Batasn Laba Maksimum dalam Penjualan

Apakah termasuk riba apabila kita membelis ebuah barang dan kita menjualnya dengan harga dua kali lipat dari harga belinya?

085340XXXXXX

Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad as-Sarbini

Dalam syariat yang agung ini tidak ada penentuan batas laba maksimum dalam penjualan suatu barang. Maka dari itu, hal itu kembali kepada kebiasaan yang berlaku di pasar-pasar kaum muslimin. Menurut al-Lajnah ad-Da’imah (diketuai Ibnu Baz), “Laba penjualan seorang pedagang tidak dibatasi secara syariat dengan persentase tertentu. Akan tetapi, tidak boleh menipu pembeli dengan cara menjual dengan harga yang melebihi harga standar di pasaran.

Disyariatkan bagi seorang muslim untuk tidak mengambil laba terlalu besar, tetapi menjadi orang yang bersifat toleran (berlapang dada) dalam menjual dan membeli berdasarkan anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersifat toleran (berlapang dada) dalam muamalah.”

Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah berkata dalam FathDzilJalal walIkram—memetik faedah dari hadits ‘Urwah al-Bariqi radhiyallahu anhu yang diberi uang satu dinar oleh Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membeli seekor kambing, lalu ia berhasil membeli dua ekor dengan uang itu, kemudian menjual salah satunya dengan harga satu dinar, sehingga dia membawakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seekor kambing dan uang satu dinar—, “

Di antara faedah hadits ini adalah bahwasanya pengambilan laba dalam jual beli tidak punya batas maksimum. Oleh karena itu, boleh bagi seorang penjual mengambil laba senilai 1/10 dari harga barangnya, 1/5, 1/4, atau lebih besar dari itu.

Namun, hal itu dengan syarat tidak melakukan penipuan harga. Adapun jika hal itu dengan cara penipuan harga, haram mengambil laba melebihi kewajaran di pasaran. Lain halnya jika hal itu dihasilkan dengan cara usaha (tanpa unsur penipuan harga), yaitu dikarenakan harga pasaran barang itu naik; penjual pertama menjual kepadanya dengan harga murah karena bersikap toleran kepadanya, atau seseorang membeli darinya dengan harga mahal karena bersikap toleran kepadanya.

Jika demikian, hal itu tidak mengapa. Boleh jadi, penjual pertama mengetahui bahwa barang dagangan itu harga pasarannya dua puluh, lalu ia menjualnya kepada Anda seharga sepuluh. Jika Anda menjualnya dengan harga standar di pasaran, berapa harganya? Harganya dua puluh atau lebih.

Hal itu tidak mengapa, karena penjual pertama menjualnya dengan harga murah kepada Anda lantaran sikap tolerannya. Boleh jadi pula, pembeli tahu bahwa harganya sepuluh (misalnya), tetapi ia ingin memberi manfaat kepada Anda dengan membelinya seharga dua puluh, hal itu pun tidak mengapa. Walaupun pada kedua contoh tersebut harga pasarannya tidak mengalami lonjakan di pasaran.”

Jadi, yang tidak boleh adalah menipu pembeli yang tidak tahu harga pasaran dan tidak pandai menawar sehingga mengeruk darinya laba sebesar-besarnya melebihi kebiasaan yang berlaku di pasar-pasar kaum muslimin. Ini yang dikenal dalam ilmu fikih sebagai penjualan kepada al-mustarsil.

Terdapat dua tafsir mengenai makna al-mustarsil:

1. Orang yang tidak tahu harga barang di pasaran.

2. Orang yang tidak bisa menawar barang, tetapi menuruti ucapan penjual. Ini yang datang dari al-Imam Ahmad rahimahumullah. Alhasil, al-mustarsil adalah orang yang tidak tahu harga pasaran dan tidak pandai menawar harga.

Ibnu Taimiyah rahimahumullah menerangkan setelah menyebutkan kedua tafsir tersebut, “Maka dari itu, ia tidak boleh ditipu dengan pengambilan laba yang sangat merugikannya, baik yang ini (makna pertama) maupun yang itu (makna kedua).”

Ibnu Taimiyah rahimahumullah berkata, “Tidak boleh menjual kepada al-mustarsil kecuali dengan harga wajar, sebagaimana penjualan kepada yang lainnya (yang tahu harga). Tidak boleh bagi seorang penjual menipu orang yang menurutinya dengan mengeruk laba yang sangat besar melebihi kewajaran. Ada sebagian ulama membatasinya sebesar 1/3 dari harga barang. Ada yang membatasinya dengan 1/6 dari harga barang. Ada pula yang mengatakan bahwa hal itu kembali kepada kebiasaan yang berlaku.

Apa yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat dalam pengambilan laba jual beli mereka kepada orang yang pandai menawar, senilai itu pulalah laba yang diambil dari al-mustarsil.” Pendapat yang terakhir inilah yang benar, bahwa hal itu kembali kepada kebiasaan yang adadi pasar-pasar kaum muslimin.

Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah menegaskan bahwa almustarsil yang dirugikan melebihi harga wajar, memiliki hak khiyar al-ghabn, yaitu hak orang yang rugi karena tertipu dalam transaksi jual beli untuk memilih antara meneruskan akad tersebut atau melakukan fasakh (pembatalan akad).

Ini adalah mazhab Ahmad dan Malik. Dalilnya adalah penetapan khiyar al-ghabn oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kasus talaqqi ar-rukban, yaitu menghadang kafilah yang datang ke suatu negeri sebelum masuk pasar agar dibeli murah jauh di bawah harga standar. Jika ia telah masuk pasar lantas mengetahui bahwa dirinya tertipu, ia berhak memilih antara meneruskan akad atau membatalkannya. Adapun hadits Abu Umamah radhiyallahu anhu:

غَبْنُ الْمُسْتَرْسِلِ حَرَامٌ.

“Menipual-mustarsiladalah perbuatan haram.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir)

dan hadits Jabir, Anas, dan ‘Ali radhiyallahu anhu  :

غَبْنُ الْمُسْتَرْسِلِ رِبًا.

“Menipua l-mustarsila dalahr iba.” (HR. al-Baihaqi)

Keduanya hadits yang dha’if (lemah), bukan hujah.3 Adapun pendapat asy-Syafi’i dan Malik yang menyatakan transaksi itu telah terjadi dan sah tanpa adanya hak khiyar baginya, adalah pendapat yang lemah. Wallahu a’lam.4