إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ
“Sesungguhnya al-Qur’anini memberikan petunjuk kepada yang lebih lurus.” (al-Isra’: 9)
Penjelasan Mufradat Ayat
يَهْدِ
“memberikan petunjuk….”
Menurut al-Alusi rahimahumullah, yaitu memberikan petunjuk bagi manusia semuanya, bukan hanya kelompok tertentu.
لِلَّتِي
“kepada yang….”
Kata ini berkedudukan sebagai sifat/na’at terhadap suatu kata yang tersembunyi, yang bila ditunjukkan berarti jalan, sehingga maknanya: “kepada (jalan) yang….” Sebagian ahli bahasa berpendapat, ia berkedudukan sebagai hal (menerangkan keadaan). Artinya,“kepada keadaan yang lebih lurus”, yaitu mentauhidkan Allah Subhanahuwata’ala dan beriman kepada para rasul-Nya.
أَقْوَمُ
“Lebih lurus.”
Maknanya, yang lebih benar dan lebih adil, yaitu Islam dan kalimat syahadat. Banyak ulama tafsir memaknainya dengan mengesakan Allah Subhanahuwata’ala, beriman kepada- Nya dan kepada para rasul-Nya, serta beramal dengan menaati-Nya.
Tafsir Ayat
Asy-Syaikh as-Sa’di rahimahumullah dalam tafsirnya menyatakan, pada ayat ini Allah Subhanahuwata’ala memberitakan tentang kemuliaan dan keagungan al-Qur’an, yaitu ia memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus. Maksudnya, yang lebih adil dan lebih tinggi (mulia), berupa keyakinan, amal kebaikan, dan akhlak (yang mulia). Barang siapa memperoleh petunjuk dengan perkara yang diseru oleh al-Qur’an, tentu ia akan menjadi manusia yang paling sempurna, paling lurus, dan paling benar pada seluruh urusannya.
Ibnu Katsir rahimahumullah menjelaskan dalam tafsirnya, Allah Subhanahuwata’ala memuji kitab-Nya yang mulia, yang Ia turunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad, yaitu al-Qur’an. Ia (al-Qur’an) memberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus dan lebih jelas/terang. Diterangkan oleh Ibnu Jarir ath- Thabari t dalam tafsirnya, Allah l menyebutkan dalam ayat ini, al Qur’an yang telah Dia turunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan bimbingan dan petunjuk bagi orang mukmin kepada jalan yang lebih lurus, yaitu jalan yang lebih lurus daripada jalan lainnya. Itulah agama Allah Subhanahuwata’ala, agama yang Allah Subhanahuwata’ala mengutus dengannya para nabi-Nya, yaitu agama Islam.
Beliau juga menyebutkan sebuah riwayat dari jalan Yunus, dari Ibnu Wahb, dari Ibnu Zaid—seputar tafsir ayat ini— beliau berkata, “Maksudnya, al-Qur’an memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih benar. Ia (al-Qur’an) itu yang benar dan yang haq, lawannya adalah yang batil/salah. Lalu beliau membaca,
“Di dalamnya terdapat (isi) kitabkitab yang lurus.”
Artinya, berisikan kebenaran dan tidak ada kebengkokan di dalamnya, sebagaimana halnya firman Allah Subhanahuwata’ala ,
وَلَمْ يَجْعَل لَّهُ عِوَجًا ۜ قَيِّمًا
“Dia tidak mengadakan kebengkokan didalamnya; sebagai bimbingan yang lurus.” (al-Kahfi: 1)
Asy-Syaukani rahimahumullah dalam tafsirnya, Fathul Qadir, menyebutkan sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh al-Hakim t, dari Ibnu Mas’ud z, bahwasanya beliau sering membaca ayat ini. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim t dalam tafsirnya dari Qatadah t yang berkata, “Maknanya, al-Qur’an memberikan petunjuk kepada kalian tentang penyakit dan obatnya. Penyakit yang dimaksud adalah dosa-dosa dan kesalahan. Adapun obatnya adalah dengan istighfar (memohon ampun kepada-Nya).”
Al-Qur’an, Petunjuk ke Jalan yang Benar.
Asy-Syinqithi rahimahumullah menerangkan dalam tafsirnya, pada ayat ini Allah Subhanahuwata’ala menyebutkan bahwa al-Qur’an adalah kitab yang paling agung dibandingkan dengan kitab-kitab samawi yang lain. Terkumpul padanya seluruh ilmu. Ia adalah kitab terakhir yang turun. Ia memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus, yaitu jalan yang lebih adil, benar, dan mulia.
Pada ayat ini pula, Allah Subhanahuwata’ala mengumpulkan dan menyebutkan secara umum (tidak terperinci) semua yang ada pada al-Qur’an, yaitu petunjuk kepada jalan yang paling baik, adil, dan benar. Seandainya kita menyelidiki rincian ayat ini dalam bentuk yang sempurna, pasti kita akan mendapatkan semua itu pada al-Qur’an yang agung ini.
Sebab, seluruh urusan terkandung pada ayat ini. Ayat ini mengandung petunjuk kepada kebaikan dunia dan akhirat. Berikut akan kami sebutkan beberapa masalah yang penting dan diingkari oleh orang-orang kafir. Mereka mencela Islam karenanya, akibat ketidak mampuan mereka memahami hikmah yang sangat mulia dalam al-Qur’an. Inilah jalan yang lurus yang ditunjukkan oleh al-Qur’an, di antaranya:
1. Tauhidullah (keesaan Allah Subhanahuwata’ala ) Al-Qur’an telah memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus dan adil, yaitu keesaan-Nya dalam hal rububiyah-Nya, peribadahan kepada- Nya, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya. Berdasarkan hasil penelitian/kajian terhadap al-Qur’an bahwa tauhidullah terbagi menjadi tiga macam:
a. Tauhidullah dalam hal rububiyah- mengatur segala urusan, menghidupkan, mematikan, dan sebagainya. Di antara ayat yang menunjukkan hal ini adalah:
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka,”Siapakah yang menciptakan mereka?” Niscaya mereka menjawab,“Allah.” (az-Zukhruf: 87)
Jenis tauhid ini telah terbentuk dan diakui oleh fitrah orang-orang yang berakal. Namun, pengakuan ini tidak bermanfaat kecuali dengan mengikhlaskan (memurnikan) ibadah hanya untuk Allah Subhanahuwata’la .
b. Tauhidullah dalam hal peribadahan Kaidahnya adalah perwujudan makna kalimat La ilaha illallah. Kalimat ini tersusun dari dua makna: peniadaan dan penetapan.
Makna peniadaan adalah melepaskan segala jenis yang diibadahi selain Allah Subhanahuwata’la, apa pun dan siapa pun dia, pada semua jenis peribadahan. Adapun makna penetapan adalah mengesakan Allah Subhanahuwata’la semata pada seluruh jenis ibadah dengan ikhlas dalam bentuk yang sesuai dengan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kebanyakan ayat yang ada pada al-Qur’an menerangkan masalah ini. Misalnya firman Allah Subhanahuwata’la,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ
“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan (yang hak untuk diibadahi) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu.” (Muhammad: 19)
c. Tauhidullah dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Ada dua prinsip yang mendasari masalah ini: Pertama, menyucikan-Nya dari penyerupaan dengan sifat-sifat para makhluk, sebagaimana firman Allah Subhanahuwata’la,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْه [حديث حسن رواه الترمذي وغيره هكذا]
“Tidakadasesuatupunyangserupa dengan Dia.” (asy-Syura: 11)
Kedua, mengimani sifat-sifat- Nya yang disebutkan oleh Allah Subhanahuwata’la atau yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk yang sesuai dengan kesempurnaan dan kemuliaan-Nya, seperti firman Allah Subhanahuwata’la,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yangserupa dengan Dia, dan Dialah YangMaha Mengetahui lagi Maha Melihat.” (asy- Syura: 11)
2. Allah Subhanahuwata’la menjadikan talak (menceraikan istri) berada ditangan laki-laki (para suami) Firman Allah Subhanahuwata’la,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu….” (ath-Thalaq: 1)
Sebab, wanita (para istri) diperumpamakan seperti sawah ladang (tempat bercocok tanam), ditaburkan padanya air laki-laki, sebagaimana ditaburkannya benih/biji-bijian pada bumi (sawah ladang). Allah Subhanahuwata’la berfirman,
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ
“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam.” (al- Baqarah: 223)
Seorang petani tidak akan memaksa diri untuk menabur benih pada ladang yang tidak ia sukai untuk tempat bercocok tanam. Bisa jadi, menurutnya, tempat itu tidak layak baginya. Adapun bukti pasti yang dapat dinalar bahwa suami itu ibarat petani dan istri ibarat sawah ladang; alat bertanam ada pada suami. Kalau sang istri berkehendak untuk berhubungan dengan suami, dalam keadaan sang suami tidak berkenan dan tidak menyukai, sang istri tidak akan mampu berbuat apa-apa. Sebaliknya, jika sang suami berkenan dan memaksa sang istri, dalam keadaan ia (istri) tidak menyukai, akan terjadi kehamilan dan kelahiran.
Maka dari itu, tabiat dan fitrah menunjukkan bahwa suami itu sebagai pelaku (subjek) dan istri sebagai objek. Dengan demikian, orang-orang berakal sepakat bahwa penisbahan anak itu kepada suami, bukan kepada istri. Disamakannya wanita (istri) dan laki laki (suami) dalam hal ini diingkari oleh nalar, dan masalahnya cukup jelas.
3. Dibolehkan bagi laki-laki untuk berpoligami
Di antara bentuk al-Qur’an memberikan petunjuk kepada jalan yang benar adalah dibolehkannya seorang laki-laki menikahi wanita lebih dari satu (sampai memiliki empat istri). Jika seorang khawatir tidak dapat berbuat adil, cukup baginya seorang istri atau budak yang ia miliki.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila mana kamu mengawininya), kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.Kemudian jika kamu taku tidak akan berlaku adil,(kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki.” (an-Nisa: 3)
4. Dalam warisan, bagian laki laki lebih banyak daripadawanita
Di antara bukti yang menunjukkan bahwa al-Qur’an memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus, laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita. Allah l berfirman,
وَإِن كَانُوا إِخْوَةً رِّجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ ۗ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَن تَضِلُّوا ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan hukum ini kepadamu, supaya kamu tidak sesat dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (an-Nisa: 176)
Di antara alasannya, laki-laki memiliki keutamaan dari sisi penciptaan (tabiat asal), kekuatan, kemuliaan, dan keelokan. Sebaliknya, wanita diciptakan Allah Subhanahuwata’la dalam kondisi kurang akal, lemah. Wanita yang pertama kali ada diciptakan oleh Allah Subhanahuwata’la dari bagian tubuh laki-laki (tulang rusuk). Allah Subhanahuwata’la berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ
“Kaum laki-laki tu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah Melebihkan sebagian mereka(laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita).” (an- Nisa: 34)
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (al-Baqarah: 228)
Dengan demikian, laki-laki tidak sama dengan wanita. Allah Subhanahuwata’la berfirman,
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنثَىٰ
“Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” (AliImran: 36)
Barang siapa mengatakan perempuan sama dengan laki-laki, ia telah merelakan dirinya untuk menjadi manusia yang terlaknat. Dalam sebuah hadits disebutkan,
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ الْمُتَشَبِّهَاتِ بِالرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهِينَ بِالنِّسَاءِ مِنَ الرِّجَالِ
“Rasulullah n melaknat wanita yang menyerupai laki-laki dan laki-laki yang menyerupai wanita.” (HR. at- Tirmidzi, beliau menyatakan hadits ini hasan sahih)
5. Mengamalkan sunnah Di antara bukti bahwa al-Qur’an memberikan petunjuk kepada jalan yang benar ialah iamemerintahkan manusia untuk memahami serta mengamalkan isi dan kandungannya dengan mengamalkan sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُو
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia! Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah!” (al Hasyr: 7)
Wallahuta’ala a’lam bish-shawab.
Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin