Istigfar yang Paling Bagus

Pertanyaan:

Manakah yang lebih utama? Lafaz astaghfirullahal ‘adzim, astaghfirullah, atau astagfirullah wa atubu ilaih?

Jawaban:

Istigfar dalam zikir setelah shalat fardu cukup dengan lafaz astaghfirullah.

Disebutkan dalam sebagian riwayat hadits dari sahabat Tsauban radhiallahu anhu,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا

“Apabila Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selesai dari shalatnya, beliau beristigfar tiga kali.”

Seorang perawi bertanya kepada Imam al-Auza’i bagaimana cara beristigfarnya. Beliau menjawab, “Bacalah, ‘astaghfirullah, astaghfirullah.” (HR. Muslim, no. 591)

Baca juga: Zikir Setelah Shalat Fardhu

Namun, jika yang dimaksud ialah beristigfar secara umum dalam rangka mengamalkan perintah Allah subhanahu wa ta’ala,

وَأَنِ ٱسۡتَغۡفِرُواْ رَبَّكُمۡ ثُمَّ تُوبُوٓاْ إِلَيۡهِ

“Dan hendaklah kamu beristigfar (minta ampun) kepada Rabb-mu dan bertobat kepada-Nya.” (Hud: 3)

Demikian juga sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي اليَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً

“Demi Allah, sesungguhnya aku beristigfar dan bertobat kepada Allah dalam satu hari lebih dari tujuh puluh kali.” (HR. al-Bukhari, dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Baca juga: Adakah Shalat Hajat dan Shalat Tobat?

يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللهِ، فَإِنِّي أَتُوبُ فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ

 “Wahai manusia, bertobatlah dan beristigfarlah kepada Allah, karena sesungguhnya aku bertobat setiap hari seratus kali.” (HR. Muslim, no. 2702, dari sahabat al-Aghar bin Yasar al-Muzani radhiallahu anhu)

Wallahu a’lam, yang lebih sesuai dengan ayat dan hadits tersebut adalah astaghfirullah wa atubu ilahi.

Baca juga: Doa Memohon Ampunan dan Rahmat Sebelum Salam

Ketahuilah bahwa dalam bacaan istigfar ada yang disebut sebagai sayyidul istigfar (yang paling mulia/bagus).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Sayyidul istigfar adalah engkau membaca,

اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لاَ إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي، فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ

ALLAAHUMMA ANTA RABBII LAA ILAAHA ILLAA ANTA, KHALAQTANII WA ANA ‘ABDUKA, WA ANA ‘ALAA ‘AHDIKA WA WA’DIKA MASTATHA’TU, A’UDZUBIKA MIN SYARRI MA SHANA’TU, ABUU`U LAKA BINI’MATIKA ‘ALAYYA, WA ABUU`U LAKA BIDZANBII, FAGHFIRLII, FAINNAHUU LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA.”

Beliau bersabda,

وَمَنْ قَالَهَا مِنَ النَّهَارِ مُوقِنًا بِهَا، فَمَاتَ مِنْ يَوْمِهِ قَبْلَ أَنْ يُمْسِيَ، فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الجَنَّةِ، وَمَنْ قَالَهَا مِنَ اللَّيْلِ وَهُوَ مُوقِنٌ بِهَا، فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ، فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الجَنَّةِ

“Barang siapa membacanya di waktu siang dengan meyakininya, kemudian dia mati pada hari tersebut sebelum petang (malam), niscaya dia termasuk penduduk surga. Barang siapa membacanya di waktu malam dengan meyakininya, kemudian dia mati sebelum subuh, niscaya dia termasuk penduduk surga. (HR. al-Bukhari, no. 1747, dari sahabat Syaddad bin Aus radhiallahu anhu)

Wallahu a’lam bish-shawab.

(Ustadz Abu Ishaq Abdullah Nahar)