Hukum Asal Segala Sesuatu Itu Suci

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslm Al-Atsari)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t berkata:

  • Setiap yang halal itu suci
  • Setiap yang najis itu haram
  • Tidaklah setiap yang haram itu najis

(Asy-Syarhul Mumti’, 1/77)

Melanjutkan pembahasan edisi terdahulu tentang najis yang sepanjang pengetahuan kami kenajisannya disepakati oleh ulama, maka dalam edisi kali ini akan dipaparkan hal-hal yang sepanjang pengetahuan kami diperselisihkan masalah kenajisannya, disertai dengan penjelasan mana yang rajih (kuat) dari perselisihan itu, apakah itu najis atau bukan najis, wallahu al-muwaffiq.

Air Liur Anjing
Terdapat riwayat dalam Ash-Shahihain dan kitab-kitab hadits selain keduanya, menyebutkan hadits Abu Hurairah z bahwasanya Nabi r bersabda:

“Apabila anjing minum dari bejana salah seorang dari kalian hendaklah ia mencuci bejana tadi sebanyak tujuh kali.” (HR. Al-Bukhari no. 172 dan Muslim no. 279)
Dalam riwayat Muslim ada tambahan:

“Cucian yang pertama dicampur dengan tanah.”
Pencucian yang disebutkan dalam hadits di atas menunjukkan najisnya air liur anjing dan pendapat inilah yang rajih (kuat) sebagaimana dipegangi Abu Hanifah, Ats-Tsauri, satu riwayat dari Ahmad, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan yang lainnya. Pendapat ini dikuatkan pula oleh Asy-Syaukani di dalam kitab-kitabnya.
Sebagaimana yang kami sebutkan di atas bahwa di dalam permasalahan najis yang kami bahas di sini ada perselisihan, maka demikian juga masalah air liur anjing ini. Di sana ada pula pendapat yang lain. Sebagian ahlul ilmi berpendapat bahwa seluruh tubuh anjing itu najis. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dengan berdalil hadits yang telah disebutkan di atas. Mereka mengatakan: “Karena air liur itu keluar dari mulut anjing (yang dia itu najis) maka seluruh tubuhnya lebih utama lagi untuk dihukumi kenajisannya.”
Dan yang lainnya mengatakan air liur anjing bukan najis, adapun perintah mencucinya adalah sekedar perkara ta‘abbudiyah (ibadah) bukan karena kenajisannya. Ini merupakan pendapat yang dipegangi Al-Imam Malik t dan yang lainnya.

Mani
Ada dua pendapat dalam masalah mani ini. Pendapat pertama mengatakan najis sedang pendapat kedua mengatakan yang sebaliknya, mani itu suci. Yang kuat dalam hal ini adalah pendapat yang mengatakan sucinya mani dan ini dipegangi oleh Al-Imam Ahmad, Asy-Syafi‘i dan selain keduanya. Dan pendapat inilah yang rajih. Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Kebanyakan ulama berpendapat mani itu suci.” (Syarah Shahih Muslim juz 3, hal. 198)
Mereka berdalil dengan hadits ‘Aisyah x yang hanya mengerik bekas mani yang telah mengering pada pakaian Rasulullah r tanpa mencucinya (sebagaimana diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 288, 290), walaupun didapatkan pula riwayat ‘Aisyah x mencuci bekas mani yang menempel pada pakaian beliau r (sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 229, 230, 231, 232 dan Muslim no. 289).
Namun kedua riwayat ini tidak saling bertentangan (riwayat mengerik atau mencuci). Hal ini dikatakan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani t: “Hadits yang menunjukkan dicucinya bekas mani yang menempel pada pakaian dan hadits yang menunjukkan dikeriknya mani tersebut tidaklah saling bertentangan karena bisa dikumpulkan antara keduanya dengan jelas bagi yang berpendapat sucinya mani. Hadits tentang mencuci dibawa kepada hukum istihbab (disenanginya mencuci bekas mani yang menempel pada pakaian) dalam rangka kebersihan bukan karena kewajiban. Ini merupakan cara yang ditempuh Al-Imam Asy-Syafi’i, Ahmad dan ashabul hadits.” (Fathul Bari juz 1 hal. 415)
Al-Imam An-Nawawi t: “Seandainya mani itu najis niscaya tidak cukup menghilangkannya dengan sekedar mengerik.” (Syarah Shahih Muslim juz 3, hal. 198)

