Pertanyaan:
Bolehkah membongkar kuburan muslimin atau kuburan orang-orang kafir?
Fatwa Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah
Dalam hal ini tentu ada perbedaan antara kuburan orang-orang Islam dan kuburan orang-orang kafir. Hukum membongkar kuburan muslimin tidak diperbolehkan kecuali setelah lumat dan menjadi hancur. Sebab, membongkar kuburan tersebut menyebabkan koyak/pecahnya jasad mayit dan tulangnya. Sementara itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan,
كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا
“Mematahkan tulang mayit seperti mematahkannya ketika hidup.”[1]
Jadi, seorang mukmin tetap terhormat setelah kematiannya, sebagaimana ia terhormat ketika hidupnya. Terhormat di sini tentunya dalam batasan-batasan syariat.
Baca juga: Menjaga Kesucian Darah Harta dan Kehormatan Sesama Muslim
Adapun tentang membongkar kuburan orang-orang kafir, mereka tidak memiliki kehormatan semacam ini sehingga diperbolehkan membongkarnya.
Ini berdasarkan riwayat dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim bahwa ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam berhijrah dari Makkah ke Madinah, awal mula yang beliau lakukan adalah membangun Masjid Nabawi yang ada sekarang ini. Dahulu di sana ada kebun milik anak yatim dari kalangan Anshar. Di dalamnya terdapat kuburan orang-orang musyrik.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka,
ثَامِنُونِي حَائِطَكُمْ
“Hargailah kebun kalian untukku.” Maksudnya, juallah kebun kalian untukku.
Mereka menjawab, “Itu adalah untuk Allah dan Rasul-Nya. Kami tidak menginginkan hasil penjualan darinya.”
Baca juga: Hijrah ke Madinah (bagian 2)
Karena di situ terdapat reruntuhan dan kuburan musyrikin, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun memerintahkan agar kuburan musyrikin tersebut dibereskan. Lalu kuburan itu (dibongkar) dan diratakan. Beliau memerintahkan agar reruntuhan itu dibereskan untuk selanjutnya diruntuhkan. Lalu beliau mendirikan Masjid Nabawi di atas tanah kebun tersebut.
Jadi, membongkar kuburan itu ada dua macam: untuk kuburan muslimin hukumnya tidak boleh, sementara kuburan orang-orang kafir hukumnya diperbolehkan.
Saya telah isyaratkan dalam jawaban ini bahwa hal itu tidak boleh hingga mayat tersebut menjadi tulang belulang yang hancur, menjadi tanah. Kapan ini? Ini dibedakan berdasarkan perbedaan kondisi tanah. Ada tanah padang pasir yang kering, mayat tetap utuh di dalamnya—masya Allah—sampai sekian tahun. Ada pula tanah lembab yang di sana jasad cepat hancur. Jadi, tidak mungkin meletakkan patokan dengan jumlah tahun tertentu untuk mengetahui hancurnya jasad.
Jadi, sebagaimana diistilahkan, “Orang Makkah lebih mengerti tentang lembah-lembahnya di sana.” Orang-orang yang mengubur di tanah tersebut (lebih) mengetahui perkiraan rentang waktu yang dengannya jasad-jasad mayat itu hancur. (Fatawa Syaikh al-Albani hlm. 53)
Fatwa al-Lajnah ad-Daimah
Pada asalnya tidak boleh membongkar kuburan dan mengeluarkan mayit darinya. Sebab, apabila mayit telah diletakkan dalam kuburnya, artinya dia telah menempati tempat singgahnya serta mendahului yang lain ke tempat tersebut. Jadi, tanah kubur tersebut adalah wakaf untuknya. Tidak boleh seorang pun mengusiknya atau mencampuri urusan tanah tersebut.
Baca juga: Hukum Menyalati Jenazah di Kuburan
Selain itu, membongkar kuburan akan menyebabkan patahnya tulang belulang mayit atau menghinakannya. Telah disebutkan larangan tentang hal itu pada jawaban pertanyaan pertama.
Diperbolehkan membongkar kuburan dan mengeluarkan mayit darinya hanyalah dalam keadaan mendesak dan menuntut untuk dilakukan, atau ada maslahat islami yang kuat yang ditetapkan oleh para ulama.
Allah sajalah yang memberikan taufik. Semoga shalawat dan salam-Nya tercurah atas Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, keluarganya, dan para sahabatnya.
(Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Syaikh Abdullah Ghudayyan, dan Syaikh Abdullah bin Qu’ud; Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 9/122)
Catatan Kaki
[1] Sahih, HR. Ahmad (6/58, 105, 168, 200, 364), Abu Dawud (no. 3207), Ibnu Majah (no. 1616), dan yang lain. Hadits ini dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani. Lihat Irwa’ul Ghalil no. 763 dan Ahkamul Janaiz, hlm. 233.