukan akal daripada agama, lebih mendahulukan perasaan, adat istiadat, ajaran nenek moyang, ajaran imam jamaah tertentu. Bahkan, konsep-konsep Barat yang jelas bertentangan dengan norma-norma Islam lebih diutamakan.

Ternyata kaffah yang mereka maukan tidak seperti yang dimaukan oleh para ulama salaf seperti Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Abul ‘Aliyah, ‘Ikrimah, Rabi’ bin Anas As-Suddi, Muqatil bin Hayyan, Qatadah dan adh-Dhahhak, yaitu Islam yang bersifat menyeluruh.

Islam kaffah ini dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Katsir, “Mereka diperintahkan untuk melaksanakan seluruh cabang keimanan dan seluruh anjuran syariat. (Cabang-cabang keimanan) banyak sekali dan (mereka masuk ke seluruhnya) sesuai dengan kesanggupan mereka.” (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/308)

Beliau mengatakan, “Allah memerintah segenap hamba-Nya yang beriman dan membenarkan risalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengambil seluruh sendi Islam, melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, sesuai dengan kesanggupan mereka (secara syariat).” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/307)

Termasuk keindahan dan kesempurnaan agama adalah aturan-aturan dan adab makan dan minum. Di antara adab-adabnya antara lain:

 

Makan Secara Berjamaah

Termasuk yang dicintai oleh Allah ‘azza wa jalla adalah makan berjamaah karena akan menyebabkan turunnya barakah dari Allah ‘azza wa jalla. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana dalam riwayat Jabir radhiallahu ‘anhu,

أَحَبُّ الطَّعَامِ إِلَى اللهِ مَا كَثُرَتْ عَلَيْهِ الْأَيْدِي

“Makanan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang banyak tangan (berjamaah) pada makanan tersebut.”[1]

Dari Wahsyi, para sahabat berkata,

إِنَّهُمْ قَالُوا :يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا نَأْكُلُ وَلَا نَشْبَعُ .قَالَ :فَلَعَلَّكُمْ تَأْكُلُونَ مُتَفَرِّقِينَ؟ قَالُوا :نَعَمْ .قَالَ :فَاجْتَمَعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ، وَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ، يُبَارَكْ لَكُمْ فِيهِ

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan dan tidak pernah kenyang.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan-jangan kalian makan berpencar?”

Mereka menjawab, “Ya.”

Beliau bersabda, “Berjamaahlah kalian saat makan dan bacalah nama Allah, niscaya Allah akan menurunkan barakah.”[2]

Dari Samurah bin Jundub, ia berkata,

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ :كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ نَتَدَاوَلُ مِنْ قَصْعَةٍ مِنْ غَدْوَةٍ حَتَّى اللَّيلِ تَقُومُ عَشَرَةٌ وَتَقْعُدُ عَشَرَةٌ .قُلْنَا :فَمَا كَانَتْ تَمُدُّ؟ قَالَ :مِنْ أَيِّ شَيءٍ تَعْجَبُ؟ مَا كَانَ تَمُدُّ إِلاَّ مِنْ هَهُنَاوَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى السَّمَاءِ

“Saat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami saling bergantian menyantap hidangan di sebuah tempayan sepuluh orang sepuluh orang, mulai dari pagi sampai malam hari.

Kami berkata, “Darimana bertambah dan banyak?”

Beliau berkata, “Mengapa kamu heran?! Tidak ada yang menjadikannya bertambah banyak melainkan dari sini (beliau mengisyaratkan tangannya ke langit).”[3]

Demikianlah bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah makan secara berjamaah. Hadits ini di samping menjelaskan tentang keutamaan makan secara berjamaah, juga menjelaskan keutamaan persatuan.

 

 Adab Menyantap Hidangan

  1. Makan dan minum dengan tangan kanan

Makan dan minum dengan tangan kanan hukumnya wajib. Seseorang berdosa bila makan dan minum dengan tangan kiri karena:

  • Menyelisihi perintah Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya

Menyelisihi perintah Allah ‘azza wa jalla dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk dosa besar. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

          وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ

“Apa saja yang datang dari Rasulullah, ambillah; dan apa saja yang dilarangnya, tinggalkanlah.” (al-Hasyr: 7)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَاسْتَطَعْتُمْ

“Apa yang aku larang kalian, tinggalkanlah; dan apa yang aku perintahkan, kerjakanlah sesuai dengan kesanggupan kalian.”[4]

جُعِلَ الذِلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي

“Dijadikan rendah dan hina, orang-orang yang menyelisihi perintahku.”[5]

2) Mengikuti langkah-langkah setan dan tasyabbuh (menyerupai) mereka.

