Hasad

Hasad, bisa jadi adalah penyakit jiwa yang paling sering menjangkiti atau setidaknya pernah mendera kita tanpa disadari. Hasad sesungguhnya adalah penyakit “tertua”, penyakit yang menjadikan Iblis membangkang kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Yang memilukan, penyakit ini kemudian banyak diwarisi oleh kaum muslimin hingga sekarang.

Mahasuci Allah subhanahu wa ta’ala yang telah membagi-bagi perangai para hamba-Nya sebagaimana Ia telah membagi-bagi rezeki di antara mereka. Di antara manusia ada yang dianugerahi perangai yang baik, jiwa yang bersih, dan cinta terhadap saudaranya apa yang ia cintai bagi dirinya berupa kebaikan. Ada pula jenis manusia yang jelek perangainya, kotor jiwanya, serta tidak suka terhadap kebaikan yang diperoleh saudaranya.

Baca juga: Prinsip-Prinsip Tazkiyatun Nufus

Pengertian Hasad

Ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan hasad. Namun, inti ungkapan mereka, hasad adalah sikap benci dan tidak senang terhadap apa yang dilihatnya berupa baiknya keadaan orang yang tidak disukainya. (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, 10/111)

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Hasad adalah menginginkan hilangnya nikmat dari yang memperolehnya, baik itu nikmat dalam agama ataupun dalam perkara dunia.” (Riyadhush Shalihin, “Bab Tahrimil Hasad”, no. 270)

Sebab-Sebab Terjadinya Hasad

Pada dasarnya, jiwa manusia memiliki tabiat menyukai kedudukan yang terpandang, dan tidak ingin ada yang menyaingi atau lebih tinggi darinya. Jika ada yang lebih tinggi darinya, ia pun sempit dada dan tidak menyukainya, serta ingin agar nikmat itu hilang dari saudaranya.

Dari sini jelaslah bahwa hasad merupakan penyakit kejiwaan. Hasad merupakan penyakit kebanyakan orang. Tidak terbebas darinya kecuali segelintir manusia. Oleh karena itu, dahulu dikatakan, “Tiada jasad yang bebas dari sifat hasad. Akan tetapi, orang yang jelek akan menampakkan hasadnya, sedangkan orang yang baik akan menyembunyikannya.”

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah pernah ditanya, “Apakah seorang mukmin itu (memiliki sifat) hasad?”

Beliau rahimahullah menjawab, “Begitu cepatnya engkau lupa (tentang kisah hasad) saudara-saudara Nabi Yusuf alaihissalam. Namun, sembunyikanlah hasad itu di dalam dadamu. Hal itu tidak akan membahayakanmu selagi tidak ditampakkan dengan tangan dan lisan.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, 10/125)

Baca juga: Kisah Nabi Yusuf dan Nabi Ya’qub

Sebab-sebab terjadinya hasad banyak sekali. Di antaranya permusuhan, takabur (sombong), bangga diri, ambisi kepemimpinan, jeleknya jiwa, serta kebakhilannya.

  • Hasad karena permusuhan dan kebencian

Hasad yang paling dahsyat adalah yang ditimbulkan oleh permusuhan dan kebencian. Orang yang disakiti oleh orang lain dengan sebab apa pun, akan tumbuh kebencian dalam hatinya. Akan tertanam pula api kedengkian dalam dirinya. Kedengkian itu menuntut adanya pembalasan.

Jadi, ketika musuhnya tertimpa bala (malapetaka) ia pun senang dan menyangka bahwa itu adalah pembalasan dari Allah subhanahu wa ta’ala untuknya. Sebaliknya, jika yang dimusuhinya memperoleh nikmat, ia tidak senang. Jadi, hasad senantiasa diiringi dengan kebencian dan permusuhan.

