Nasrani (Kristen) adalah salah satu agama kafir yang mengajarkan berbagai kekafiran, kesyirikan, dan kemungkaran. Agama itu dinisbatkan kepada Nabi Isa al-Masih ‘alaihissalam yang mereka sebut “Yesus Kristus”.
Namun, Nabi Isa bin Maryam al-Masih ‘alaihissalam berlepas diri dari ajaran tersebut. Allah ‘azza wa jalla memberitakan,
وَإِذۡ قَالَ ٱللَّهُ يَٰعِيسَى ٱبۡنَ مَرۡيَمَ ءَأَنتَ قُلۡتَ لِلنَّاسِ ٱتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَٰهَيۡنِ مِن دُونِ ٱللَّهِۖ قَالَ سُبۡحَٰنَكَ مَا يَكُونُ لِيٓ أَنۡ أَقُولَ مَا لَيۡسَ لِي بِحَقٍّۚ إِن كُنتُ قُلۡتُهُۥ فَقَدۡ عَلِمۡتَهُۥۚ تَعۡلَمُ مَا فِي نَفۡسِي وَلَآ أَعۡلَمُ مَا فِي نَفۡسِكَۚ إِنَّكَ أَنتَ عَلَّٰمُ ٱلۡغُيُوبِ ١١٦ مَا قُلۡتُ لَهُمۡ إِلَّا مَآ أَمَرۡتَنِي بِهِۦٓ أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمۡۚ وَكُنتُ عَلَيۡهِمۡ شَهِيدٗا مَّا دُمۡتُ فِيهِمۡۖ فَلَمَّا تَوَفَّيۡتَنِي كُنتَ أَنتَ ٱلرَّقِيبَ عَلَيۡهِمۡۚ وَأَنتَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ شَهِيدٌ ١١٧
Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, “Wahai Isa putra Maryam, apakah kamu mengatakan kepada manusia, ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?”
Isa menjawab, “Mahasuci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku, yaitu, ‘Sembahlah Allah, Rabbku dan Rabbmu,’ dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (al-Maidah: 116-117)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan di dalam tafsirnya bahwa ayat di atas adalah sebagian pembicaraan/dialog antara Allah ‘azza wa jalla dan hamba serta rasul-Nya, Isa bin Maryam ‘alaihissalam. Allah ‘azza wa jalla akan bertanya kepada Isa ‘alaihissalam di hadapan seluruh orang Nasrani yang menjadikan dia ‘alaihissalam dan ibunya sebagai dua sembahan yang mereka sembah selain Allah ‘azza wa jalla.
“Wahai Isa bin Maryam, apakah Engkau berkata kepada umat manusia, ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua sembahan (yang kalian sembah) selain Allah ‘azza wa jalla?”
Isa ‘alaihissalam menjawab, “Mahasuci Engkau ya Allah, apabila aku telah mengucapkannya, maka sungguh pasti Engkau mengetahuinya, karena tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi-Mu.”
Di antara kemungkaran terbesar yang diajarkan oleh para pendeta/pastur adalah:
- Allah ‘azza wa jalla adalah al-Masih bin Maryam ‘alaihissalam Firman-Nya,
لَّقَدۡ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡمَسِيحُ ٱبۡنُ مَرۡيَمَۚ
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah ialah al-Masih putra Maryam.” (al-Maidah: 17)
- Trinitas
لَّقَدۡ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ ثَالِثُ ثَلَٰثَةٖۘ وَمَا مِنۡ إِلَٰهٍ إِلَّآ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞۚ وَإِن لَّمۡ يَنتَهُواْ عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ ٧٣
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, “Allah adalah salah satu dari yang tiga,” padahal sekali-kali tidak ada Rabb (yang berhak disembah) selain Rabb Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. (al-Maidah: 73)
- Al-Masih Isa bin Maryam ‘alaihissalam adalah anak Allah ‘azza wa jalla
وَقَالَتِ ٱلۡيَهُودُ عُزَيۡرٌ ٱبۡنُ ٱللَّهِ وَقَالَتِ ٱلنَّصَٰرَى ٱلۡمَسِيحُ ٱبۡنُ ٱللَّهِۖ ذَٰلِكَ قَوۡلُهُم بِأَفۡوَٰهِهِمۡۖ يُضَٰهُِٔونَ قَوۡلَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِن قَبۡلُۚ قَٰتَلَهُمُ ٱللَّهُۖ أَنَّىٰ يُؤۡفَكُونَ ٣٠
Orang-orang Yahudi berkata, “Uzair itu putra Allah,” dan orang Nasrani berkata, “Al-Masih itu putra Allah.” Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling? (at-Taubah: 30)
Segala puji syukur bagi Allah ‘azza wa jalla yang telah membantah ucapan batil mereka tersebut di dalam kitab-Nya. Allah ‘azza wa jalla membantah mereka dalam ayat lain,
وَقَالُواْ ٱتَّخَذَ ٱلرَّحۡمَٰنُ وَلَدٗا ٨٨ لَّقَدۡ جِئۡتُمۡ شَيًۡٔا إِدّٗا ٨٩ تَكَادُ ٱلسَّمَٰوَٰتُ يَتَفَطَّرۡنَ مِنۡهُ وَتَنشَقُّ ٱلۡأَرۡضُ وَتَخِرُّ ٱلۡجِبَالُ هَدًّا ٩٠ أَن دَعَوۡاْ لِلرَّحۡمَٰنِ وَلَدٗا ٩١ وَمَا يَنۢبَغِي لِلرَّحۡمَٰنِ أَن يَتَّخِذَ وَلَدًا ٩٢ إِن كُلُّ مَن فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ إِلَّآ ءَاتِي ٱلرَّحۡمَٰنِ عَبۡدٗا ٩٣ لَّقَدۡ أَحۡصَىٰهُمۡ وَعَدَّهُمۡ عَدّٗا ٩٤ وَكُلُّهُمۡ ءَاتِيهِ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ فَرۡدًا ٩٥
Dan mereka berkata, “Rabb Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Rabb Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Rabb Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiaptiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri. (Maryam: 88—95)
Jika membaca dan memahami surat al-Ikhlas, kita dapati bahwa seluruh ayat yang ada di dalam surat itu membantah orang-orang Nasrani secara khusus.
Mengingkari Kemungkaran
Islam datang membawa syariat yang mulia dan sempurna. Di antara buktinya adalah disyariatkannya amar ma’ruf nahi mungkar yang akan menjaga kemuliaan dan kesempurnaan syariat Islam, sekaligus menjaga keselamatan agama dan kebahagiaan kaum muslimin sepanjang masa.
Allah ‘azza wa jalla menggambarkan kehidupan para hamba-Nya yang beriman dengan gambaran yang mulia dengan sebab tegaknya amar ma’ruf nahi mungkar dalam lingkungan mereka,
وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ سَيَرۡحَمُهُمُ ٱللَّهُۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٞ ٧١
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (at-Taubah: 71)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat permisalan dengan sabdanya,
مَثَلُ الْقَائِم عَلَى حُدُودِ اللهِ وَالْمُدْهِنِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فِي الْبَحْرِ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا يَصْعَدُونَ فَيَسْتَقُونَ الْمَاءَ فَيَصُبُّونَ عَلَى الَّذِينَ فِي أَعْلَاهَا فَقَالَ الَّذِينَ فِي أَعْلَاهَا: لَا نَدَعُكُمْ تَصْعَدُونَ فَتُؤْذُونَنَا. فَقَالَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا: فَإِنَّا نَنْقُبُهَا مِنْ أَسْفَلِهَا فَنَسْتَقِي. فَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ فَمَنَعُوهُمْ نَجَوْا جَمِيعًا وَإِنْ تَرَكُوهُمْ غَرِقُوا جَمِيعًا
Permisalan orang yang menegakkan hukum-hukum Allah ‘azza wa jalla dan orang yang melanggarnya seperti suatu kaum yang berbagi tempat duduk di atas sebuah kapal. Sebagian mereka berada di bagian atas dan yang lain di bawah. Tatkala orang yang berada di bawah meminta air minum, yang di atas mengatakan, “Kami tidak akan membiarkan kalian naik lantas mengganggu kami.”
Akhirnya orang-orang yang di bawah berkata, “Kalau kita lubangi sebagian dinding kapal ini (agar mereka mendapatkan air), tentu kita tidak akan mengganggu orang yang ada di atas kita.”
Apabila orang yang berada di atas membiarkan apa yang mereka lakukan, semuanya akan binasa. Namun, jika orang yang di atas melarang perbuatan ceroboh mereka (orang yang berada di bawah), semuanya akan selamat. (HR. at-Tirmidzi)
Amar ma’ruf nahi mungkar adalah ciri khas umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang istiqamah di atas jalan beliau. Allah ‘azza wa jalla memberitakan,
كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ وَلَوۡ ءَامَنَ أَهۡلُ ٱلۡكِتَٰبِ لَكَانَ خَيۡرٗا لَّهُمۚ مِّنۡهُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَأَكۡثَرُهُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ١١٠
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah hal itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Ali ‘Imran: 110)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan ayat tersebut dalam tafsir beliau. Kata beliau, ayat ini memuji kaum muslimin sekaligus memberitakan bahwa umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik umat yang Allah ‘azza wa jalla ciptakan untuk kebaikan umat manusia.
Hal itu terwujud karena mereka menyempurnakan iman mereka yang berkonsekuensi untuk menegakkan segala sesuatu yang Allah ‘azza wa jalla perintahkan kepada mereka dan menyempurnakan orang lain dengan cara melakukan amar ma’ruf nahi mungkar.
Amar ma’ruf nahi mungkar mengandung ajakan kepada mereka untuk beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla semata dan memerangi mereka di atas prinsip itu, mencurahkan seluruh kemampuannya untuk membantah penyimpangan dan kesesatan mereka, sekaligus menjaga agama mereka darinya.
Dengan hal inilah mereka menjadi umat yang terbaik untuk kebaikan seluruh umat manusia.
Ketika Amar Ma’ruf Nahi Mungkar Tidak Ditegakkan
Setelah kita memahami kemuliaan dan keutamaan amar ma’ruf nahi mungkar, termasuk yang semakin menguatkan dan menegaskan hal ini adalah penjelasan Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang akibat tidak ditegakkannya amar ma’ruf nahi mungkar.
Allah ‘azza wa jalla menjelaskan sebab ahlul kitab mendapatkan laknat,
لُعِنَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۢ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُۥدَ وَعِيسَى ٱبۡنِ مَرۡيَمَۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَواْ وَّكَانُواْ يَعۡتَدُونَ ٧٨ كَانُواْ لَا يَتَنَاهَوۡنَ عَن مُّنكَرٖ فَعَلُوهُۚ لَبِئۡسَ مَا كَانُواْ يَفۡعَلُونَ ٧٩
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Dawud dan Isa putra Maryam. Hal itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (al-Maidah: 78—79)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam tafsirnya, dalam ayat ini Allah ‘azza wa jalla mengabarkan bahwa Dia ‘azza wa jalla melaknati orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil untuk masa yang lama dalam kitab yang Dia ‘azza wa jalla turunkan kepada Nabi Dawud ‘alaihissalam dan Isa bin Maryam ‘alaihissalam. Hal itu disebabkan kedurhakaan mereka terhadap Allah ‘azza wa jalla dan perbuatan mereka yang melampaui batas terhadap para hamba-Nya. Jika salah seorang di antara mereka melakukan perbuatan dosa atau larangan, tidak ada seorang pun di antara mereka yang melarangnya. Allah ‘azza wa jalla mencela mereka karena hal tersebut agar para hamba-Nya takut melakukan perbuatan yang sama. Alangkah buruknya perbuatan yang mereka lakukan.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Pelajaran yang diambil dari ayat ini adalah bahwa ada sekelompok orang di antara Bani Israil yang tidak mau mencegah (kemungkaran). Mereka tidak menegakkan kewajiban yang Allah ‘azza wa jalla wajibkan kepada mereka, yaitu mengingkari kemungkaran. Mereka pun menjadi golongan yang dilaknat oleh Allah ‘azza wa jalla. Terdapat dalil dalam Kitabullah yang menunjukkan wajibnya melarang kemungkaran. Tidak mengingkari kemungkaran adalah sebab datangnya laknat Allah ‘azza wa jalla.” (Syarh Riyadh as-Shalihin, 1/473)
Kaidah Menegakkan Nahi Mungkar
Sebagaimana telah dimaklumi bahwa tidak ada kemungkaran yang lebih besar dibandingkan dengan syirik/kekafiran. Allah ‘azza wa jalla sangat murka terhadap perbuatan yang sangat hina ini dengan mengancam bahwa pelakunya diharamkan masuk surga. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
إِنَّهُۥ مَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُۖ وَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِنۡ أَنصَارٖ ٧٢
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (al-Maidah: 72)
Asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Sungguh, barang siapa mempersekutukan Allah ‘azza wa jalla dengan makhluk-Nya, baik Isa ‘alaihissalam maupun lainnya, Allah ‘azza wa jalla benar-benar mengharamkan surga baginya. Tempat tinggalnya di akhirat adalah neraka. Sebab, dia telah menyejajarkan/menyerupakan makhluk dengan al-Khaliq/Pencipta. Dia telah memalingkan hak Allah ‘azza wa jalla, yaitu ibadah, kepada selain-Nya ‘azza wa jalla sehingga berhak kekal dalam neraka.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ١٠٤
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran: 104)
Termasuk golongan yang melakukan perbuatan syirik dan kufur adalah orang Nasrani sebagaimana penjelasan di atas. Kewajiban kaum muslimin adalah mengingkari dan melarangnya karena Allah ‘azza wa jalla. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barang siapa melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Apabila tidak mampu, dengan lisannya. Apabila tidak mampu, dengan hatinya; dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Namun, karena nahi mungkar termasuk ibadah yang mulia, tentu harus dibangun atas dua prinsip, yaitu ikhlas karena Allah ‘azza wa jalla dan sesuai dengan tuntunan syariat yang sempurna.
