(Oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin)
وَاِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهاَنٌ مَقْبُوْضَةٌ
“Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) dan tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (al-Baqarah : 283)
Penjelasan Mufradat dan Makna Ayat
وَاِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ
“Jika kalian dalam perjalanan.” Artinya, jika kalian dalam keadaan safar dan terjadi muamalah atau utang piutang sampai batas waktu yang ditentukan,
وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا
“Dan kalian tidak memperoleh penulis.” Jumhur (mayoritas) ulama membacanya كَاتِبًا yang artinya seorang (penulis) yang akan menulis untuk kalian. Ibnu Abbas, Ubai, adh-Dhahak, ‘Ikrimah, dan Abul ‘Aliyah membacanya كِتَابًا yang artinya buku/kertas untuk menulis.
Al-Anbari rahimahullah menyebutkan bahwa Mujahid menafsirkannya dengan pena. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, maknanya adalah kalian mendapatkan seorang penulis, namun tidak ada kertas atau pena. Sebagai pengganti catatan/tulisan tersebut adalah gadai barang dari orang yang meminjam.
فَرِهاَنٌ مَقْبُوْضَةٌ
“Hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh pemiutang).” Kata الرِّهَانُ artinya jaminan utang, yakni barang gadai. Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan dalam Fathul Bari, kata الرَّهْنُ dengan memfathah ra’ dan mensukun ha’, secara bahasa berarti الاِحْتِبَاسُ , yaitu menahan, sebagaimana ucapan mereka,
رَهَنَ الشَّيْءُ إِذَا دَامَ وَثَبَتَ
Artinya, sesuatu itu tergadai apabila dia diam dan tetap. Di antara penggunaan kata tersebut dalam al-Qur’an adalah,
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌ
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (al- Mudatstsir: 38)
Adapun secara syariat, rahn bermakna menjadikan harta sebagai jaminan atas suatu utang. Mayoritas qurra’, seperti Nafi’, ‘Ashim, Ibnu ‘Amir, Hamzah, dan al-Kisa’I rmae’mbacanya رِهَانٌ dengan mengkasrah , memfathah ha’, dan menetapkan alif.
Adapun Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, dan Abdul Warits membacanya رُهُنٌ dengan mendhammah ra’ dan ha’, tanpa alif. ‘Ashim bin Abi an-Najud membacanya رَهْنٌ dengan memfathah dan mensukun ha’.
Ibnu Qutaibah rahimahullah mengatakan, ulama yang membacanya dengan lafadz الرِّهَانُ menghendaki bentuk jamak (plural) dari الرَّهْنُ . Adapun ulama yang membacanya dengan lafadz الرُّهُنُ menghendaki bentuk jamak (plural) dari الرِّهَانُ , seakan-akan mereka menjamak suatu kata yang sudah dalam bentuk jamak.
Az-Zajjaj, Ibnul A’rabi, dan al-Akhfasy mengatakan bahwa kata الرَّهْنُ bisa ditempatkan pada kata وَأَرْهَنْتُ رَهَنْتُ. Abul Farisi mengatakan, kata أَرْهَنْتُ ditempatkan dalam muamalah, sedangkan رَهَنْتُ ditempatkan dalam pinjam-meminjam dan jual beli.
Gadai, Jaminan Saat Safar dan Mukim
Ibnul Jauzi dalam tafsirnya, Zadul Masir, menyebutkan alasan dikhususkannya barang tanggungan/jaminan ketika terjadi muamalah tidak secara tunai di waktu safar. Kata beliau, pada umumnya saat safar adalah keadaan yang sulit dijumpai adanya seorang penulis dan saksi. Dengan demikian, diperlukan adanya barang tanggungan sebagai jaminan kepercayaan atas pihak yang berutang di sisi pihak yang berpiutang (mengutangi).