  • Hasad karena kesombongan

Adapun hasad yang ditimbulkan oleh kesombongan, misalnya bila ada orang yang setingkat dengannya memperoleh harta atau kedudukan, ia khawatir orang itu akan lebih tinggi darinya. Ini mirip dengan hasad orang-orang kafir terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

مَآ أَنتُمۡ إِلَّا بَشَرٌ مِّثۡلُنَا

“Kalian tidak lain kecuali manusia seperti kita.” (Yasin: 15)

Maksudnya, mereka heran dan benci bila ada orang yang seperti mereka memperoleh derajat kerasulan. Karena itu, mereka pun membenci orang tersebut.

  • Hasad karena ambisi kepemimpinan dan kedudukan

Demikian pula hasad yang ditimbulkan oleh ambisi kepemimpinan dan kedudukan. Misalnya, ada orang yang tak ingin tertandingi dalam bidang tertentu. Ia ingin dikatakan sebagai satu-satunya orang yang mumpuni di bidang tersebut. Jika mendengar di pojok dunia ada yang menyamainya, ia tidak senang. Ia justru mengharapkan kematian orang itu serta hilangnya nikmat itu darinya.

Baca juga: Menyikapi Nikmat Dunia Sebagai Ujian

Begitu pula halnya dengan orang yang terkenal karena ahli ibadah, keberanian, kekayaan, atau yang lainnya, tidak ingin tersaingi oleh orang lain. Hal itu karena semata-mata ingin menyendiri dalam kepemimpinan dan kedudukan. Dahulu ulama Yahudi mengingkari apa yang mereka ketahui tentang Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam serta tidak mau beriman kepada beliau karena khawatir tergesernya kedudukan mereka.

  • Hasad karena kejelekan jiwa dan kebakhilan hati

Adapun hasad yang ditimbulkan oleh jeleknya jiwa serta bakhilnya hati terhadap hamba Allah subhanahu wa ta’ala, bisa jadi orang semacam ini tidak punya ambisi kepemimpinan ataupun takabur (kesombongan). Namun, jika disebutkan di sisinya tentang orang yang diberi nikmat oleh Allah subhanahu wa ta’ala, sempitlah hatinya. Jika disebutkan keadaan manusia yang goncang serta susah hidupnya, ia bersenang hati.

Orang yang seperti ini selalu menginginkan kemunduran orang lain, bakhil dengan nikmat Allah subhanahu wa ta’ala atas para hamba-Nya. Seolah-olah manusia mengambil nikmat itu dari kekuasaan dan perbendaharaannya.

Baca juga: Bakhil Terhadap Karunia Allah

Demikianlah. Kebanyakan hasad yang terjadi di tengah-tengah manusia disebabkan faktor-faktor di atas. Seringnya, hasad terjadi di antara orang-orang yang hidup sezaman, selevel, atau antarsaudara. Oleh karena itu, Anda dapati ada orang alim yang hasad terhadap alim lainnya dan dia tidak hasad terhadap ahli ibadah. Pedagang juga akan hasad terhadap pedagang yang lain. Sumber semua itu adalah ambisi duniawi karena dunia ini terasa sempit bagi orang yang bersaing. (Lihat Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 240—243)

Buah dari Sifat Hasad

Setiap orang yang lurus dan bijak akan mencela hasad dan berlindung diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala darinya. Lihatlah bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala telah menjauhkan Nabi-Nya Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dari sikap jelek ini. Allah subhanahu wa ta’ala juga mencela ahli kitab yang hasad terhadap manusia dalam hal keutamaan yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada mereka.

Allah subhanahu wa ta’ala juga mencerca kaum munafik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang mereka,

إِن تُصِبۡكَ حَسَنَةٌ تَسُؤۡهُمۡۖ وَإِن تُصِبۡكَ مُصِيبَةٌ يَقُولُواْ قَدۡ أَخَذۡنَآ أَمۡرَنَا مِن قَبۡلُ وَيَتَوَلَّواْ وَّهُمۡ فَرِحُونَ

“Jika kamu mendapat suatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang karenanya. Dan jika kamu ditimpa oleh suatu bencana, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami sebelumnya telah memperhatikan urusan-urusan kami (tidak pergi berperang),’ dan mereka berpaling dengan rasa gembira.” (at-Taubah: 50)

Tidaklah setan dimurkai dan dikutuk oleh Allah subhanahu wa ta’ala melainkan karena hasad dan sikap sombongnya terhadap Adam alaihissalam. Hasad adalah awal kemaksiatan yang Allah subhanahu wa ta’ala dimaksiati dengannya di langit—oleh Iblis—dan di bumi—oleh salah seorang anak Adam, ketika kurbannya tidak diterima. Ia lalu membunuh saudaranya yang diterima kurbannya.

