Menjaga Kesucian Fitrah Manusia

Akhir perjalanan hidup manusia tidak ada yang bisa mengetahuinya meski saat dilahirkan diciptakan dalam keadaan memiliki fitrah yang sama. Berbagai faktor bisa menjadi penyebab seseorang keluar dari fitrahnya yang suci. Perubahan itu bisa terjadi secara perlahan-lahan bisa pula secara cepat. Salah satu faktor yang kini makin banyak membawa manusia tergelincir ke lembah kehancuran adalah harta. Untuk urusan satu ini, mayoritas manusia kini telah “menunjukkan” watak asli mereka: tidak akan pernah puas, berapa pun harta yang telah dimiliki. Sehingga untuk menghentikan nafsu mereka ini, hanya kematian yang bisa melakukannya.

Setiap orang diberi fitrah oleh Allah subhanahu wa ta’ala berupa kesucian (jiwa yang lurus). Ia akan mengawali kehidupannya dengan fitrah suci ini. Setelah itu bisa terjadi perubahan yang sangat cepat dan drastis tanpa bisa diduga arahnya. Para penyeru kerusakan fitrah ini jumlahnya sangat banyak sehingga jangan heran bila orang yang keluar dari jalur kesucian jiwa ini lebih banyak daripada yang istiqamah.

tunas-tanaman-muda

Lingkungan, teman, keluarga, masyarakat, dan pendidikan memiliki andil besar dalam hal ini. Media massa juga tidak kalah hebat memberikan andil terjadinya kerusakan tersebut. Keinginan untuk mengubah diri (menjadi baik) telah hilang dari kebanyakan orang, sementara bola api yang ditendang oleh para penyeru kerusakan itu membakar di sana sini. Bila terkena percikannya akan menjadi abu yang siap ditiup angin, sementara hampir tidak ada orang yang tampil membantu dan membela karena orang yang ingin menolong pun tidak lepas pula dari mangsa bola api tersebut. Di saat kritis seperti inilah setiap insan sangat butuh kepada wahyu yang akan menyirami, menyejukkan dan memelihara dirinya. Setelah itu akan sangat jelas lagi siapa yang akan selamat di atas wahyu tersebut dan yang akan binasa selama-lamanya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لِّيَهۡلِكَ مَنۡ هَلَكَ عَنۢ بَيِّنَةٖ وَيَحۡيَىٰ مَنۡ حَيَّ عَنۢ بَيِّنَةٖۗ

“Agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata pula.” (Al-Anfal: 42)

Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah mengatakan (dalam menafsirkan ayat di atas), “(Yaitu) agar menjadi hujah dan penjelas bagi setiap penentang saat dia memilih jalan kekafiran daripada ilmu, sehingga ia tidak lagi memiliki alasan (tidak bisa berkilah) di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala dan (sebaliknya) akan terus menambah ilmu bagi orang-orang yang beriman. Karena Allah subhanahu wa ta’ala telah memperlihatkan di hadapan kedua kelompok tersebut segala yang menjadi bukti yang benar dan nyata. Semua ini menjadi peringatan bagi orang yang berakal.” (Tafsir as-Sa’di, 283)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

أَوَ مَن كَانَ مَيۡتٗا فَأَحۡيَيۡنَٰهُ وَجَعَلۡنَا لَهُۥ نُورٗا يَمۡشِي بِهِۦ فِي ٱلنَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُۥ فِي ٱلظُّلُمَٰتِ لَيۡسَ بِخَارِجٖ مِّنۡهَاۚ

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang yang dengan cahaya itu, dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar darinya?” (Al-An’am: 122)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala menghimpun (memberi) bagi orang tersebut cahaya dan kehidupan sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala menghimpun bagi orang yang berpaling dari Kitab-Nya antara kematian dan kegelapan.

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, ‘Seluruh ahli tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah seseorang yang kafir kepada Allah subhanahu wa ta’ala lalu Dia memberikan kepadanya hidayah.” (Tafsir al-Qayyim, 290)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسۡتَجِيبُواْ لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمۡ لِمَا يُحۡيِيكُمۡۖ

“Hai orang-orang yang beriman penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian.” (Al-Anfal: 24)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kehidupan yang bermanfaat akan terwujud apabila kita memenuhi seruan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Barang siapa tidak memenuhinya, dia tidak mendapatkan kehidupan. Dan jika dia memiliki kehidupan yang selalu melampiaskan hawa nafsu maka kehidupannya sama dengan kehidupan binatang yang paling rendah. Maka kehidupan yang hakiki adalah kehidupan dalam memenuhi panggilan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, baik lahiriah maupun batiniah. Mereka hidup walaupun jasad mereka telah mati dan selain mereka (orang-orang yang tidak memenuhi seruan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya) mati walaupun jasad mereka hidup.” (Tafsir al-Qayyimah, 288)

Dengan kejelasan hujah Allah subhanahu wa ta’ala ini, masih saja ada manusia yang berusaha mengelak bila hujah itu mengenai dirinya, pemikiran, keyakinan, amalannya dan sebagainya. Muncullah orang-orang yang fobi terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia bagaikan mendengar suara halilintar yang akan menyambar dan memecah gendang telinga.

Namun, ada orang yang menjadikan ayat-ayat yang didengar dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dibacakan bagaikan siraman kesejukan atas kegersangan hidupnya. Dia bisa mengambil manfaat untuk keselamatan diri dan menjadikannya sebagai tameng dari murka Allah subhanahu wa ta’ala. Di sinilah terlihat betapa mahalnya hidayah dan Mahabijaksana Allah subhanahu wa ta’ala di dalam ketentuan-Nya.

Oleh karena itu manusia di hadapan wahyu tidak terlepas dari dua keadaan yang telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabda beliau,

وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ

“Dan al-Qur’an akan menjadi hujah bagimu atau menjadi penggugat atas dirimu.” (HR. Muslim dari Abu Malik al-Harits bin ‘Ashim al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu)

 

Tiga Penyeru Pada Diri Setiap Insan

Bila setiap orang sadar dan introspeksi, ia akan menemukan ada penyeru di dalam dirinya yang akan mengajak kepada ridha Allah subhanahu wa ta’ala ataupun kepada murka Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, setiap jiwa jangan sekali-kali suka mengambinghitamkan orang lain dan hendaklah dia mengarahkan cercaan itu kepada diri sendiri. Ada tiga penyeru yang masing-masing memiliki kekuatan besar pada diri setiap orang dan ketiga kekuatan akan saling menjatuhkan satu sama lain bila salah satunya mendapatkan peluang dan kesempatan yang lebih banyak.

Tiga-3

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya pada setiap jiwa ada tiga seruan dan pendorong yang saling menarik. Satu seruan mengajak dirinya untuk berhias dengan sifat-sifat setan seperti sifat sombong, hasad, cinta ketinggian, zalim, berbuat jahat, suka mengganggu, suka kerusakan dan penipuan. Penyeru yang mengajak untuk berakhlak seperti binatang itulah seruan syahwat. Dan seruan yang mengajak kepada akhlak para Malaikat seperti ihsan, suka menasihati, menganjurkan kepada kebajikan, ilmu dan ketaatan. Penyeru ketiga adalah kurang atau tidak adanya muru’ah (harga diri).” (Madarijus Salikin, 2/351—352)

 

Senang Kedudukan dan Berbuat Zalim Adalah Akhlak Setan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengungkap satu sifat yang tersembunyi pada diri anak Adam di mana sifat ini sangat berbahaya yaitu sifat tamak dan rakus. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jika anak Adam memiliki satu lembah emas, dia akan mencari agar menjadi dua lembah; dan tidak ada yang akan menutup mulutnya melainkan tanah. Dan Allah menerima taubat orang yang bertaubat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim no. 1049)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata bahwa al-Karmani berkata, “Yang dimaksud hadits ini bukan hanya satu anggota badan saja (yakni mulut) karena tanah tidak hanya menutupi mulut saja namun (bagian tubuh) yang lain pun bisa tertutupi. Hadits ini merupakan kinayah tentang kematian yang akan menutupi seluruh jasad, seakan-akan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Tidak akan merasa puas dari dunia sampai dia mati.” (Fathul Bari, 11/287)

Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata bahwa ath-Thibi berkata, “Makna hadits ini adalah bahwa anak Adam diberi tabiat cinta kepada harta benda dan tidak merasa puas untuk mengumpulkannya kecuali orang-orang yang telah dijaga oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan diberi taufiq untuk menghilangkan tabiat ini dan sedikit sekali dari mereka yang mendapatkan taufik.” (Fathul Bari, 11/288)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Makna hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anha adalah bahwa bani Adam tidak akan merasa puas dari harta benda. Jika dia memiliki satu lembah dia akan berusaha untuk menjadi dua lembah dan tidak ada yang akan menutupi mulutnya melainkan tanah bila dia telah mati dan meninggalkan dunianya. Maka di saat inilah dia menjadi percaya setelah dunia hilang darinya. Bersamaan dengan itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk bertaubat karena mayoritas orang yang rakus dunia tidak akan memelihara diri dari perkara yang Allah subhanahu wa ta’ala haramkan.” (Syarah Riyadhus Shalihin, 1/66)

Apabila seseorang tidak mendapatkan taufiq dari Allah subhanahu wa ta’ala agar terlepas dari sifat rakus, maka dia akan berusaha untuk menjadi orang nomor satu dan yang paling tinggi. Dia akan menumbangkan setiap orang yang akan menggeser kedudukannya sehingga tidak takut lagi untuk menzalimi saudara sendiri.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

تِلۡكَ ٱلدَّارُ ٱلۡأٓخِرَةُ نَجۡعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوّٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فَسَادٗاۚ

“Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan.” (Al-Qashash: 83)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Manusia itu terbagi menjadi empat macam. Pertama, orang-orang yang menginginkan ketinggian atas orang lain dan menginginkan kerusakan di muka bumi yaitu dengan bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka itu adalah tingkatan para raja dan pemimpin yang merusak. Kedua, orang-orang yang menginginkan kerusakan dan sama sekali tidak menginginkan ketinggian seperti halnya pencuri, pelaku maksiat dari kalangan orang-orang rendahan. Ketiga, orang yang menginginkan ketinggian dengan tidak menginginkan kerusakan seperti seseorang yang memiliki ilmu agama dan dia menginginkan ketinggian dari orang lain. Keempat, mereka adalah penduduk surga, yang tidak menginginkan ketinggian di muka bumi dan kerusakan akan tetapi dia lebih tinggi kedudukannya dari yang lain.” (Majmu’ Fatawa, 28/217)

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala memberitakan bahwa negeri akhirat dan kenikmatan yang abadi tidak akan berpindah apalagi hilang. Allah telah mempersiapkannya bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, merendahkan dirinya, dan tidak menginginkan sedikit pun ketinggian di muka bumi. Artinya, tidak mengangkat dan membesarkan diri di hadapan makhluk, (tidak bersikap) angkuh dan melakukan kerusakan di tengah-tengah mereka, sebagaimana ucapan ‘Ikrimah, al-’ulu artinya keangkuhan, Sa’id bin Jubair berkata al-’ulu artinya kezaliman, Sufyan ats-Tsauri mengatakan dari Manshur dari Muslim al-Bithin, al-’ulu di muka bumi artinya ‘menyombongkan diri dengan kebatilan dan kerusakan,’ yakni mengambil harta orang lain dengan cara tidak benar.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/419)

Kerusakan yang diakibatkan oleh sifat rakus adalah besar. Mari kita menyimak apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Kerusakan yang diakibatkan oleh dua ekor serigala yang lapar kemudian dilepas pada seekor kambing tidak akan lebih besar dibanding (kerusakan yang diakibatkan oleh) seseorang yang rakus terhadap kedudukan dan harta benda bagi agamanya.” (HR. at-Tirmidzi dan beliau berkata hadits ini hasan sahih)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa rakusnya seseorang terhadap harta benda dan kedudukan akan merusak agamanya dan kerusakan ini lebih dahsyat dibanding kerusakan dua serigala yang sedang lapar terhadap kambing yang menyendiri.” (Majmu’ Fatawa, 28/217)

Wallahu a’lam bish-shawab

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah

Comments are closed.