Ketika ada orang yang berusaha memegang teguh nilai-nilai agama, terlontar ucapan orang lain kepadanya, “Tidak usah sok suci kamu. Iman itu yang penting di dalam hati.” Ilustrasi ini sangat mungkin pernah kita alami. Benarkah demikian? Cukupkah untuk dikatakan sebagai orang yang beriman hanya dengan keyakinan yang ada di dalam hati?
Definisi Iman
Pembahasan seputar iman adalah sangat penting. Sebab, iman menjadi satu istilah yang syar’i dan agung di dalam syariat. Secara bahasa, iman berarti pembenaran (tashdiq) yang pasti dan tidak terkandung keraguan di dalamnya. Pembenaran yang dimaksud dari iman ini meliputi dua hal, yaitu membenarkan segala berita, perintah, dan larangan, serta melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Adapun secara istilah, definisi iman menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah ucapan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan amalan dengan anggota badan. Sebagian mereka ada pula yang mendefinisikan iman dengan ‘ucapan dan amalan’ atau ‘ucapan, amalan, dan niat’. Namun, semua pengertian tentang iman ini tidaklah saling bertentangan.
Baca juga: Siapakah Ahlus Sunnah?
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Mereka (para salaf dan imam As-Sunnah) terkadang mengatakan bahwa iman adalah ‘ucapan dan amalan’ atau iman adalah ‘ucapan, amalan, dan niat’. Terkadang mereka juga mengatakan bahwa iman adalah ‘ucapan, amalan, niat, dan mengikuti As-Sunnah’. Adakalanya pula mereka mengatakan bahwa iman itu ‘ucapan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan amalan dengan anggota badan’. Semua makna iman di atas adalah benar adanya.”
Beliau melanjutkan,
“Sesungguhnya, yang mengatakan bahwa iman adalah ‘ucapan dan amalan’, maksudnya adalah ucapan hati dan lisan, kemudian amalan hati dan anggota badan. Adapun yang menambahnya dengan kata ‘iktikad (keyakinan)’ memandang bahwa ‘ucapan’ tidak dapat dipahami darinya kecuali ucapan zahir (lisan) atau khawatir akan dipahami seperti itu. Maka, dari itu, ditambahlah kata iktikad dalam hati.
Sementara itu, yang menyatakan bahwa iman adalah ‘ucapan, amalan, dan niat’, adalah karena amalan tidak dapat dikatakan sebagai amalan kecuali dengan adanya niat. Karena itu, ditambahlah kata ‘niat’ padanya. Kemudian, yang menambahkan kata ‘mengikuti As-Sunnah’ ke dalam makna iman, alasannya ialah hal tersebut tidak dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala kecuali dengan mengikuti As-Sunnah.” (Kitabul Iman hlm. 162—163)
Baca juga: Ittiba, Kewajiban Mengikuti As-Sunnah
Apabila iman disebutkan secara mutlak dalam kalam Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, ia mencakup penunaian atas hal-hal yang diwajibkan dan meninggalkan hal-hal yang haram. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ فِيكُمۡ رَسُولَ ٱللَّهِۚ لَوۡ يُطِيعُكُمۡ فِي كَثِيرٍ مِّنَ ٱلۡأَمۡرِ لَعَنِتُّمۡ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ حَبَّبَ إِلَيۡكُمُ ٱلۡإِيمَٰنَ وَزَيَّنَهُۥ فِي قُلُوبِكُمۡ وَكَرَّهَ إِلَيۡكُمُ ٱلۡكُفۡرَ وَٱلۡفُسُوقَ وَٱلۡعِصۡيَانَۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلرَّٰشِدُونَ
“Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan. Tetapi, Allah menjadikan kamu cinta kapada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (al-Hujurat: 7)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّمَا كَانَ قَوۡلَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذَا دُعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ لِيَحۡكُمَ بَيۡنَهُمۡ أَن يَقُولُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَاۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ
“Sesungguhnya, jawaban orang-orang mukmin bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan ‘kami mendengar dan kami patuh’. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (an-Nur: 51)
Dari sini tampak jelas adanya keterkaitan yang kuat antara iman dan amal. Karena itu, di dalam Al-Qur’an, Allah subhanahu wa ta’ala banyak menguraikan persoalan ini. Di antaranya, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يُؤۡمِنُ بَِٔايَٰتِنَا ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُواْ بِهَا خَرُّواْۤ سُجَّدًاۤ وَسَبَّحُواْ بِحَمۡدِ رَبِّهِمۡ وَهُمۡ لَا يَسۡتَكۡبِرُونَ
“Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami adalah orang-orang yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat (Kami), mereka menyungkur sujud dan bertasbih memuji Rabbnya, sedang mereka tidak menyombongkan diri.” (as-Sajdah: 15)
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ لَمۡ يَرۡتَابُواْ وَجَٰهَدُواْ بِأَمۡوَٰلِهِمۡ وَأَنفُسِهِمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلصَّٰدِقُونَ
“Sesungguhnya, orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (al-Hujurat: 15)
Baca juga: Meluruskan Cara Pandang Terhadap Jihad
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
لَا يَسۡتَٔۡذِنُكَ ٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ أَن يُجَٰهِدُواْ بِأَمۡوَٰلِهِمۡ وَأَنفُسِهِمۡۗ وَٱللَّهُ عَلِيمُۢ بِٱلۡمُتَّقِينَ ٤٤ إِنَّمَا يَسۡتَٔۡذِنُكَ ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَٱرۡتَابَتۡ قُلُوبُهُمۡ فَهُمۡ فِي رَيۡبِهِمۡ يَتَرَدَّدُونَ ٤٥
“Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya, yang akan meminta izin kepadamu hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguannya.” (at-Taubah: 44—45)
Dan ayat-ayat lainnya.
Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa iman yang diserukan oleh Allah kepada hamba-Nya adalah Islam yang Dia jadikan sebagai din-Nya. Ini menunjukkan adanya keterkaitan pula antara iman dan Islam.
Imam az-Zuhri rahimahullah dan kalangan imam Ahlus Sunnah lainnya mengatakan, “Amal masuk dalam kategori iman, sedangkan Islam adalah bagian dari iman.” (Majmu’ al-Fatawa, 7/254)
Iman, Islam, dan Amal
Iman, Islam, dan amal saleh seringkali penyebutannya dibarengkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Terkadang, iman juga disebutkan bersamaan dengan orang- orang yang berilmu. Hal ini mengisyaratkan bahwa orang-orang yang berilmu masuk dalam jajaran orang-orang yang beriman.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ ٱلۡمُسۡلِمِينَ وَٱلۡمُسۡلِمَٰتِ وَٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ وَٱلۡقَٰنِتِينَ وَٱلۡقَٰنِتَٰتِ وَٱلصَّٰدِقِينَ وَٱلصَّٰدِقَٰتِ وَٱلصَّٰبِرِينَ وَٱلصَّٰبِرَٰتِ وَٱلۡخَٰشِعِينَ وَٱلۡخَٰشِعَٰتِ وَٱلۡمُتَصَدِّقِينَ وَٱلۡمُتَصَدِّقَٰتِ وَٱلصَّٰٓئِمِينَ وَٱلصَّٰٓئِمَٰتِ وَٱلۡحَٰفِظِينَ فُرُوجَهُمۡ وَٱلۡحَٰفِظَٰتِ وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرًا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغۡفِرَةً وَأَجۡرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya, laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (al-Ahzab: 35)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَأَخۡرَجۡنَا مَن كَانَ فِيهَا مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٣٥ فَمَا وَجَدۡنَا فِيهَا غَيۡرَ بَيۡتٍ مِّنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ ٣٦
“Lalu Kami keluarkan orang-orang yang beriman yang berada di negeri kaum Luth itu. Dan Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang-orang yang berserah diri (muslimin).” (adz- Dzariyat: 35—36)
Baca juga: Syarat Diterimanya Amal
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah (sembahan) yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah jika engkau telah memiliki kemampuan untuk itu.”