Baca juga: Hasad Sumber Kesesatan

Orang yang hasad selalu dirundung kegalauan melihat nikmat yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada orang lain. Seolah-olah azab menimpa dirinya, Rabb-nya murka kepadanya, manusia pun menjauh darinya. Tidaklah Anda melihatnya kecuali selalu bersedih hati menentang keputusan Allah subhanahu wa ta’ala dan takdir-Nya.

Seandainya ia mampu melakukan kebaikan, niscaya ia tidak akan banyak beramal dan berpikir untuk menyusul orang yang dihasadi. Seandainya ia mampu melakukan kejelekan, pasti ia akan merampas nikmat saudaranya lalu menjadikan saudaranya itu fakir yang sebelumnya kaya, bodoh yang sebelumnya pintar, dan hina yang sebelumnya mulia. (Lihat Ishlahul Mujtama’, hlm. 103—104)

Hasad, Sifat Yahudi yang Menonjol

Orang yang banyak memperhatikan sejarah dan mencermati kondisi umat-umat yang ada, akhlak, dan muamalah mereka, benar-benar akan mendapati bahwa umat yang paling jelek akhlaknya dan paling jahat pergaulannya adalah bangsa Yahudi. Mereka adalah umat yang dikutuk, umat (yang suka) berdusta, melampaui batas, berbuat kefasikan, kemaksiatan, kekufuran, dan penyimpangan. Suatu umat yang dibenci oleh manusia karena kerasnya hati mereka dan dahsyatnya kedengkian serta hasad mereka. (Lihat al-Fawa`id al-Mantsurah, hlm. 172)

Syaikh Muhammad bin Salim al-Baihani rahimahullah berkata, “Tidaklah Al-Qur’an menyifati seseorang dengan sifat hasad, dari dahulu hingga sekarang, lebih daripada bangsa Yahudi. Merekalah yang menyatakan tentang Thalut,

قَالُوٓاْ أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ ٱلۡمُلۡكُ عَلَيۡنَا وَنَحۡنُ أَحَقُّ بِٱلۡمُلۡكِ مِنۡهُ وَلَمۡ يُؤۡتَ سَعَةً مِّنَ ٱلۡمَالِۚ

‘Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripada dia, sedangkan dia pun tidak diberi kekayaan yang banyak?’ (al-Baqarah: 247)

Baca juga: Kisah Thalut vs Jalut

Mereka menyatakan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah menurunkan sesuatu pun kepada manusia.

Mereka juga mengetahui kebenaran, tetapi kemudian mengingkarinya. Mereka berusaha menghalangi manusia dari kebenaran karena keangkuhan mereka di muka bumi dan karena mereka lebih menyukai kebutaan daripada petunjuk, serta membenci apa yang Allah subhanahu wa ta’ala turunkan kepada Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.

Namun, Allah subhanahu wa ta’ala mengandaskan harapan mereka dan meruntuhkan usaha mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَدَّ كَثِيرٌ مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ لَوۡ يَرُدُّونَكُم مِّنۢ بَعۡدِ إِيمَٰنِكُمۡ كُفَّارًا حَسَدًا مِّنۡ عِندِ أَنفُسِهِم مِّنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ ٱلۡحَقُّۖۚ

“Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (al-Baqarah: 109) (Lihat Ishlahul Mujtama’, hlm. 103—104)

Baca juga: Jauhi Tiga Sumber Kesalahan

Antara Hasad dan Ghibthah

Dari uraian yang telah disebutkan, jelaslah bahwa hasad adalah suatu sifat yang tercela karena pelakunya mengharapkan hilangnya nikmat yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada orang lain, serta kebenciannya memperoleh nikmat tersebut.

