Pertanyaan:
Jika seorang laki-laki menikah, apakah dia masih mengutamakan orang tuanya sendiri ataukah istrinya? Maksudnya dalam hal nafkah.
Jawaban:
Kewajiban menafkahi kedua orang tua yang fakir (butuh dinafkahi) tidak terputus dengan pernikahan sang anak (yang menafkahi). Sebab, hal itu termasuk kewajiban berbuat ihsan kepada keduanya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًاۚ
“Dan hendaknya kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (al-Isra: 23)
وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗاۖ
“Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (Luqman: 15)
Baca juga: Kewajiban Berbakti kepada Orang Tua
Namun, kewajiban tersebut mungkin tidak ditanggung sendiri manakala seseorang memiliki saudara yang mampu. Jadi, kewajiban memberi nafkah tersebut ditanggung bersama sesuai dengan kesanggupan masing-masing.
Adapun menafkahi istri merupakan kewajiban suami secara pribadi. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Hak mereka (para istri) yang wajib kalian tunaikan adalah memberi mereka makan-minum dan pakaian dengan cara yang patut.” (HR. Muslim no. 1218 dari sahabat Jabir radhiallahu anhu)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ
“Mulailah dari menafkahi dirimu sendiri. Kemudian, apabila ada sisa, untuk keluargamu (istrimu). Kemudian, apabila masih ada sisa dari apa yang dinafkahkan untuk keluargamu (istrimu), untuk kerabatmu.” (HR. Muslim no. 997)
Baca juga: Hak Istri dalam Islam
Bahkan, istri berhak mengambil harta suaminya tanpa sepengetahuan suami jika haknya belum terpenuhi.
Sahabat Hindun radhiallahu anha pernah bertanya,
يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِي مَا يَكْفِيْنِي وَوَلَدِي إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ. فَقَالَ: خُذِي مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang kikir. Dia tidak memberikan nafkah yang cukup bagiku dan anakku, kecuali apa yang aku ambil tanpa sepengetahuannya.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun bersabda, “Ambillah apa yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang patut.” (HR. al-Bukhari no. 2211 dan Muslim no. 1414)
Demikian juga halnya dengan kedua orang tua. Pada kondisi tertentu, mereka boleh mengambil sebagian harta anaknya. Sampai-sampai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ، وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
“Sesungguhnya, sebaik-baik yang dimakan seseorang adalah dari hasil usahanya. Dan anak termasuk hasil usahanya.” (HR. at-Tirmidzi no. 1358 dan Abu Dawud no. 3528 dari sahabat Aisyah radhiallahu anha; Syaikh al-Albani rahimahullah menilai hadits ini sahih dalam kitab Shahih Sunan an-Nasai no. 4144)
Baca juga: Mendidik Anak dan Pemuda
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,
أَنْتَ وَمَالُكَ لِوَالِدِكَ، إِنَّ أَوْلَادَكُمْ مِنْ أَطْيَبِ كَسْبِكُمْ، فَكُلُوا مِنْ كَسْبِ أَوْلَادِكُمْ
“Kamu dan hartamu adalah milik orang tuamu. Sesungguhnya, anak-anak kalian adalah hasil usaha kalian, maka makanlah dari penghasilan anak-anak kalian.” (HR. Abu Dawud no 3530 dari sahabat Amr bin al-Ash radhiallahu anhu; Syaikh al-Albani rahimahullah menilai hadits ini sahih dalam kitab Irwa al-Ghalil no. 838)
Maka dari itu, menurut kami, tidak ada urgensinya mempertanyakan mana yang lebih diutamakan untuk dinafkahi antara orang tua dan istri. Keduanya berhak menerima nafkah.
Mungkin hal ini terjadi ketika seseorang mengalami kondisi krisis yang berat sehingga dia tidak punya pilihan lain kecuali harus mengutamakan salah satu dari keduanya. Dalam keadaan seperti ini, ambillah pelajaran dari kisah tiga orang dari Bani Israil yang terperangkap dalam gua. Ketiganya selamat setelah berdoa dan bertawasul kepada Allah dengan amalan mereka yang paling ikhlas. Salah seorang dari mereka berkata,
اللَّهُمَّ إِنَّهُ كَانَ لِي وَالِدَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ وَامْرَأَتِي وَلِي صِبْيَةٌ صِغَارٌ أَرْعَى عَلَيْهِمْ فَإِذَا أَرَحْتُ عَلَيْهِمْ حَلَبْتُ فَبَدَأْتُ بِوَالِدَيَّ فَسَقَيْتُهُمَا قَبْلَ بَنِيَّ،
“Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai dua ibu bapak yang sudah tua renta, seorang istri, dan anak-anak yang masih kecil. Aku menggembalakan ternak untuk mereka. Kalau aku membawa ternak itu pulang ke kandangnya, aku perahkan susu dan aku mulai dengan kedua ibu bapakku, lantas aku beri minum mereka sebelum anak-anakku.
Baca juga: Kisah Orang-Orang yang Terkurung di Dalam Gua
وَأَنَّهُ نَأَى بِي ذَاتَ يَوْمٍ الشَّجَرُ فَلَمْ آتِ حَتَّى أَمْسَيْتُ فَوَجَدْتُهُمَا قَدْ نَامَا فَحَلَبْتُ كَمَا كُنْتُ أَحْلُبُ فَجِئْتُ بِالْحِلاَبِ فَقُمْتُ عِنْدَ رُءُوسِهِمَا أَكْرَهُ أَنْ أُوقِظَهُمَا مِنْ نَوْمِهِمَا وَأَكْرَهُ أَنْ أَسْقِيَ الصِّبْيَةَ قَبْلَهُمَا
Suatu hari, ternak itu membawaku jauh mencari tempat gembalaan. Akhirnya, aku tidak pulang kecuali setelah sore. Aku dapati ibu bapakku telah tertidur. Lalu aku memerah susu sebagaimana biasa, lalu aku datang membawa susu tersebut dan berdiri di dekat kepala mereka, dalam keadaan tidak suka membangunkan mereka dari tidur. Aku pun tidak suka memberi minum anak-anakku sebelum mereka meminumnya.
وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَ عِنْدَ قَدَمَيَّ، فَلَمْ يَزَلْ ذَلِكَ دَأْبِي وَدَأْبَهُمْ حَتَّى طَلَعَ الْفَجْرُ، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّي فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ لَنَا مِنْهَا فُرْجَةً نَرَى مِنْهَا السَّمَاءَ.
Anak-anakku sendiri menangis di bawah kakiku meminta minum karena lapar. Seperti itulah keadaanku dan mereka, hingga terbit fajar. Kalau Engkau tahu, aku melakukan hal itu karena mengharapkan wajah-Mu, bukakanlah satu celah untuk kami dari batu ini agar kami melihat langit.”
فَفَرَجَ اللهُ مِنْهَا فُرْجَةً فَرَأَوْا مِنْهَا السَّمَاءَ
Lalu Allah bukakan satu celah hingga mereka pun melihat langit. (HR. al-Bukhari no. 2333 dan Muslim no. 2743 dari sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma)
Semoga hadits ini bisa menjadi tolok ukur apabila kondisinya menuntut demikian.
Wallahu a’lam bish-shawab.