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٌ ١٦٨

“Janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (al-Baqarah: 168)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, bahwa Allah berfirman,

وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلُّهُمْ، وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ وَحَرَّمْتُ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ وَأَمَرْتُهُمْ أَنْ يُشْرِكُوا بِي مَا لَمْ أُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا

“Sungguh, Aku menciptakan hamba-Ku dalam keadaan seluruhnya lurus, dan sungguh setan mendatangi mereka lalu menyesatkannya dari agama mereka, (dengan cara) mengharamkan apa yang Aku halalkan bagi mereka dan memerintah mereka untuk menyekutukan-Ku dengan apa yang tidak pernah Aku turunkan keterangannya.”[6]

3) Tasyabbuh dengan akhlak orang-orang kafir.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barang siapa menyerupai suatu kaum, dia termasuk mereka.”[7]

Demikianlah beberapa ayat dan hadits yang menjelaskan bahayanya seseorang menyelisihi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bila menyelisihi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia mesti akan menjadi pengikut setan. Sebab, Allah ‘azza wa jalla mengatakan,

          فَمَاذَا بَعۡدَ ٱلۡحَقِّ إِلَّا ٱلضَّلَٰلُۖ فَأَنَّىٰ تُصۡرَفُونَ ٣٢

“Tidak ada setelah kebenaran itu melainkan kesesatan, bagaimana kalian bisa dipalingkan?!” (Yunus: 32)

Di antara dalil yang menjelaskan wajibnya makan dengan tangan kanan dan haramnya makan dengan tangan kiri adalah sebagai berikut.

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ، وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ

“Apabila salah seorang dari kalian makan, hendaklah makan dengan tangan kanan. Apabila minum, minumlah dengan tangan kanan. Sebab, setan makan dengan tangan kiri dan minum dengan tangan kiri.”[8]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah ‘Umar bin Abi Salamah radhiallahu ‘anhu

يَا غُلَامُ، سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ

“Hai nak, sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kanan…”[9]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada wanita yang sedang makan dengan tangan kirinya,

لاَ تَأْكُلْ بِشِمَالِكِ وَقَدْ جَعَلَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَكِ يَمِينًاأَوْ قَالَ: وَقَدْ أَطْلَقَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لَكِ يَمِينًا

“Jangan kamu makan dengan tangan kiri. Sungguh, Allah telah menjadikan bagimu tangan kanan.” -Atau beliau berkata, “Sungguh Allah telah memberimu tangan kanan.”[10]

Orang tua dan para murabbi (pengajar) hendaklah memerhatikan anak didiknya dan menjadi suri teladan yang terbaik bagi mereka. Jadilah orang yang pertama kali melaksanakan segala perintah Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sangat disayangkan, kebanyakan orang tua atau murabbi justru menjadi madrasah awal bagi sang anak untuk berani durhaka kepada Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali orang-orang yang diberikan taufik oleh Allah ‘azza wa jalla.

Setelah memberi contoh dan membimbing anak-anak didik tersebut ke jalan ridha Allah ‘azza wa jalla, orang tua dan pendidik wajib menegur apabila mereka anak makan dan minum dengan tangan kiri karena bukan akhlak dan adab yang tidak baik.

Semua itu akan menggiring mereka menuju akhlak yang baik dan terpuji sedini mungkin. Pendidikan akhlak yang baik dan perhatian terhadap adab akan mudah mendapatkan tanggapan positif dari sang anak.

 

  1. Makan dari pinggir dan di sekitarnya

Makan dari pinggir atau tepi dan memakan apa yang ada di sekitarnya (yang terdekat dengannya) merupakan bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bimbingan beliau selalu mengandung berkah dan menampilkan adab yang baik.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا وُضِعَ الطَّعَامُ فَخُذُوا مِنْ حَافَتِهِ وَذَرُوا وَسَطَهُ، فَإِنَّ الْبَرَكَةَ تَنْزِلُ فِي وَسَطِهِ

“Jika makanan diletakkan, mulailah dari pinggirnya dan jauhi (memulai) dari tengahnya. Sebab, sungguh barakah itu turun di tengah-tengah makanan.”[11]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada ‘Umar bin Abi Salamah,

يَا غُلَامُ، سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ

“Wahai anak! Sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kanan dan makanlah yang ada di sekitarmu (di dekatmu).”

Hadits ini menjelaskan tentang tidak bolehnya menjulurkan tangan dan badan sehingga mengganggu yang lain. Hendaknya ia meminta agar diambilkan oleh saudaranya apa yang diinginkannya.

Dia boleh memakan yang bukan di sekitarnya pada dua keadaan sebagaimana disebutkan oleh para ulama:

  1. Apabila dia mengetahui bahwa yang hadir tidak memedulikan hal itu atau tidak marah.

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bercerita,

أَنَّ خَيَّاطًا دَعَا رَسُولَ اللهِ لِطَعَامٍ صَنَعَهُ فَذَهَبْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ فَرَأَيْتُهُ يَتَتَبَّعُ الدُّبَّاءَ مِنْ حَوَالَي الْقَصْعَةِ

“Seorang penjahit mengundang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk makan. Lalu aku pergi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku melihat beliau mencari-cari labu di pinggir nampan.”[12]

  1. Apabila ada lauk pauk yang beraneka ragam dan tidak dijangkau tangannya kecuali dengan menjulurkannya.[13]

 

  1. Duduk saat makan

Islam mengajarkan cara duduk yang baik ketika makan, sebagaimana yang dipraktikkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Cara duduk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika makan diceritakan oleh Abdullah bin Busr radhiallahu ‘anhu,

كَانَ لِلنَّبِيِّ قَصْعَةٌ يُقَالُ لَهَا الْغَرَّاءُ يَحْمِلُهَا أَرْبَعَةُ رِجَالٍ، فَلَمَّا أَضْحَوْا وَسَجَدُوا الضُّحَى أَتَى بِتِلْكَ الْقَصْعَةِيَعنِي وَقَدَ ثُرِدَ فِيهَافَالْتَفُّوا عَلَيْهَا فَلَمَّا كَثُرُوا جَثَا رَسُولُ اللهِ لَهُ فَقَالَ أَعْرَابِيٌّ: مَا هَذِهِ الْجِلْسَةُ؟ قَالَ النَّبِيُّ: إِنَّ اللهَ جَعَلَنِي عَبْدًا كَرِيمًا وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا عَنِيدًا

“Nabi memiliki sebuah qash’ah (tempat makan/nampan) yang disebut al-Gharra’ dan dibawa oleh empat orang. Pada waktu pagi, mereka shalat dhuha. Lalu Qash’ah tersebut dibawa dan—padanya ada tsarid (sejenis roti)—mereka mengelilinginya.

Tatkala semakin bertambah (jumlah mereka), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di atas kedua betis beliau. Seorang A’rabi (badui) bertanya, “Duduk apa ini, wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah menjadikanku hamba yang dermawan dan tidak menjadikanku orang yang angkuh dan menentang.”[14]

Mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk dengan jatsa (di atas kedua lutut dan kaki)?

Ibnu Baththal mengatakan, “Beliau melakukan hal itu sebagai salah satu bentuk tawadhu’ beliau.” (Fathul Bari, 9/619)

 

Makan dengan Cara Muttaki’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا آكُلُ مُتَّكِأً

“Aku tidak makan dengan cara muttaki’.”[15]

Apa yang dimaksud dengan muttaki’?

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang maknanya.

Ada yang mengatakan, “Rakus dalam makan, bagaimanapun cara duduknya.”

Ada pula yang mengatakan, “Duduk di atas lambung sebelah.”

Ada yang berpendapat, “Bertopang dengan tangan kirinya ke tanah.”