Adapun ghibthah adalah seseorang ingin mendapatkan sesuatu yang diperoleh orang lain, tanpa menginginkan hilangnya nikmat tersebut dari orang itu. Yang seperti ini tidak mengapa dan tidak dicela pelakunya. Jika irinya dalam hal ketaatan, pelakunya terpuji. Bahkan, ini merupakan bentuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Jika irinya dalam perkara maksiat, ini tercela, sedangkan bila dalam perkara-perkara yang mubah, hukumnya juga mubah. (Lihat at-Tafsirul Qayyim, 1/167 dan Fathul Bari, 1/167)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَقُومُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ، وَآنَاءَ النَّهَارِ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالًا، فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ، وَآنَاءَ النَّهَارِ

“Tidak ada hasad atau iri—yang disukai—kecuali pada dua perkara, (yaitu) seorang yang diberikan pemahaman Al-Qur’an lalu mengamalkannya pada waktu-waktu malam dan siang, dan seorang yang Allah beri harta lalu menginfakkannya pada waktu-waktu malam dan siang.” (HR. Muslim, “Kitab Shalatil Musafirin wa Qashriha”, no. 815, dari sahabat Ibnu Umar radiyallahu anhuma)

Baca juga: Berlomba dalam Kebaikan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

“Jika ada yang mengatakan, mengapa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menamakannya dengan hasad, padahal orang tersebut hanyalah menginginkan untuk diberi nikmat oleh Allah subhanahu wa ta’ala?

Jawabannya, sumber keinginan ini adalah karena ia melihat orang lain diberi nikmat dan ketidaksukaannya ada orang lain yang lebih unggul darinya. Jika tidak ada orang lain (yang memperoleh nikmat itu), niscaya dia juga tidak menginginkannya. Karena sumbernya adalah ketidaksukaannya untuk disaingi oleh orang lain (dalam kebaikan), dinamakanlah hasad.

Jiwa manusia tidaklah hasad kepada orang yang melakukan suatu amalan yang besar keletihannya, seperti jihad. Oleh karena itu, beliau shallallahu alaihi wa sallam tidak menyebutkannya meskipun jihad fi sabilillah lebih utama daripada orang yang menginfakkan hartanya.

Demikian pula, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menyebutkan (dalam hadits ini) orang yang shalat, puasa, dan haji. Sebab, pada amalan-amalan ini biasanya manusia tidak mendapatkan manfaat (dari pelakunya), yang menyebabkan mereka mengagungkan orang tersebut dan menjadikannya sebagai pemimpin, sebagaimana manfaat yang diperoleh dari taklim dan infak.

Hasad asalnya hanyalah terjadi karena sesuatu yang diperoleh oleh orang lain mendatangkan kepemimpinan. Oleh karena itu, orang yang beramal biasanya tidaklah dihasadi meskipun dia bernikmat-nikmat dengan makan, minum, dan nikah lebih banyak dari yang lain.

Ini sangat berbeda dengan dua jenis orang tersebut (orang yang berilmu dan orang yang berinfak), keduanya sering dihasadi. Oleh karena itu, di tengah-tengah orang yang berilmu dan memiliki pengikut, didapati sifat hasad yang tidak tidak didapatkan pada orang yang tidak seperti itu. Demikian pula orang yang memiliki pengikut disebabkan infaknya.

Baca juga: Kisah Ulama yang Fajir dan Abid yang Jahil

Orang yang berilmu akan memberi manfaat kepada manusia dengan santapan rohaninya. Orang yang kaya akan memberikan manfaat kepada manusia dengan kebutuhan jasmani. Sementara itu, semua manusia membutuhkan apa yang menjadikan roh (hati) dan badannya baik.

Sahabat Umar ibnul Khatthhab radhiyallahu anhu berkata,

‘Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintah kami untuk bersedekah, bersamaan dengan saat aku punya harta. Aku menyatakan, ‘Hari ini aku akan menyaingi Abu Bakr, jika aku bisa menyainginya pada suatu hari.’