Asy-Syaukani dalam tafsirnya, Fathul Qadir, pada tafsir ayat sebelumnya (al-Baqarah: 282) menyatakan, Allah Subhanahu wata’ala telah menyebutkan disyariatkan adanya catatan dan saksi ketika terjadi muamalah tidak secara tunai (seperti jual beli, utang-piutang, atau sewa-menyewa) dalam batas waktu yang ditentukan. Gunanya adalah untuk menjaga harta dan tidak menimbulkan keraguan. Setelahnya, disusul oleh ayat yang menyebutkan keadaan yang umumnya seseorang sulit mendapatkan penulis, seperti ketika safar. Jadi, kesulitan tersebut digantikan kedudukannya oleh pensyariatan gadai. Ulama mengatakan bahwa disyariatkannya gadai di waktu safar ditetapkan berdasarkan nash/dalil al-Qur’an. Adapun disyariatkannya gadai di waktu mukim (di rumah, tidak sedang bepergian) ditetapkan berdasarkan perbuatan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan, dari ayat ini, sebagian ulama mengambil pendapat bahwa gadai tidaklah disyariatkan selain dalam safar. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Mujahid, adh-Dhahhak, dan Dawud (azh-Zhahiri). Akan tetapi, yang benar gadai berlaku juga di waktu mukim. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah, sebagaimana hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
دِرْعَهُ بِشَعِيرٍ صل الله عليه وسلم وَلَقَدْ رَهَنَ النَّبِيُّ
“Sungguh, Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam telah menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan gandum.” (HR. al-Bukhari)
Demikian pula hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
اشْتَرَى رَسُولُ اللهِ صل الله عليه وسلم مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ
“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam membeli makanan (gandum) dari seorang Yahudi (Abu Syahm) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan (setahun), dan beliau menggadaikan baju besinya.” (HR. al-Bukhari)
Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, gadai diperbolehkan di waktu mukim meskipun didapati adanya penulis. Al Imam al-Bukhari rahimahullah menyebutkan dalam kitab Shahih-nya, pada “Kitabur Rahn”, “Bab fi ar-Rahn fi al-Hadhar (Bab tentang gadai di waktu mukim)”, kemudian beliau menyebutkan surat al-Baqarah ayat 283, dan disusul hadits Anas radhiyallahu ‘anhu dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas.
Barang Gadai Harus Dipegang Pemiutang
Al-Baghawi mengatakan, para ulama bersepakat bahwa gadai tidak sempurna kecuali jika barang gadai telah diterima/dipegang oleh pihak pemiutang.
Ibnu Katsir menyatakan, sebagian ulama berdalil dengan ayat ini bahwa gadai tidak wajib kecuali jika dipegang (diterima), seperti pendapat asy-Syafi’i rahimahullah dan jumhur. Adapun al-Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa barang gadai harus berada di tangan pihak pemiutang.
Al-Alusi rahimahullah mengatakan, kalimat مَقْبُوْضَةٌ adalah isyarat bahwa gadai dapat dipegang oleh yang mewakili dan tidak harus dipegang oleh yang berpiutang itu sendiri.
Hukum Gadai
Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan bahwa gadai tidaklah wajib karena fungsinya sebagai pengganti catatan. Sebagaimana halnya hukum catatan tidak wajib, maka gadai juga demikian. Penjabarannya adalah ayat yang sebelumnya,
يَآاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوآاِذَا تَدَا يَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلىٰ اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.” (al-Baqarah: 282)
Zahir ayat ini menunjukkan, penulisan utang hukumnya wajib karena hukum asal perintah menunjukkan kewajiban. Namun, diisyaratkan bahwa perintah dalam ayat ini maksudnya adalah irsyad (bimbingan/sunnah) dan bukan wajib. Hal ini berdasarkan ayat,
وَاِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهاَنٌ مَقْبُوْضَةٌ
“Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) dan tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (al- Baqarah: 283)
Sebab, gadai hukumnya tidak wajib menurut ijma’. Gadai adalah pengganti dari catatan saat kesulitan (mendapatkan penulis/catatan). Apabila hukum catatan itu wajib, penggantinya pun wajib. Yang memperjelas tidak wajibnya gadai adalah kelanjutan ayat tersebut,
فَإِنْ اَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْ تُمِنَ اَمَانَتَه وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ
“Akan tetapi, jika sebagian kalian memercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya).”
Wallahul muwaffiq.