Ada yang mengatakan, “Tidur telentang.” (lihat Fathul Bari, 9/619)

Pendapat yang kuat ialah yang mengatakan bahwa muttaki’ adalah tidur di atas lambung sebelah, yang dikuatkan dengan ucapan sahabat bahwa sebelumnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk muttaki’ lalu duduk. Artinya, sebelumnya bertelekan miring di salah satu lambung.

 

Hukum Makan dengan Muttaki’

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama salaf tentang hal ini. Ibnu Qash mengatakan bahwa ini merupakan kekhususan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Al-Baihaqi mengomentari, “Dimakruhkan bagi selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena makan dengan cara demikian merupakan penampilan orang-orang yang menyombongkan diri dan perbuatan raja-raja Romawi.”

An-Nawawi rahimahullah mengatakan hukumnya makruh makan dengan cara muttaki’. Alasan dimakruhkannya disebutkan oleh Ibrahim an-Nakha’i, “Mereka membenci makan dengan muttaki’ karena akan mengakibatkan perut menjadi besar.”

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Khalid bin al-Walid, ‘Abidah as-Salmani, Muhammad bin Sirin, ‘Atha’ bin Yasar dan Az-Zuhri tentang bolehnya makan dengan cara demikian.

Al-Hafizh Ibnu Hajar menengahi perselisihan pendapat tersebut dengan mengatakan, “Seandainya hukumnya makruh atau menyelisihi yang lebih utama, maka cara duduk yang disunnahkan ketika makan adalah duduk dengan jatsa. Artinya, duduk di atas kedua lutut dan kedua punggung kaki, atau mendirikan kaki yang kanan dan duduk di atas kaki kiri.” (lihat Fathul Bari, 9/620)

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah an-Nawawi


[1]  HR. Abu Ya’la dalam Musnad-nya dan selainnya. Hadits ini dihukumi hasan oleh asy-Syaikh al-Albani di dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, 2/562, no. 895.

[2]  HR. Ibnu Majah no. 3286. Asy-Syaikh al-Albani menghukuminya hasan dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, 2/228, no. 2657 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, 2/268, no. 664.

[3]  HR. at-Tirmidzi no. 3886, beliau berkata, “Hadits sahih hasan.” Asy-Syaikh Muqbil dalam kitab beliau al-Jami’ush Shahih (4/188) mengatakan bahwa hadits ini sahih berdasarkan syarat kedua syaikh (al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim), dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no 2866, 3/192 dan al-Misykat no. 5958.

[4]  HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu.

[5]  HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya secara mu’allaq (tanpa menyebutkan sanad) dan al-Imam Ahmad dalam Musnad beliau no. 4868 dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma.

[6]  HR. Muslim no. 5109 dari ‘Iyadh bin Himar radhiallahu ‘anhu.

[7]  HR. Abu Dawud no. 3513 dan al-Imam Ahmad no. 5409 dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma.

[8]  HR. Muslim no. 5332 dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma.

[9]  HR. al-Bukhari no. 5376, Muslim no. 3736, Ahmad no. 15738 dan Ibnu Majah no. 3258.

[10]  HR. Ahmad no. 16756 dari seorang istri sahabat Nabi, dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Jilbabul Mar’ah Muslimah, hlm. 71 cet. Maktabah al-Islamiyah.

[11]  HR. Ibnu Majah no. 3277 dari Ibnu ‘Abbas dan Ahmad no. 3268 dari Abdullah bin Bisr al-Mazini, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah no. 2650, al-Irwa’ul Ghalil no. 1980 dan 1981, 7/34-39, al-Misykat no. 4211, dan ash-Shahihah no. 393.

[12]  HR. al-Bukhari no. 5379 dan Muslim.

[13]  Memang ada hadits yang menjelaskan hal ini dalam riwayat at-Tirmidzi namun sanadnya lemah. Demikianlah istinbath (pengambilan hukum) ulama dan ijtihad mereka.

[14]  HR. Abu Dawud dalam Sunan no. 3773 dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 3207 dan Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3263.

[15]  HR. al-Bukhari no. 5398, at-Tirmidzi no. 1753, Abu Dawud, Ibnu Majah no. 3253, Ahmad no. 18005 dan ad-Darimi no. 1982 dari Abu Juhaifah.

While viewing the website, tap in the menu bar. Scroll down the list of options, then tap Add to Home Screen.
Use Safari for a better experience.