Umar berkata, ‘Aku datang membawa setengah hartaku.’

Umar berkata lagi, ‘Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan kepadaku, ‘Apa yang kau sisakan untuk keluargamu?’

Aku berkata, ‘Harta yang semisalnya.’

Lalu datanglah Abu Bakr membawa semua yang dimilikinya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepada Abu Bakr, ‘Apa yang kau sisakan untuk keluargamu?’

Dia menjawab, ‘Aku sisakan bagi mereka Allah dan Rasul-Nya.’

Aku (Umar) berkata, ‘Aku tidak akan bisa menyaingimu dalam sesuatu pun selama-lamanya.’

Baca juga: Khalifah Rasulullah, Abu Bakr Ash-Shiddiq

Apa yang dilakukan Umar adalah bentuk berlomba-lomba (dalam kebaikan) dan hasad yang diperbolehkan. Namun, keadaan Abu Bakr lebih utama darinya karena ia terbebas dari menyaingi orang lain secara mutlak. Ia tidak melihat kepada orang lain (ketika berinfak).

Demikian pula Nabi Musa alaihissalam (seperti) dalam hadits Isra Mikraj. Muncul dalam dirinya keinginan menyaingi dan iri kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Karena itu, ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam melewati Nabi Musa alaihissalam, Nabi Musa alaihissalam menangis. Ia ditanya, ‘Apa yang menyebabkanmu menangis?’ Musa berkata, ‘Aku menangis karena ada seorang pemuda—yakni  Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam—yang diutus sepeninggalku, umatnya yang akan masuk surga lebih banyak daripada umatku’.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, 10/113—117)

Manfaat Bersihnya Hati dari Sifat Hasad

Sesungguhnya, di antara tuntutan keimanan adalah seseorang mencintai kebaikan bagi saudaranya sebagaimana yang ia cintai untuk dirinya. Keimanan yang benar akan mendorong pemiliknya untuk menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji dan mencegahnya dari terjerumus ke dalam lembah kehinaan.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا

“Janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling hasad, dan janganlah kalian saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim, Kitabul Birri wash Shilah, bab no. 7, hadits no. 2559, dari jalan Anas bin Malik radhiyallahu anhu)

Baca juga: Ukhuwah yang Membuahkan Mahabbah dan Rahmah

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, dia berkata, “Dahulu kami duduk-duduk di sisi Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Lalu beliau bersabda, “Sekarang akan muncul kepada kalian dari jalan ini, seorang lelaki dari penghuni surga.”

Anas radhiyallahu anhu berkata, “Lalu muncullah seorang lelaki dari kalangan Anshar. Jenggotnya meneteskan air karena wudhu. Orang tersebut mengikatkan kedua sandalnya di tangan kirinya. Orang itu pun mengucapkan salam. Keesokan harinya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengucapkan yang seperti itu. Muncul lagi lelaki itu seperti pada kali yang pertama. Hari ketiga, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengucapkan hal yang sama, dan muncul lagi lelaki itu seperti keadaannya yang pertama.

Tatkala Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah berdiri, lelaki itu diikuti oleh Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu anhu. Kemudian Abdullah berkata, ‘Sesungguhnya aku bertengkar dengan ayahku, lalu aku bersumpah untuk tidak masuk kepadanya selama tiga (hari). Jika engkau mempersilakan aku tinggal di rumahmu hingga lewat tiga hari, akan aku lakukan.’ Lelaki itu berkata, ‘Ya’.”

Anas berkata, “Abdullah bin Amr bercerita bahwa ia menginap bersamanya tiga malam.”

Baca juga: Teman dan Pengaruhnya dalam Kehidupan Beragama Seseorang

Anas berkata lagi, “Ia tidak melihat lelaki itu shalat malam sedikit pun. Hanya saja, apabila ia terbangun dari tidurnya di malam hari dan menggerakkan (tubuhnya) di atas kasurnya, ia berzikir kepada Allah dan bertakbir, sampai ia bangun untuk shalat Subuh. Jika ia terbangun di malam hari, ia tidak berucap kecuali kebaikan.

