Anak Bermain-Main Saat Shalat
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya, “Jika anak menolah-noleh ketika berdiri di tengah shaf shalat atau terlalu sering bergerak, bagaimana bimbingan Anda tentang hal ini?”
Beliau menjawab, “Hendaknya diberi isyarat agar tenang, sampai dia bisa tenang. Selama di dalam shalat, maka dilakukan dengan isyarat. Anak-anak harus terus dibimbing sampai dia terbiasa dengan kebaikan.” (Fatawa Nur ‘alad Darb, kaset no. 301)
Anak Lewat di Depan Ibunya yang Sedang Shalat
Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Ketika shalat, apakah seorang wanita wajib mencegah anaknya lewat di hadapannya? Dia tahu bahwa hal itu akan terjadi berkali-kali di tengah shalat, sehingga tindakannya akan menghilangkan kekhusyukan. Jika shalat sendirian, dia mengkhawatirkan terjadi bahaya pada anaknya.”
Beliau menjawab, “Tidak mengapa dalam keadaan seperti ini dia menahan anaknya agar tidak lewat di hadapannya ketika shalat, jika anak itu berkali-kali lewat dan dia mengkhawatirkan kekhusyukannya dengan tindakannya menahan anaknya itu, sebagaimana dikatakan oleh para ulama.
Akan tetapi, dalam keadaan seperti ini anaknya diberi sesuatu yang mengasyikkan, namun tetap berada di dekat ibunya. Jika anak diberi sesuatu yang mengasyikkan, ia akan lalai dari hal-hal yang lainnya.
Jika si anak menggelayuti ibunya karena lapar atau haus, sebaiknya sang ibu menunda shalatnya untuk memenuhi keperluan anaknya. Setelah itu, ia kembali menunaikan shalat.” (Majmu’atu As’ilah Tahimmul Usrah)
Menggambar Makhluk Bernyawa
Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Ada siswa beberapa sekolah diminta untuk menggambar makhluk bernyawa. Misalnya, ditugaskan menggambar bagian badan ayam, kemudian diperintahkan untuk menyempurnakan bagian yang lainnya. Terkadang dia diminta menggunting gambar itu kemudian menempelkannya di kertas, atau diberi gambar semacam itu untuk diwarnai. Bagaimana pandangan Anda tentang hal ini?”
Beliau menjawab, “Saya memandang hal ini haram dan wajib dilarang. Hendaknya para penanggung jawab bidang pendidikan mengharuskan para pengajar untuk menunaikan amanat dalam urusan ini.
Selain itu, mereka juga harus melarang hal-hal semacam ini. Jika ingin menguji tingkat inteligensi siswa, masih memungkinkan untuk memerintah si anak menggambar sebuah mobil, pohon, atau apa saja yang diketahui oleh si anak. Dengan demikian, akan diketahui sejauh mana tingkat kecerdasan atau inteligensi anak dalam berbagai hal.
Perbuatan ini (menyuruh anak menggambar makhluk bernyawa, -ed.) termasuk menguji seseorang menggunakan sarana setan. Akan tetapi—tak diragukan lagi—sebenarnya tidak ada perbedaan bagusnya gambar atau lukisan antara seseorang menggambar pohon, mobil, istana, ataupun manusia.
Karena itu, saya berpandangan agar otoritas bidang pendidikan melarang hal-hal semacam ini. Jika seorang siswa diperintah menggambar hewan dan ini harus dilakukan, hendaknya dia menggambar hewan tanpa kepala.” (Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 12/332)
Tidak Lulus Ujian Apabila Tidak Menggambar Kepala
Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ditanya, “Dalam fatwa Anda di atas, Anda mengatakan bahwa jika seorang siswa diperintahkan menggambar hewan dan ini harus dilakukan, hendaknya dia menggambar hewan tanpa kepala. Namun, terkadang murid dianggap tidak lulus ujian jika tidak mau menggambar kepala. Apa yang harus dilakukan?”
Beliau menjawab, “Kalau demikian, maka siswa tersebut dalam keadaan terpaksa. Dosanya ditanggung oleh orang yang memerintah dan membebaninya dengan hal itu. Namun, aku berharap, pihak-pihak yang berkompeten tidak membiarkan urusannya sampai seperti ini, hingga memaksa hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala untuk durhaka kepada-Nya subhanahu wa ta’ala .” (Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 12/333)
Memukul Anak
Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Ada seorang pria yang sedang berhaji bersama putrinya yang masih kecil. Kemudian dia memukul putrinya ini dalam rangka ta’dib (mendidik). Apa hukum perbuatan seperti ini?”
Beliau menjawab, “Memukul anak dalam rangka mendidik tidak mengapa. Abu Bakr pernah memukul budaknya ketika beliau dalam keadaan ihram.” (Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 24/56)
Menghukum Anak dengan Pukulan Atau Hukuman Lain
Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah boleh seorang ayah atau ibu menghukum anak dengan memukul atau memasukkan sesuatu yang pahit atau pedas di dalam mulut si anak, seperti cabai, jika anak berbuat suatu kesalahan?”
Beliau menjawab, “Memberikan ta’dib (pendidikan) dengan pukulan diperbolehkan jika si anak memang telah mencapai usia yang layak untuk diberikan ta’dib, dan umumnya pada usia sepuluh tahun.
Adapun memberi sesuatu yang pedas, ini tidak boleh, karena akan berdampak negatif pada anak. Bisa jadi, mulutnya terasa terbakar atau perutnya terasa panas. Ini justru bisa membahayakan.
Berbeda halnya dengan pukulan, ia hanya mengenai bagian luar tubuh. Tidak mengapa dilakukan dalam rangka mendidik, dengan pukulan yang tidak melukai.” (Majmu’atu As’ilah Tahimmul Usrah)
Beliau ditanya pula, “Bolehkah memukul anak yang berumur kurang dari sepuluh tahun?” Beliau menjawab, “Dilihat terlebih dahulu. Sebab, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan pukulan pada anak yang berumur sepuluh tahun karena meninggalkan shalat.
Adapun yang umurnya kurang dari itu, dilihat dahulu. Terkadang ada anak yang memiliki pemahaman, cerdas, dan badannya besar, sehingga dia mampu menanggung pukulan, kemarahan, dan tindakan pendidikan. Akan tetapi, ada pula yang keadaannya tidak seperti itu.” (Majmu’atu As’ilah Tahimmul Usrah)
(Dinukil dan diterjemahkan dengan sedikit perubahan dari Fatawa Tarbiyatil Aulad, al-Qismu al-‘Ilmi Dar al-Ikhlash wa ash-Shawab, cet. 2, 1435H/2014M, hlm. 23—24, 26—28, 36—39 oleh Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)