Beliau bersabda lagi,
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
“(Iman adalah) engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir serta beriman kepada qadar (takdir) yang baik dan buruknya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan lainnya dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أُوْلَٰٓئِكَ هُمۡ خَيۡرُ ٱلۡبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” (al-Bayyinah: 7)
وَقَالَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ وَٱلۡإِيمَٰنَ لَقَدۡ لَبِثۡتُمۡ فِي كِتَٰبِ ٱللَّهِ إِلَىٰ يَوۡمِ ٱلۡبَعۡثِۖ فَهَٰذَا يَوۡمُ ٱلۡبَعۡثِ وَلَٰكِنَّكُمۡ كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
Orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan berkata (kepada orang-orang yang kafir), “Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah, sampai hari berbangkit, maka inilah hari berbangkit itu. Akan tetapi, kamu selalu tidak meyakininya.” (ar-Rum: 56)
Baca juga: Beriman Adanya Kebangkitan Setelah Kematian
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٍۚ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (al-Mujadilah: 11)
وَٱلرَّٰسِخُونَ فِي ٱلۡعِلۡمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلٌّ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَاۗ
Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami….” (Ali Imran: 7)
لَّٰكِنِ ٱلرَّٰسِخُونَ فِي ٱلۡعِلۡمِ مِنۡهُمۡ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ يُؤۡمِنُونَ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبۡلِكَۚ
“Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (Al-Qur’an) dan apa yang telah diturunkan sebelummu.” (an-Nisa: 162)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Ketika kata iman dan Islam disebutkan bersamaan, maka Islam adalah amalan-amalan yang zahir, seperti dua kalimat syahadat, shalat, zakat, puasa, haji, dan yang lainnya. Adapun iman adalah apa yang ada dalam hati, seperti beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir serta yang lainnya.” (Majmu’ al-Fatawa, 7/14)
Baca juga: Iman
Adakalanya kata iman disebutkan tersendiri tanpa dibarengi kata Islam, amal saleh, atau kata-kata lainnya. Dalam keadaan ini, Islam dan amal saleh secara otomatis telah masuk dalam cakupannya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ – أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ – شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ
“Iman itu ada 63 atau 73 cabang. Yang paling afdal adalah ucapan la ilaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu adalah cabang dari iman.” (HR. Muslim, dan al-Bukhari serta yang lainnya, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Seluruh hadits yang menyebutkan amalan-amalan yang baik sebagai bagian dari iman menunjukkan akan hal ini.
Perbedaan Iman dan Islam
Islam adalah din. Kata “din” merupakan bentuk masdar (kata kerja yang dibendakan) dari asal kata
دَانَ – يَدِيْنُ
Maknanya, tunduk dan merendah.
Din Islam yang Allah subhanahu wa ta’ala ridhai dan Alla utus dengannya para rasul adalah penyerahan diri hanya kepada-Nya. Maka dari itu, landasannya di dalam hati ialah ketundukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan beribadah hanya kepada-Nya, tanpa kepada yang lain. Barang siapa menyembah-Nya dan menyembah ilah yang lain, tidaklah menjadi seorang muslim. Barang siapa enggan menyembah-Nya, justru menyombongkan diri dengan tidak mau beribadah kepada-Nya, dia tidaklah menjadi seorang muslim.
Intinya, Islam adalah berserah diri kepada Allah, tunduk kepada-Nya, dan beribadah hanya kepada-Nya. Kemudian, pada prinsipnya, Islam adalah bagian dari bab amalan, yakni amalan hati dan anggota badan.
Adapun iman landasannya adalah tashdiq (pembenaran), iqrar (pengakuan), dan ma’rifat (pengenalan/pengetahuan). Iman adalah bagian dari ucapan hati, yang mencakup amalan hati dan landasannya adalah tashdiq. Adapun amal adalah perkara yang mengikutinya.
Oleh sebab itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menafsirkan kata ‘iman’ dengan keimanan hati dan ketundukannya, yakni beriman kepada Allah azza wa jalla, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. Adapun kata ‘Islam’, beliau tafsirkan dengan penyerahan/penerimaan (istislam) yang khusus, yakni terhadap bangunan-bangunan Islam (mabani) yang lima.
Demikianlah dalam seluruh pernyataan beliau shallallahu alaihi wa sallam ketika menafsirkan iman dengan itu dan Islam dengan ini. (Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa, 7/178)
Iman Bisa Bertambah dan Berkurang
Iman bisa bertambah dan berkurang adalah pemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah secara utuh. Bahkan, Imam Ibnu Abdil Bar rahimahullah menegaskan, ahli hadits dan fikih telah bersepakat menetapkan bahwa iman adalah ucapan dan amalan, tidak ada amalan kecuali dengan niat, dan bahwa iman itu bertambah dan berkurang. (at-Tamhid 9/238, melalui nukilan dari Taisirul Wushul Syarh Tsalatsatil Ushul hlm. 77)
Imam al-Barbahari rahimahullah dalam Syarhus Sunnah (hlm. 132) mengatakan, “Barang siapa berkata bahwa iman adalah ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang, ia telah terbebas dari keyakinan Murji`ah secara menyeluruh.”
Dalil-dalil yang menerangkan bertambah dan berkurangnya iman sangatlah banyak, baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah, maupun ucapan para salaf.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
هُوَ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ ٱلسَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ لِيَزۡدَادُوٓاْ إِيمَٰنًا مَّعَ إِيمَٰنِهِمۡۗ
“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (al-Fath: 4)
وَمَا جَعَلۡنَآ أَصۡحَٰبَ ٱلنَّارِ إِلَّا مَلَٰٓئِكَةًۖ وَمَا جَعَلۡنَا عِدَّتَهُمۡ إِلَّا فِتۡنَةً لِّلَّذِينَ كَفَرُواْ لِيَسۡتَيۡقِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ وَيَزۡدَادَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِيمَٰنًا
“Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat dan orang kafir, supaya orang-orang yang diberi al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya ….” (al-Muddatstsir: 31)
Baca juga: Dahsyatnya Neraka
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ فَزَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنًا وَهُمۡ يَسۡتَبۡشِرُونَ
“Adapun orang-orang yang beriman, maka surah ini menambah imannya, sedangkan mereka merasa gembira.” (at-Taubah: 124)
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya, orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka. Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kapada Rabb-nyalah mereka bertawakal.” (al-Anfal: 2)
وَلَمَّا رَءَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلۡأَحۡزَابَ قَالُواْ هَٰذَا مَا وَعَدَنَا ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَصَدَقَ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥۚ وَمَا زَادَهُمۡ إِلَّآ إِيمَٰنًا وَتَسۡلِيمًا
Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata, “Inilah yang dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya kepada kita. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.’ Yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (al-Ahzab: 22)
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaknya ia ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim dari Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu)
Baca juga: Kewajiban Nahi Mungkar Tergantung Kemampuan
Dari Umair bin Habib, berkata, “Iman itu bertambah dan berkurang.”
Beliau ditanya, “Apa tanda bertambah dan berkurangnya?”
Beliau menjawab, “Jika kita ingat Allah azza wa jalla, lalu memuji dan menyucikan-Nya, itulah bertambahnya. Apabila kita lalai, melupakan, dan tidak menghiraukan-Nya, itulah tanda berkurangnya.” (Riwayat Imam Abu Utsman ash-Shabuni rahimahullah dalam ‘Aqidatus Salaf Ashabil Hadits hlm. 266)
Demikian uraian singkat mengenai hakikat iman. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menganugerahi kita semua kebenaran iman dan kekokohannya.
Wallahu a’lam.
(Ustadz Abu Hamzah Yusuf al-Atsari)