Darah
Yang kita maksudkan dalam pembahasan ini adalah selain darah haid dan nifas yang disepakati kenajisannya sebagaimana telah kami paparkan dalam pembahasaan terdahulu. Memang dalam perkara ini juga terdapat perselisihan namun yang rajih/ kuat bahwa darah itu suci.
Ada baiknya kita menengok pembahasan yang dipaparkan Asy-Syaikh Al-Albani t: “(Mereka yang berpendapat najisnya darah) juga menyelisihi hadits Al-Anshari (seorang shahabat dari kalangan Anshar) yang dipanah oleh seorang musyrik ketika ia sedang shalat malam. Maka ia mencabut anak panah yang menancap di tubuhnya. Lalu ia dipanah lagi dengan tiga anak panah, namun ia tetap melanjutkan shalatnya dalam keadaan darah terus mengucur dari tubuhnya, sebagaimana yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari secara mu’allaq (terputus sanadnya dari Al-Imam Al-Bukhari sampai kepada perawi hadits) dan secara maushul (bersambung sanadnya) oleh Al-Imam Ahmad dan selainnya, dishahihkan dalam Shahih Sunan Abi Dawud (no. 193). Hadits ini dihukumi marfu’ (sampai kepada Rasulullah r) karena mustahil beliau r tidak memperhatikan hal ini.
Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya beliau r akan menerangkannya. Karena tidak boleh menunda keterangan pada saat diperlukan sebagaimana hal ini diketahui dari kaidah ilmu ushul. Kalau dianggap Nabi r tidak mengetahui perbuatan shahabatnya tersebut maka tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi yang tersembunyi dari Allah I. Seandainya darah tersebut najis atau membatalkan wudhu niscaya Allah I akan mewahyukan kepada Nabi-Nya sebagaimana hal ini jelas dan tidak tersembunyi bagi seorang pun. Pendapat ini dipegangi Al-Imam Al-Bukhari sebagaimana paparan beliau terhadap sebagian atsar yang mu’allaq, yang diperjelas oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari dan ini merupakan pendapat Ibnu Hazm.”
Kemudian beliau berkata: “Adapun pembahasan masalah ini dari sisi fiqih, bisa ditinjau sebagai berikut:
Pertama: Menyamakan darah haid dengan darah yang lainnya seperti darah manusia dan darah hewan yang dimakan dagingnya adalah kesalahan yang jelas sekali dari dua sisi:
1.     Tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, sementara hukum asal darah terlepas dari anggapan najis kecuali ada dalil.
2.     Penyamaan seperti itu menyelisihi keterangan yang datang di dalam As-Sunnah. Adapun darah seorang muslim secara khusus ditunjukkan dalam hadits Al-Anshari yang berlumuran darah ketika shalat dan ia tetap melanjutkan shalatnya. Sedangkan darah hewan ditunjukkan dalam riwayat yang shahih dari Ibnu Mas‘ud z, dia pernah menyembelih seekor unta hingga ia terkena darah unta tersebut berikut kotorannya, lalu diserukan iqamah maka ia pun pergi menunaikan shalat dan tidak berwudhu lagi. (HR. Abdurrazzaq dalam Al- Mushannaf 1/125, Ibnu Abi Syaibah 1/392, Ath-Thabrani dalam Al-Mu‘jamul Kabir 9/284 dengan sanad yang shahih darinya. Dan diriwayatkan juga oleh Al-Baghawi dalam Al Ja‘diyaat 2/887/2503).
‘Uqbah meriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy‘ari z: “Aku tidak peduli seandainya aku menyembelih seekor unta hingga aku berlumuran dengan kotoran dan darahnya, lalu aku shalat tanpa aku menyentuh air.” Dan sanad atsar dari Abu Musa ini dha’if (lemah).
Kemudian beliau melanjutkan:
Kedua: Membedakan antara darah yang sedikit dengan darah yang banyak (dalam hal najis atau tidaknya), walaupun pendapat ini telah didahului oleh para imam, maka tidak ada dalil yang menunjukkannya bahkan hadits Al-Anshari membatalkan pendapat ini. (Lihat Tamamul Minnah hal. 51-52)

Orang Kafir
Ibnu Hazm dan orang-orang dari kalangan ahlu dzahir berpegang dengan apa yang dipahami dari hadits Rasulullah r:

“Sesungguhnya orang Islam itu tidak najis.” (HR. Al-Bukhari no. 283 dan Muslim no.371)
untuk menyatakan bahwa orang kafir itu najis tubuhnya. Dan mereka perkuat pendapat ini dengan firman Allah I:

“Hanyalah orang-orang musyrik itu najis.” (At-Taubah: 28)
Namun jumhur ulama membantah pendapat ini dengan menyatakan bahwa yang dimaksud oleh hadits Nabi r adalah seorang muslim itu suci anggota tubuhnya karena ia terbiasa menjauhkan dirinya dari najis, adapun orang musyrik tidak menjaga diri dari najis. Sedang yang dimaksud dengan ayat di atas adalah orang musyrik itu najis dalam hal keyakinannya dan dalam kekotorannya.
Juga dengan dalil bahwasanya Allah I dalam Al-Qur’an membolehkan kaum muslimin menikahi wanita ahlul kitab sementara seorang suami yang menyetubuhi istrinya tentunya tidak bisa lepas dari bersentuhan dengan keringat istrinya. Bersamaan dengan itu tidak diwajibkan atas si suami untuk bersuci karena bersentuhan dengan istrinya, namun mandinya wajib karena jima’. Juga Rasulullah r pernah berwudhu dari tempat air minum wanita musyrikah dan diikatnya Tsumamah bin Atsal di masjid ketika masih musyrik, dan lain sebagainya. (Fathul Bari 1/487, Nailul Authar 1/45, Sailul Jarar 1/38,39, Asy-Syarhul Mumti‘ 1/383)
Dan pendapat jumhur inilah yang rajih.

Khamr
Khamr adalah segala sesuatu yang memabukkan baik terbuat dari anggur, kurma, gandum, atau yang selainnya. Khamr ini haram hukumnya sebagaimana ditunjukkan dalam Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma‘ (kesepakatan) kaum muslimin. Lalu apakah khamr ini najis?
Jumhur ulama berpandangan bahwa khamr ini najis, berdalilkan ayat Allah I:

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah rijs termasuk perbuatan setan….” (Al-Maidah: 90)
Mereka memaknakan rijs di sini dengan najis. Namun yang benar dari pendapat yang ada, khamr bukanlah najis dan ini merupakan pendapat Rabi‘ah Ar-Ra’yi, Al-Laits, Al-Muzani, Asy-Syaukani, Asy-Syaikh Albani, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan selainnya.
Adapun yang dimakud dengan ayat Allah I dalam surat Al-Maidah di atas, kata Al-Imam Asy-Syaukani t: “Tatkala khamr di sini digandengkan penyebutannya dengan  dan , maka kata yang menyertai ini memalingkan makna rijs (dalam ayat) kepada selain najis yang syar’i.” (Ad-Darari, hal. 20)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t juga menerangkan tentang makna ayat dalam Surat Al-Maidah ini bahwa yang dimaksud najis di sini adalah najis ma’nawi (secara makna) bukan najis hissiyah (indrawi) dari dua sisi:
1. Khamr disertakan dengan  ,,  dan najis di sini secara maknawi.
2. Sesungguhnya rijs di sini dikaitkan dengan firman-Nya: , sehingga maknanya rijs amali (perbuatannya) bukan rijs ‘aini (bendanya yang najis) yang dengannya semua perkara ini dihukumi najis.

Muntah Manusia
Yang rajih muntah manusia itu tidak najis karena tidak ada dalil yang menyatakan kenajisannya. Adapun pendapat yang mengatakan muntah itu najis telah dibantah oleh Al-Imam Asy-Syaukani t dalam kitabnya Sailul Jaraar (1/43). Beliau menyatakan: “Aku telah menyebutkan padamu di awal Kitab Thaharah bahwa segala sesuatu itu hukum asalnya adalah suci dan tidak bisa berpindah dari hukum asalnya ini kecuali dalil yang memindahkannya benar (shahih) dan pantas untuk dijadikan argumen lebih kuat ataupun seimbang. Bila kita dapatkan dalil tersebut maka tentunya baik sekali, namun kalau kita tidak mendapatkannya wajib bagi kita untuk tawaqquf (berdiam diri) di tempat yang kita dilarang untuk berbicara tentangnya. Kemudian kita katakan kepada orang yang menganggap muntah itu najis bahwasanya dengan anggapannya ini berarti:
q Allah I telah mewajibkan kepada hamba-Nya suatu kewajiban.
q Muntah yang dikatakan najis itu harus dicuci
q Tercegah keabsahan shalat dengan adanya muntah itu. Sehingga kita meminta kepadanya untuk mendatangkan dalil akan hal ini.
Kalau orang ini membawakan dalil dengan hadits ‘Ammar z:

“Engkau hanyalah mencuci pakaianmu apabila terkena kencing, tahi, muntah, darah, dan mani.”
Maka kami jawab bahwa hadits ini tidak kokoh dari sisi shahihnya, ataupun dari sisi hasannya bahkan tidak pula sampai kepada derajat yang paling rendah untuk bisa dijadikan dalil dan diamalkan. Lalu bagaimana mungkin hukum ini bisa ditetapkan oleh hadits Ammar z ini, sementara hadits tersebut tidak pantas untuk dijadikan penetapan terhadap hukum yang paling rendah sekalipun atas satu individu pun dari hamba-hamba Allah I.
Kalau orang ini berkata  lagi: “Terdapat hadits bahwasanya muntah itu membatalkan wudhu.”1
Maka kami jawab: “Apakah di sana ada keterangan bahwasanya tidaklah membatalkan wudhu kecuali perkara yang najis?”
Kalau kamu katakan iya, maka kamu tidak akan mendapatkan jalan untuk mengatakan demikian (bahwa muntah itu najis).
Kalau kamu mengatakan bahwa sebagian ahlul furu‘ (ahli fiqih) telah berkata bahwasanya muntah itu satu cabang dari kenajisan. Maka kami jawab: apakah ucapan sebagian orang itu merupakan dalil yang bisa menguatkan pendapatnya terhadap seseorang?
Kalau kamu katakan iya, berarti sungguh kamu telah mengucapkan perkataan yang tidak diucapkan oleh seorang pun dari kaum muslimin. Kalau kamu katakan tidak, maka kami nyatakan: kenapa kamu berdalil dengan perkara yang tidak digunakan oleh seseorang untuk berdalil terhadap orang lain?
Wallahu a’lam.

Catatam Kaki:

1 Hadits yang dimaksud di sini adalah hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1221). Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram berkata: Hadits ini didha’ifkan Al-Imam Ahmad dan selainnya.
Al-Imam Ash-Shan‘ani berkata: “Menyatakan hadits ini marfu‘ (terangkat) sampai kepada Nabi r adalah salah, yang benar  hadits ini mursal (terputus sanadnya), sebagaimana kata Al-Imam Ahmad dan Al-Baihaqi.”