Adapun hal pokok yang dibutuhkan dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar adalah:
- Ikhlas karena Allah ‘azza wa jalla
Amalan ini adalah ibadah yang agung sehingga diharuskan ikhlas karena Allah ‘azza wa jalla, bukan karena harta, tahta, popularitas, atau lainnya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ ٥
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah: 5)
- Orang yang akan menegakkan adalah orang yang berilmu tentang amar ma’ruf nahi mungkar.
Orang yang tidak berilmu tentang hal ma’ruf tidak boleh memerintahkannya. Sebab, bisa jadi dia memerintahkan sesuatu berdasar persangkaan bahwa itu adalah hal yang ma’ruf, padahal itu kemungkaran, tanpa dia sadari. Selain itu, berilmu itu sendiri adalah hal ma’ruf yang disyariatkan oleh Allah ‘azza wa jalla.
Seseorang seharusnya juga memiliki pengetahuan tentang kemungkaran. Maknanya, dia adalah orang berilmu tentang urusan mungkar yang akan dia ingkari. Jika dia bukan orang yang berilmu, dia tidak boleh melarangnya. Bisa jadi, dia melarang dari sesuatu yang dia anggap mungkar, padahal hakikatnya adalah ma’ruf. Akibatnya, suatu perbuatan yang ma’ruf ditinggalkan karena larangannya. Atau bisa jadi, dia melarang sesuatu padahal hakikatnya mubah (boleh) sehingga menyempitkan umat karena larangannya.
Oleh karena itu, dia harus berilmu tentang kemungkaran yang akan dia larang. Seringkali kita saksikan kebanyakan saudara kita yang mengandalkan semangat amar ma’ruf nahi mungkar tergesa-gesa. Mereka melarang hal yang mubah karena menganggapnya sebagai kemungkaran. Akibatnya, muncul keraguan dan kesusahan bagi kaum muslimin.
- Memastikan pelaku kemungkaran.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Engkau harus yakin bahwa orang ini telah meninggalkan perkara ma’ruf atau melakukan kemungkaran. Jangan mengambil keputusan berdasarkan tuduhan atau kecurigaan. Sebab, Allah ‘azza wa jalla berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ وَ لَا تَجَسَّسُواْ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” (al-Hujurat: 12)
- Lemah lembut ketika melakukannya
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Orang yang menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar melakukannya dengan lemah lembut. Sebab, dia adalah orang yang Allah ‘azza wa jalla akan karuniai kebaikan yang tidak diberikan kepada orang yang kaku/keras.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ يُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ
‘Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla akan mengaruniai (seorang hamba) yang melakukan atas dasar kelemahlembutan (berbagai kebaikan) yang tidak Allah ‘azza wa jalla karuniakan kepada orang yang keras/kaku.’
Jika seseorang keras/kaku terhadap orang yang dinasihati, bisa jadi dia tidak mau menerima nasihatnya. Penentangan justru akan menyeretnya untuk berbuat dosa dan tidak patuh terhadap si penasihat. Akan tetapi, jika seseorang datang kepada yang dinasihati dengan cara terbagus, insya Allah, dia akan mengambil manfaat.” (Syarh Riyadh ash-Shalihin, 1/469)
- Tidak boleh mengingkari kemungkaran yang justru akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar
Jika sebuah kemungkaran yang kita larang akan sirna, namun menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, hendaknya kita menahan diri dan tidak menyampaikan larangan guna mencegah kemungkaran yang lebih besar. Sebab, jika kita dihadapkan pada dua kemungkaran, yang satu lebih besar dan satunya lagi kecil, hendaknya kita mencegah yang lebih besar terlebih dahulu.
Tentang hal ini, dikisahkan bahwa Syaikhul Islam rahimahullah melewati sekelompok tentara Tartar di Syam. Beliau bersama muridnya mendapati mereka sedang minum khamr. Syaikhul Islam kemudian melewati mereka tanpa melarangnya. Muridnya bertanya, “Mengapa engkau tidak melarang mereka?”
Beliau rahimahullah menjawab, “Jika kita melarang mereka, mereka akan merampas kehormatan kaum muslimin dan harta bendanya. Kemungkaran tersebut lebih besar daripada kemungkaran minum khamr.”
Mereka dibiarkan karena dikhawatirkan akan melakukan perbuatan yang lebih mungkar. Dalam hal ini, tidak diragukan lagi tentang kefakihan beliau rahimahullah. (Syarh Riyadh ash-Shalihin, 1/470)
Dengan kaidah ini, inkarul mungkar yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dengan cara merusak dan membakar gereja serta menganiaya bahkan membunuh tokoh Nasrani, akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar. Karena itu, hal tersebut tidak boleh dilakukan.
Di samping itu, ada beberapa sisi kerusakan lain yang ditimbulkan oleh tindak anarkis tersebut.
- Sebagian kaum muslimin dibenturkan dengan aparat pemerintah atau bahkan aparat bersenjata, sehingga dikhawatirkan jatuh korban jiwa dari kaum muslimin, baik dari pihak masyarakat maupun aparat.
- Citra Islam menjadi buruk berdasarkan pemberitaan media massa di tengah-tengah kaum muslimin sendiri Akan muncul citra Islam itu kejam, anarkis, sadis, radikal, dan lainnya. Ini adalah kerugian yang sangat besar, yang tanpa disadari justru akan membantu kaum muslimin secara umum untuk bersimpati terhadap Nasrani.
- Posisi pemerintah semakin lemah di hadapan dunia internasional. Semoga Allah ‘azza wa jalla senantiasa melindungi dan memberi hidayah taufik kepada mereka.
Dengan dalih toleransi antarumat beragama, kebebasan beragama, dan HAM, pemerintah kita semakin ditekan ketika ada tindakan-tindakan anarkis.
- Timbulnya perselisihan di antara kaum muslimin sendiri
Berbagai syubhat (kerancuan berpikir) yang disebarkan oleh tokoh JIL, Muhammadiyyah, dan NU dalam hal toleransi beragama atau persatuan agama samawi.
Aksi kekerasan yang dilakukan oleh sebagian kelompok kaum muslimin kemungkinan besar justru akan memunculkan perselisihan di antara kaum muslimin sendiri. Terlebih lagi ada sebagian pihak yang terang-terangan membantu mengamankan gereja pada hari Natal.
Upaya yang Mesti Dilakukan
Upaya yang seharusnya dilakukan oleh kaum muslimin untuk menghadapi kristenisasi dan pembangunan gereja secara khusus, ialah sebagai berikut.
- Semangat untuk menegakkan dakwah yang mengajak masyarakat kepada tauhid dan sunnah dengan cara yang sesuai dengan tuntunan agama. Di antaranya dalam bentuk khutbah di masjid, menulis, dan menyebarkan artikel islami.
- Menanamkan prinsip agama, khususnya prinsip al-wala’ wa al-bara’ (loyalitas dan kecintaan terhadap muslim serta berlepas diri, membenci, dan memusuhi orang kafir berikut syiar mereka) di lembaga pendidikan, tarbiyah, maupun dakwah.
- Membantah dan menerangkan berbagai kesesatan yang ada di tengah masyarakat, khususnya yang disebarkan oleh para pengusung pemahaman liberal atau orang yang menempuh pendidikan di negeri kafir dengan pemikiran Yahudi atau Nasrani.
- Menjelaskan dan mendakwahkan prinsip agama Islam yang benar kepada aparat pemerintah dan aparat keamanan. Semoga Allah ‘azza wa jalla memberikan petunjuk kepada kita dan mereka semua.
- Menyampaikan nasihat dengan baik kepada pemerintah tentang bahaya kristenisasi dan pembangunan gereja, baik madarat di dunia maupun akhirat, dan berkoordinasi dengan mereka.
Terakhir, mudah-mudahan Allah ‘azza wa jalla melimpahkan hidayah taufik kepada kita dan pemerintah, serta memberi mereka perangkat yang bisa membantu menegakkan amanat yang mereka pikul dalam urusan masyarakatnya, demi kebaikan dunia dan agama.
Hanya Allah ‘azza wa jalla semata yang berkuasa untuk melakukan semua itu. Amin.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan