Pertanyaan:
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ: مَاضِيَةٍ وَمُسْتَقْبَلَةٍ، وَصَوْمُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ يُكَفِّرُ سَنَةً مَاضِيَةً
“Puasa hari Arafah akan menghapus dosa dua tahun, setahun sebelumnya dan setahun setelahnya. Adapun puasa hari Asyura akan menghapus dosa tahun sebelumnya.” (HR. al-Bukhari)
Apabila tanggal 9 Dzulhijjah berbeda dengan di Indonesia, misalnya, bagaimana yang harus kita laksanakan terkait dengan puasa Arafah?
Jawaban:
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjawab sebagai berikut.
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama, apakah munculnya hilal dianggap serempak di seluruh dunia atau berbeda-beda karena adanya perbedaan matlak?
Yang benar adalah berbeda-beda sesuai dengan perbedaan matlak.
Contohnya, apabila hilal sudah terlihat di Makkah, misalnya, sekarang hari tanggal sembilan (hari Arafah). Sementara itu, hilal di negara lain terlihat sehari sebelum terlihat di Makkah. Jadi, ketika hari Arafah di Makkah, mereka (di negara lain) sudah tanggal sepuluh. Mereka (yang di negara lain itu) tidak boleh berpuasa pada hari itu karena hari itu adalah hari id (bagi mereka).
Demikian juga sebaliknya, ketika rukyat hilal mereka tertinggal (satu hari) dari rukyat di Makkah. Artinya, ketika tanggal sembilan di Makkah, mereka baru masuk tanggal delapan. (Dalam keadaan ini) mereka berpuasa Arafah pada tanggal sembilan di negara mereka, yang bertepatan dengan tanggal sepuluh di Makkah.
Baca juga: Hukum Puasa Arafah pada Hari Jumat
Ini menurut pendapat yang rajih (kuat). Sebab, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا
“Apabila kalian melihatnya (hilal), berpuasalah. Apabila kalian melihatnya, berbukalah (masuk Idul Fitri).”
Mereka yang hilalnya tidak terlihat dari arah mereka, berarti mereka belum melihatnya. Hal ini sebagaimana telah disepakati, terbit fajar dan terbenam matahari menyesuaikan dengan daerah masing-masing. Demikian pula penetapan waktu bulanan, ia seperti penetapan waktu harian.
(Sumber: Majmu’ Fatawa wa Rasaail Ibni Utsaimin)
Hal ini juga sesuai dengan prinsip yang diajarkan oleh ulama salaf, Ahlus Sunnah wal Jamaah, yaitu beribadah bersama pemerintah negaranya.
Imam Ibnu Baththah al-Ukbari berkata,
“Para ulama ahli fikih, ilmu, ahli ibadah, dan orang-orang zuhud sejak generasi pertama umat ini hingga masa kita ini telah bersepakat bahwa shalat Jumat, Idul Fitri, dan Idul Adha, hari-hari Mina dan Arafah, jihad, haji, serta penyembelihan kurban dilakukan bersama penguasa, yang baik ataupun yang jahat.” (al-Ibanah, hlm. 276—281, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah hlm. 16)
Wallahu a’lam bish-shawab.