Abdullah berkata, ‘Tatkala tiga malam itu lewat, dan aku hampir-hampir menganggap remeh amalannya, aku berkata, ‘Wahai hamba Allah, (sebenarnya) tidak ada ketegangan dan pemboikotan antara aku dan ayahku. Namun, aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berucap (tiga kali), ‘Sekarang akan muncul kepada kalian salah seorang penduduk surga.’

Lalu engkau muncul, tiga kali. Saya ingin tinggal menginap di tempatmu sehingga aku tahu apa amalanmu. Namun, aku tidak melihat engkau banyak beramal. Apa gerangan yang menyebabkan kedudukanmu sampai seperti yang disabdakan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam?’

Dia menjawab, ‘Tidak ada, kecuali yang kamu lihat.’

Abdullah berkata, ‘Aku pun meninggalkannya.’

Tatkala aku berpaling, ia memanggilku. Ia berkata, ‘Aku tidak punya amalan (yang menonjol) kecuali apa yang engkau lihat. Hanya saja, aku tidak dapatkan dalam diriku kedengkian terhadap seorang pun dari kaum muslimin. Aku tidak hasad kepadanya atas kebaikan yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepadanya.’

Abdullah berkata, ‘Inilah hal yang mengantarkanmu kepada kedudukan itu. Inilah yang tidak mampu (susah) dilaksanakan’.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 12/8-9, no. 6181, dan Ahmad dalam al-Musnad, dan dinilai sahih oleh al-Iraqi rahimahullah dalam al-Mughni ‘an Hamlil Asfar, 2/862, no. 3168)

Baca juga: Mengutamakan Orang Lain Atas Diri Sendiri

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ؟
قَالَ: كُلُّ مَخمومُ الْقلب صَدُوق اللِّسَان.
قَالُوا: صدوق اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ فَمَا مَخْمُومُ الْقَلْبِ؟
قَالَ: هُوَ النَّقِيُّ التَّقِيُّ لَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَلَا بَغْيَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah ditanya, ‘Wahai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, siapakah orang yang terbaik?’

Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab (yang artinya), ‘Orang yang memiliki hari yang makhmum dan lisan yang jujur.’

Kami berkata, ‘Kami telah tahu lisan yang jujur. Lalu apa itu hati yang makhmum?’

Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab, ‘Hati yang bertakwa lagi bersih, tiada dosa dan hasad padanya…’.” (HR. al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 6180, dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah, no. 948)

Sepuluh Sebab Terhindar dari Kejahatan Orang yang Hasad

  1. Berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari kejahatan orang yang hasad dan membentengi diri dengan-Nya.

  2. Bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Allah subhanahu wa ta’ala telah menjamin penjagaan bagi orang yang bertakwa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِن تَصۡبِرُواْ وَتَتَّقُواْ لَا يَضُرُّكُمۡ كَيۡدُهُمۡ شَيۡ‍ًٔاۗ

“Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak mendatangkan kemudaratan kepadamu.” (Ali Imran: 120)

Baca juga: Takwa & Tawakal Cara Menghadapi Makar Musuh
  1. Bersabar atas musuh.

Sebab, tidaklah seorang ditolong dari orang yang hasad dan musuhnya, sebagaimana orang yang bersabar atasnya dan bertawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

  1. Tawakal.

Irang yang bertawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala, akan dicukupi oleh-Nya. Tawakal termasuk faktor terkuat untuk menangkal gangguan dan kezaliman makhluk yang tidak mampu dihadapi.

  1. Mengosongkan hati agar tidak sibuk memikirkan orang yang hasad kepada dirinya.

Setiap kali terbetik di benak, ia menepisnya dan memikirkan sesuatu yang lebih bermanfaat. Ia melihat bahwa di antara siksaan batin yang besar adalah sibuk memikirkan musuhnya.

  1. Mengarahkan hatinya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan ikhlas kepada-Nya, serta menjadikan kecintaan kepada-Nya dan keridhaan-Nya di tempat terbetiknya pikiran.

Jadi, benaknya penuh dengan segala yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala dan zikir kepada-Nya. Orang yang seperti ini tidak akan ridha bila pikiran dan hatinya dipenuhi dengan memikirkan orang yang hasad dan zalim kepadanya, serta memikirkan untuk membalasnya.

  1. Bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari segala dosa.

Seseorang dikuasai oleh musuh karena dosanya. Tidaklah seorang hamba disakiti kecuali karena dosa, baik yang ia ketahui maupun tidak. Dosa yang tidak dia ketahui jauh lebih berlipat daripada yang ia ketahui. Dosa yang ia lupakan lebih besar daripada yang ia ingat.

Baca juga: Cara Bertobat dari Maksiat

Sungguh, tiada sesuatu pun yang lebih bermanfaat bagi hamba bila dia dizalimi dan disakiti lawannya daripada tobat yang tulus. Tanda kebahagiaannya adalah mengalihkan pikirannya untuk melihat dirinya, dosa, dan cacatnya, sehingga ia pun sibuk untuk memperbaiki diri dan bertobat.

  1. Bersedekah dan berbuat baik semampunya.

Sebab, hal itu memiliki pengaruh yang hebat dalam menangkal bencana, mata yang jahat, dan kejelekan orang yang hasad. Orang yang berbuat baik dan bersedekah kepada orang lain, hampir-hampir tidak pernah terkuasai oleh jahatnya hipnotis, hasad, dan yang menyakitkan. Jika ia terkena suatu kejahatan, ia akan diperlakukan lembut oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan akan memperoleh dukungan.

  1. Yang paling berat adalah memadamkan api orang yang hasad dan zalim serta menyakitinya, dengan berbuat baik kepadanya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا تَسۡتَوِي ٱلۡحَسَنَةُ وَلَا ٱلسَّيِّئَةُۚ ٱدۡفَعۡ بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ فَإِذَا ٱلَّذِي بَيۡنَكَ وَبَيۡنَهُۥ عَدَٰوَةٌ كَأَنَّهُۥ وَلِيٌّ حَمِيمٌ ٣٤ وَمَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ٱلَّذِينَ صَبَرُواْ وَمَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ ٣٥

“Dan tidaklah sama antara kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidaklah dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidaklah dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (Fushilat: 34—35)

Perhatikanlah keadaan Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika dipukul oleh kaumnya sampai berdarah. Beliau shallallahu alaihi wa sallam mengusap darah itu seraya mengucapkan,

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ

“Ya Allah, ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”

Baca juga: Memaafkan Kesalahan dan Mengubur Dendam

Orang yang memaafkan orang lain dan berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepadanya akan mendapatkan pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Seorang sahabat datang mengadu kepada beliau tentang karib kerabatnya. Ia berbuat baik kepada mereka, tetapi mereka berbuat jelek terhadapnya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada

وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ

“Senantiasa ada penolong dari Allah selagi kamu di atas keadaan yang seperti itu.”

Di samping itu pula, manusia akan memujinya dan bergabung bersamanya menghadapi musuhnya.

  1. Memurnikan tauhid.

Makhluk-makhluk ini ada yang menggerakkannya. Tidaklah makhluk mendapatkan manfaat dan mudarat kecuali seizin Penciptanya. Jika seseorang memurnikan tauhid, hilanglah ketakutan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala dari hatinya.

Musuhnya menjadi lebih ringan di matanya daripada ditakuti bersama Allah subhanahu wa ta’ala. Kesibukan memperhatikan musuhnya akan hilang dari hatinya. Hatinya lalu akan dipenuhi dengan cinta, takut, kembali, dan tawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Ia memandang bahwa menggunakan pikirannya untuk memikirkan musuhnya adalah bentuk lemahnya tauhid. Sebab, jika ia telah memurnikan tauhid, niscaya dalam hatinya ada kesibukan tersendiri. (Dinukil secara ringkas dari at-Tafsirul Qayyim lil Imam Ibnul Qayyim, hlm. 585—594)

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc.