Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa di samping muhasabah, obat yang lain bagi jiwa yang ammarah bis-su’ adalah mukhalafah, yakni menentang hawa nafsu atau keinginan jeleknya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَمَّا مَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفۡسَ عَنِ ٱلۡهَوَىٰ ٤٠ فَإِنَّ ٱلۡجَنَّةَ هِيَ ٱلۡمَأۡوَىٰ
“Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (an-Nazi’at: 40—41)
Al-Qurthubi rahimahullah menafsirkan, “Maksudnya, memperingatkan jiwanya dari perbuatan maksiat dan perbuatan yang haram.”
Sahl rahimahullah mengatakan, “Meninggalkan keinginan buruk jiwa adalah kunci surga. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَمَّا مَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفۡسَ عَنِ ٱلۡهَوَىٰ ٤٠ فَإِنَّ ٱلۡجَنَّةَ هِيَ ٱلۡمَأۡوَىٰ
‘Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya)’.” (an-Nazi’at: 40—41)
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu mengatakan, “Kalian sekarang berada pada zaman yang kebenaran menuntun hawa nafsu. Akan datang nanti sebuah masa ketika hawa nafsu yang justru menuntun kebenaran. Kita berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari zaman tersebut.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an)
Baca juga: Godaan Hawa Nafsu
Al-Alusi rahimahullah dalam tafsirnya juga menerangkan,
“…. (Arti ayat di atas) adalah memperingatkan jiwanya dan menahannya dari kemauan-kemauan yang membinasakan, yaitu condong kepada syahwat. Demikian pula meluruskan jiwanya dengan kesabaran, membiasakannya untuk mengutamakan kebaikan, tidak membiasakannya dengan hiasan dunia dan kembang-kembangnya. Dia tidak terkecoh oleh gemerlap dunia dan hiasan-hiasannya karena mengetahui betapa jeleknya akibatnya.
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dan Muqatil rahimahullah mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah seseorang yang berkeinginan melakukan maksiat dan teringat kedudukannya saat dihisab di hadapan Rabbnya lantas dia takut lalu meninggalkan maksiatnya.
Kata al-hawa (seperti dalam ayat) asalnya bermakna al-mail (kecondongan, kemauan, keinginan, hasrat). Namun, kata ini menjadi populer untuk menyatakan makna kecondongan atau keinginan kepada syahwat. Dengan demikian, segala keinginan kepada syahwat disebut al-hawa (Ind: nafsu syahwat). (Kata kerja hawa juga bermakna terjun. Jadi, nafsu syahwat dinamakan demikian) karena hal itu akan mengempaskannya kepada segala yang lemah di dunia dan kepada jurang yang dalam di akhirat.
Oleh karena itu, orang yang menentang hawa nafsunya menjadi terpuji. Sebagian ahli hikmah mengatakan, ‘Apabila engkau ingin kebenaran, lihatlah hawa nafsumu lalu selisihilah.’
Al-Fudhail rahimahullah mengatakan, ‘Seutama-utama amalan adalah menentang hawa nafsu….’
Keburukan mengikuti hawa nafsu dan kebaikan dalam hal menyelisihinya adalah dua hal yang hamper mesti. Akan tetapi, orang yang tidak menurutinya hanya sedikit, selain para nabi dan beberapa ash-shiddiqin (yang sangat jujur dalam beriman). Beruntunglah orang yang selamat darinya.” (Ruhul Ma’ani)
Baca juga: Lawan Hawa Nafsumu, Kenali Sumber Keyakinanmu!
Mengendalikan jiwa adalah sifat orang yang cerdas. Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan, “Orang yang cerdas akan menahan jiwanya dari sebuah kenikmatan yang menyisakan kepedihan dan syahwat yang mewariskan penyesalan. Cukuplah ukuran ini sebagai pujian bagi kecerdasan dan celaan bagi hawa nafsu.” (Dzammul Hawa)
Nabi Yusuf alaihis salam adalah salah satu teladan dalam hal menentang hawa nafsu dan keinginan jiwa yang tidak baik.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan, “Nabi Yusuf tergolong ‘orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya’.”
Sesungguhnya, Yusuf waktu itu adalah seorang yang muda dan bujang. Dia tertawan di negeri musuh. Di sana tidak ada kerabat dan teman yang ia merasa malu terhadap mereka apabila melakukan perbuatan keji. Sebab, sebagian besar manusia akan terhalangi melakukan perbuatan-perbuatan jelek oleh rasa malunya terhadap orang yang dia kenal. Jadi, apabila mengasingkan diri, seseorang akan melakukan apa saja yang diingini oleh hawa nafsunya.
Nabi Yusuf alaihis salam saat itu juga hanya berdua sehingga tidak takut kepada siapa pun. Menurut hukum nafsu ammarah—apabila nafsu beliau demikian—mestinya beliaulah yang merayu-rayu (istri raja). Bahkan, mestinya beliaulah yang membuat tipu daya untuk meraihnya, sebagaimana kebiasaan mayoritas orang yang berhasrat kepada wanita-wanita bangsawan apabila tidak mampu secara langsung mengajaknya ‘berbuat’.
Adapun apabila dia diajak atau diminta, walaupun yang meminta itu seorang wanita pembantu, tentu dia menyambutnya dengan segera. Lantas, bagaimana apabila yang memintanya adalah tuan yang menguasainya, yang dia takut menyelisihi perintahnya?
Baca juga: Menepis Godaan Syubhat dan Syahwat
Ditambah lagi suaminya—yang seharusnya marah besar kepada istrinya—ternyata tidak menghukumnya. Justru Yusuf-lah yang diperintah untuk menyingkir, sebagaimana seorang dayyuts (yang tidak punya cemburu) berteriak. Apalagi, wanita tersebut meminta bantuan wanita-wanita lain dan memenjarakan Yusuf.
Namun, Nabi Yusuf alaihis salam mengatakan sebagaimana firman Allah,
قَالَ رَبِّ ٱلسِّجۡنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدۡعُونَنِيٓ إِلَيۡهِۖ وَإِلَّا تَصۡرِفۡ عَنِّي كَيۡدَهُنَّ أَصۡبُ إِلَيۡهِنَّ وَأَكُن مِّنَ ٱلۡجَٰهِلِينَ
Yusuf berkata, “Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Jika tidak Engkau hindarkan dariku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Yusuf: 33)
Hendaknya seorang yang cerdas memperhatikan faktor-faktor yang mendorong wanita tersebut untuk mengajak Yusuf kepada apa yang dia ajak:
- terpenuhinya segala sarana,
- kuatnya ajakan sang wanita,
- tiada yang memalingkannya apabila dia melakukannya,
- tidak ada pula makhluk yang menyelamatkannya dari perbuatan tersebut
(Namun, Nabi Yusuf alaihis salam tetap menolaknya –pen.). Ini semua untuk menjelaskan bahwa ujian yang diberikan kepada Yusuf alaihis salam termasuk ujian yang sangat besar. Demikian pula, ini menjelaskan bahwa ketakwaan dan kesabaran Yusuf alaihis salam dalam menahan diri dari maksiat termasuk kebaikan dan ketaatan terbesar.
Baca juga: Akibat Buruk Kemaksiatan
Sungguh, jiwa Yusuf alaihis salam termasuk jiwa yang paling bersih. Bagaimana dia mau mengatakan,
وَمَآ أُبَرِّئُ نَفۡسِيٓۚ إِنَّ ٱلنَّفۡسَ لَأَمَّارَةُۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيٓۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yusuf: 53)
Allah Mahatahu bahwa jiwanya bersih, bukan jiwa yang ammarah bis-su’ (suka menyuruh kepada kejelekan). Bahkan, jiwa beliau termasuk jiwa yang paling suci. Hasrat yang sempat ada pada beliau justru menambah kesucian jiwa dan ketakwaannya. Dengan sempat munculnya hasrat itu lantas beliau tinggalkan karena Allah subhanahu wa ta’ala, sungguh menambah satu kebaikan yang termasuk kebaikan yang sangat besar yang menyucikan jiwa. (Majmu’ Fatawa bagian tafsir dengan sedikit diringkas)
Itulah salah satu gambaran indah dalam hal melawan keinginan jiwa. Dengan itu, jiwa semakin suci, kedudukan di sisi Allah subhanahu wa ta’ala pun semakin tinggi. Bahkan, untuk mencapai tingkatan yang lebih sempurna, tidak cukup hanya melawan kemauan jeleknya. Akan tetapi, dibutuhkan upaya yang sungguh-sungguh untuk membekali jiwa dengan amalan-amalan saleh. Itulah yang diistilahkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dengan jihadun nafs.
Tingkatan Jihadun Nafs
Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan bahwa jihadun nafs melalui empat tingkatan:
-
Memacu jiwa untuk mempelajari petunjuk dan agama yang benar.
Tiada keberuntungan bagi jiwa dan tiada kebahagiaan baginya, baik dalam kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat selain dengan mempelajari petunjuk dan agama yang benar. Apabila jiwa tersebut terlewatkan darinya, ia akan sengsara di dunia dan akhirat.
-
Memacu jiwa untuk mengamalkan petunjuk tersebut setelah mengetahuinya.
Apabila tidak demikian, yakni sekadar ilmu tanpa amal, kalau tidak mencelakakannya, tentu tidak memberinya manfaat.
-
Memacu jiwa untuk mendakwahkan dan mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya.
Apabila tidak demikian, ia tergolong orang yang menyembunyikan petunjuk dan keterangan yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Ilmunya tidak memberinya manfaat dan tidak menyelamatkannya dari siksa Allah subhanahu wa ta’ala.
-
Mengusahakan jiwa untuk bersabar terhadap kesulitan-kesulitan dalam berdakwah dan dalam menghadapi gangguan makhluk serta menanggung beban itu semua karena Allah subhanahu wa ta’ala.
Apabila seseorang menyempurnakan empat tingkatan ini, ia akan menjadi golongan rabbani. Sebab, sesungguhnya salaf (para pendahulu) bersepakat bahwa seorang alim tidak berhak disebut rabbani hingga dia mengetahui kebenaran, mengamalkannya, dan mengajarkannya. Barang siapa mengetahui dan mengamalkannya, dia akan disebut sebagai orang besar di kerajaan langit. (Zadul Ma’ad, 3/9)
Jihadun nafs ini bukan hal sepele. Ini adalah awal dari semua langkahnya dalam segala amalan, termasuk amalan-amalan besar. Bahkan, jihad melawan musuh yang kafir yang merupakan puncak dari punuknya Islam adalah cabang dari jihadun nafs.
Baca juga: Meluruskan Cara Pandang Terhadap Jihad
Ibnul Qayyim rahimahullah juga menjelaskan,
“Jihad melawan musuh-musuh Allah subhanahu wa ta’ala di luar adalah cabang dari jihadun nafs (usaha hamba menundukkan jiwa). Oleh karena itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan,
وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللهِ، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ الْخَطَايَا وَالذَّنُوبَ
‘Mujahid adalah orang yang mengusahakan dirinya untuk selalu taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala.’ (HR. Ahmad no. 23598; Syaikh al-Albani menilai hadits ini sahih dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 549)
Maka dari itu, jihadun nafs lebih diutamakan daripada jihad melawan musuh yang di luar dirinya. Jihadun nafs adalah asal-usul dari jihad melawan musuh. Hal ini karena orang yang tidak melakukan jihadun nafs terlebih dahulu agar melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh-Nya lalu memerangi jiwanya karena Allah subhanahu wa ta’ala, tidak mungkin ia akan berjihad melawan musuh di luar dirinya….” (Zadul Ma’ad, 3/5—6)
Baca juga: Jihad Harus Didasari Ilmu
Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan,
“Ketahuilah, jihadun nafs lebih besar daripada jihad melawan musuh karena jiwa itu adalah sesuatu yang disukai, ajakannya juga disukai. Sebab, jiwa tidak mengajak selain kepada sesuatu yang sesuai dengan nafsu (keinginan/syahwat). Sementara itu, menyesuaikan dengan sesuatu yang disukai dalam hal yang pada dasarnya tidak menyenangkan itu saja tetap disukai, lebih-lebih jika dia mengajak kepada sesuatu yang menyenangkan. Apabila keadaannya dibalik, dan jiwa yang disukai itu ditentang ajakannya, jihad/perlawanan terhadapnya semakin berat dan masalah semakin sulit.
Berbeda halnya dengan jihad melawan orang-orang kafir karena tabiat dan watak manusia (pada dasarnya) adalah memusuhi lawan.
Ibnul Mubarak rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
‘Orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik.’ (al-Ankabut: 69)
Maksudnya adalah jihad untuk menundukkan jiwa dan hawa nafsu.”
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan taufik-Nya kepada kita semua untuk menuju jiwa yang suci.
(Ustadz Qomar Suaidi, Lc.)