Ilmu Syariat, Kewajiban yang Terlupakan

(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc)

Menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap muslim. Namun ilmu yang dimaksud bukan seperti yang kebanyakan dipahami selama ini.

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” Hadits ini sudah sangat sering disebut, baik dalam khutbah-khutbah, majelis-majelis taklim, maupun dalam pelajaran agama Islam di sekolah. Namun sayangnya, hadits ini masih dipahami dengan sangat global. Walhasil, banyak yang mencukupkan kewajiban itu dengan menimba ilmu-ilmu umum seperti matematika, fisika, kimia, biologi, akuntansi, psikologi, dan lain sebagainya.

Definisi Ilmu
Secara etimologis, ilmu adalah mengetahui sesuatu sesuai kenyataannya dengan pengetahuan yang mantap (lihat Kitabul Ilmi, Ibnu ‘Utsaimin dan Hasyiyah Tsalatsatul Ushul, An-Najdi, hal. 6)
Sedang ilmu dalam terminologi syariat adalah apa yang Allah I turunkan kepada Rasul-Nya berupa keterangan-keterangan dan petunjuk (Kitabul Ilmi, hal. 11) atau mengetahui Al-Qur‘an dan As-Sunnah, serta ucapan para shahabat yang menafsirkan keduanya dan mengamalkannya dengan diiringi rasa takut kepada Allah I. (Al-Haqiqatusy Syar’iyyah, hal.  119)

Keutamaan Ilmu Syariat
Ilmu syariat memiliki keutamaan yang banyak di antaranya:
1.    Ilmu adalah warisan para Nabi sebagaimana terdapat dalam hadits:

“…Para ulama adalah pewaris para Nabi dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham akan tetapi mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya berarti ia telah mengambil bagian yang cukup.” (Shahih, HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6297)
2.    Allah I mengangkat derajat orang-orang yang berilmu dalam firman-Nya:

“…Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (Al Mujadalah: 11).
Dalam ayat lain:

“…Kami akan mengangkat derajat siapa yang kami kehendaki…” (Yusuf: 76).
Al-Imam Malik berkata: “Dengan ilmu.” (Madarikun Nazhar, hal. 36)
3.    Ilmu akan dimanfaatkan oleh pemiliknya meski telah mati, seperti disebutkan dalam hadits:

“Jika seorang manusia meninggal maka amalannya terputus kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang berdoa untuknya.” (Shahih, HR. Muslim dari Abu Hurairah z)
4.    Ilmu merupakan tanda keinginan baik dari Allah I kepada orang tersebut. Dalam hadits disebutkan:

“…Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah akan pahamkan dia dalam agama.” (Shahih, HR Ahmad dan Ibnu Majah dari Mu’awiyah z, lihat Shahih Al-Jami’, no. 6612)
5.    Ilmu akan memudahkan jalan menuju jannah (surga). Dalam hadits disebutkan:

“Barangsiapa yang menelusuri jalan yang ia cari ilmu padanya, maka Allah akan memudahkannya jalan menuju jannah.” (Shahih, HR Muslim)
6.    Orang yang benar-benar takut kepada Allah I adalah orang-orang yang berilmu. Allah I berfirman yang artinya:

“Sesungguhnya hanyalah yang takut kepada Allah adalah ulama.” (Fathir: 28)
Dan masih banyak lagi keutamaan ilmu, apa yang tersebut adalah sebagian kecil dari keutamaan ilmu.

Hukum Menuntut Ilmu
Nabi r bersabda:

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (Shahih, HR Al-Baihaqi dan lainnya dari Anas dan lainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani, lihat Shahihul Jami’ no. 3913)
Ishaq bin Rahwiyah berkata: “Maknanya yaitu wajib menuntut ilmu pada apa yang dibutuhkan: tentang wudhunya, shalatnya, zakatnya jika dia punya harta, begitu pula haji dan yang lainnya”. (Jami’ Bayanil Ilmi,  1/52)
Kewajiban menuntut ilmu bisa menjadi wajib kifayah jika ada sekelompok orang yang telah mempelajarinya, dan kewajiban itu gugur bagi yang lainnya. Namun bisa juga wajib ‘ain yakni setiap orang dari kaum muslimin harus mempelajarinya, sebagaimana diterangkan Ibnu Abdil Bar: “Ulama telah ber-ijma’ bahwa di antara ilmu itu ada yang fardhu ‘ain, wajib atas setiap orang pada dirinya. Dan ada yang fardhu kifayah, jika telah ada yang melakukannya maka gugur kewajiban itu bagi yang lain di daerah itu.” (Jami Bayanil Ilmi, 1/56-57)
Untuk mengetahui mana yang wajib ‘ain dan mana yang wajib kifayah, maka perlu melihat penjelasan para ulama berikut ini:
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan: “Menuntut ilmu syariat adalah fardhu kifayah jika sebagian orang dalam jumlah cukup telah melakukannya. Maka bagi yang lain hukumnya sunnah… Dan bisa jadi fardhu ‘ain atas seseorang… Patokannya adalah ketika pengetahuan tentang seluk beluk ibadah atau muamalah yang akan segera dilakukan itu tergantung padanya (maka itu fardhu ‘ain untuk dipelajari, red).” (Lihat Kitabul Ilmi, hal.  21-22)
Menurut Al-Imam Ahmad t, ilmu yang wajib (‘ain, red.) untuk dituntut adalah yang akan menegakkan agama seseorang, dan tidak boleh ia menyepelekannya. Beliau lalu ditanya: “Seluruh ilmu itu akan menegakkan agama?” Beliau menjawab: “Yakni kewajiban yang wajib atas dirinya maka wajib ia menuntutnya.” Beliau ditanya: “Seperti apa?” Jawabnya: “Yaitu yang ia tidak boleh bodoh dalam urusan shalatnya, puasanya dan sejenisnya.” (Hasyiyah Ushul Ats-Tsalatsah hal. 10 dan Adab Syar’iyyah, 2/35)
Asy-Syaikh Abdurrahman An-Najdi t mengomentari ucapan Al-Imam Ahmad tersebut, katanya: “Berarti yang wajib atas manusia untuk mengamalkannya adalah dasar-dasar iman, syariat -syariat Islam, perkara yang wajib ditinggalkan berupa hal-hal yang haram, lalu muamalat yang dibutuhkan dan yang lainnya. Sesuatu yang wajib itu tidak sempurna kecuali dengannya, maka hal itu wajib atasnya untuk dipelajari.” (Hasyiyah Ushul Ats-Tsalatsah, hal. 10)
Adapun yang fardhu kifayah, para ulama juga telah menjelaskannya, sebagaimana telah diterangkan Asy-Syaikh Abdurrahman An-Najdi. Katanya: “Lain halnya dengan sesuatu yang lebih dari itu (yakni yang fardhu ‘ain) maka itu termasuk fardhu kifayah jika orang dalam jumlah memadai telah mempelajarinya. Maka dosa (tidak mempelajarinya) gugur bagi yang lain.” (Hasyiyah Ushul Ats-Tsalatsah hal. 10)
Namun demikian, ada hal-hal yang menjadikan menuntut ilmu itu semakin ditekankan. Dijelaskan oleh Ibnu ‘Utsaimin t: “Kemudian, di sana ada tiga hal yang dengannya tuntutan menuntut ilmu semakin kuat atas manusia:
1.    Adanya bid’ah yang muncul. Hasan bin Tsawab berkata: Ahmad bin Hanbal mengatakan kepadaku: “Aku tak tahu sebuah zaman yang manusia lebih membutuhkan mencari hadits daripada zaman ini.” Maka saya katakan: “Mengapa?” Katanya: “Karena telah muncul bid’ah, sehingga orang yang tidak punya hadits akan terjatuh padanya.” (Adab Syar’iyyah 2/38, red)
2.    Adanya orang-orang yang berani berfatwa tanpa ilmu.
3.    Banyak orang yang berdebat pada masalah yang bisa jadi sudah jelas permasalahannya menurut para ulama, tapi masih ada saja yang berdebat tentangnya dan tanpa ilmu. (Lihat Kitabul Ilmi, hal. 21-22)

Comments are closed.