Pelipur Lara Saat Musibah dan Bencana

Yang namanya musibah tentu rasanya tidak mengenakkan. Oleh karena itu, banyak manusia merasa tidak suka bila hidupnya tiba-tiba menjadi menderita karena musibah. Kehidupan yang selama ini mapan bisa hancur tak bersisa. Tidak sedikit di antara mereka yang mengalami kesedihan berlarut-larut hingga menyebabkan stres. Bagaimana kiat menghadapi musibah secara benar dan bijak?

Dalam menapaki kehidupan dunia yang fana ini, manusia senantiasa dihadapkan pada dua keadaan, bahagia atau sengsara. Perubahan keadaan itu bisa terjadi kapan saja sesuai dengan takdir Allah subhanahu wa ta’ala. Namun, hanya orang yang beriman yang bisa lurus dalam menyikapi silih bergantinya situasi dan kondisi. Sebab, ia meyakini keagungan dan kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala serta tahu akan kelemahan dirinya.

Tidak dimungkiri, musibah dan bencana akan selalu menyisakan kesedihan dan kepedihan. Betapa tidak, sekian orang yang dicinta kini telah tiada. Harta benda musnah tak tersisa. Berbagai agenda dan acara pun harus tertunda. Bahkan, segenap pikiran tercurah untuk meratapi diri.

Kondisi yang menyayat ini terkadang menggugah orang yang dalam hatinya ada sifat rahmat dan belas kasih. Uluran tangan dan bela sungkawa pun mengalir dari berbagai arah. Intinya, meringankan penderitaan orang yang terkena bencana. Nilai kepedulian yang datang dari orang lain jelas memberi arti. Namun, yang terpenting adalah bagaimana menghibur hati orang yang menderita itu serta menumbuhkan seribu harapan untuk menatap masa depannya. Hal ini penting karena bantuan dari manusia bisa terputus, dan orang yang kemarin membantu mungkin saja kini justru perlu dibantu.

Baca juga: Membantu Kebutuhan Seorang Muslim

Ini ketika mereka membantu dengan tulus dan tidak ada tendensi lain. Bagaimana kiranya jika kebanyakan orang yang membantu punya tujuan-tujuan politis atau bahkan para misionaris yang ingin menancapkan cakarnya di tubuh orang-orang yang lemah untuk dimurtadkan?

Sudah seharusnya kita, umat Islam, menjadi orang-orang yang terdepan memberikan bantuan kepada orang-orang yang sedang ditimpa musibah, baik bantuan morel ataupun materil. Kita paparkan di hadapan umat tentang keagungan syariat ini serta keindahannya, dan bahwa Islam ini mampu menjawab problematika zaman. Kita sampaikan hiburan yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala, Rasul-Nya, serta petuah para salaf umat ini.

Hakikat Musibah

Musibah adalah perkara yang tidak disukai yang menimpa manusia. Imam al-Qurthubi berkata, “Musibah adalah segala apa yang mengganggu seorang mukmin dan yang menimpanya.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 2/175)

Macam-Macam Musibah

Sungguh, musibah beragam bentuknya. Ada yang menimpa jiwa seseorang, tubuhnya, hartanya, keluarganya, dan yang lainnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَيۡءٍ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٍ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِين

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta; jiwa; dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (al-Baqarah: 155)

Ath-Thabari berkata, “Ini adalah pemberitaan dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada para pengikut Rasul-Nya, bahwa Ia akan menguji mereka dengan perkara-perkara yang berat supaya (nyata) diketahui orang yang mengikuti rasul dan orang yang berpaling.” (Jami’ul Bayan, 2/41)

Pentingnya Istirja’ Ketika Musibah

Istirja’ adalah ucapan,

إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهَ رَاجِعُونَ

“Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali.”

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَيۡءٍ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٍ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٥٥ ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتۡهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوٓاْ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيۡهِ رَٰجِعُونَ ١٥٦ أُوْلَٰٓئِكَ عَلَيۡهِمۡ صَلَوَٰتٌ مِّن رَّبِّهِمۡ وَرَحۡمَةٌ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُهۡتَدُونَ ١٥٧

“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.’ Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (al-Baqarah: 155—157)

Baca juga: Sebab Musibah Menimpa

Ummu Salamah radhiallahu anha menyebutkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللهُ: إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيْبَتِي وَاخْلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا؛ إِلاَّ أَخْلَفَ اللهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا

“Tiada seorang muslim yang ditimpa musibah lalu ia mengatakan apa yang diperintahkan Allah (yaitu), ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, wahai Allah, berilah aku pahala pada (musibah) yang menimpaku dan berilah ganti bagiku yang lebih baik darinya,’ kecuali Allah memberikan kepadanya yang lebih baik darinya.” (HR. Muslim, no. 918)

Ummu Salamah berkata, “Tatkala Abu Salamah meninggal, aku mengucapkan istirja’ dan mengatakan, ‘Ya Allah, berilah saya pahala pada musibah yang menimpa saya dan berilah ganti bagi saya yang lebih baik darinya.’

Kemudian aku berpikir, siapa orang yang lebih baik bagiku daripada Abu Salamah? Tatkala telah selesai masa iddahku, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (datang) meminta izin untuk masuk (rumahku). Waktu itu aku sedang menyamak kulit… Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melamarku.

Tatkala Nabi shallallahu alaihi wa sallam sudah selesai dari pembicaraannya, aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, sebenarnya saya mau dilamar, tetapi saya seorang wanita yang sangat pencemburu. Saya khawatir, Anda akan melihat dari saya sesuatu yang nantinya Allah akan mengazab saya karenanya. Saya juga orang yang sudah berumur dan banyak anak.’

Baca juga: Ummu Salamah

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Adapun apa yang engkau sebutkan tentang sifat cemburu, niscaya Allah akan menghilangkannya. Apa yang engkau sebutkan tentang umur,aku juga sama (sudah berumur). Yang engkau sebutkan tentang banyaknya anak, maka anakmu adalah tanggunganku.’

Aku berkata, ‘Aku menyerahkan diriku kepada Rasulullah.’ Lalu beliau menikahiku.”

Ummu Salamah berkata setelah itu, “Allah telah menggantikan untukku yang lebih baik dari Abu Salamah, yaitu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” (HR. Ahmad)

Ini merupakan bukti dari firman Allah,

وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Dan berilah berita gembira bagi orang-orang yang sabar.” (al-Baqarah: 155)

Maksudnya, adakalanya seseorang diberi ganti oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan yang lebih baik. Seperti yang dialami Ummu Salamah ketika suaminya meninggal. Ketika Ummu Salamah mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mengucapkan apa yang beliau perintahkan dengan penuh ketaatan, Allah subhanahu wa ta’ala ganti dengan yang lebih baik darinya, yaitu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sesungguhnya kebaikan adalah apa yang dikatakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, sedangkan kesesatan serta kecelakaan ada pada penyelisihan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.

Ummu Salamah tahu bahwa segala kebaikan yang ada di alam ini—baik umum maupun khusus—datangnya dari sisi Allah dan bahwa segala kejelekan yang ada di alam ini yang khusus menimpa hamba karena menyelisihi Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Maka dari itu, ketika Ummu Salamah mengucapkan kalimat tersebut, ia mendapatkan kemuliaan mendampingi Nabi shallallahu alaihi wa sallam di dunia dan akhirat. Terkadang pula dengan kalimat istirja’ tersebut seorang hamba mendapatkan kedudukan yang tinggi dan pahala yang besar.

Baca juga: Di Antara Sebab Wabah & Musibah Adalah Dosa & Maksiat

Kalimat istirja’ ini mengandung obat/penghibur dari Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya bagi orang yang ditimpa musibah. Kalimat ini adalah sesuatu yang paling tepat dalam menghadapi musibah dan lebih bermanfaat bagi hamba untuk di dunia ini dan akhirat kelak. Di dalamnya terkandung pengakuan yang tulus bahwa hamba ini, jiwanya, keluarganya, hartanya, dan anaknya adalah milik Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan itu semua sebagai titipan yang ada pada hamba. Jika Allah mengambilnya, itu seperti seseorang yang mengambil barang yang dia pinjamkan.

Kalimat ini juga mengandung pengukuhan bahwa kembalinya hamba hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Seseorang pasti akan meninggalkan dunia ini di belakang punggungnya. Ia akan menghadap Allah subhanahu wa ta’ala pada hari kiamat sendirian, sebagaimana awal mulanya. Tiada keluarga dan harta yang bersamanya. Ia akan datang nanti dengan membawa amal kebaikan dan amal kejelekan.

Penghibur Kesedihan

  • Sebagian orang menyangka bahwa orang yang ditimpa penyakit atau semisalnya adalah orang yang dimurkai Allah subhanahu wa ta’ala.

Padahal tidak seperti itu kenyataannya. Terkadang seorang diuji dengan penyakit dan musibah, sementara ia adalah orang yang mulia di sisi-Nya, seperti para nabi, rasul, dan orang saleh. Hal ini sebagaimana yang dialami oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam ketika masih di Makkah, saat Perang Uhud, Perang Ahzab, dan ketika wafatnya.

Musibah juga menimpa Nabi Ayyub, Nabi Yunus, dan nabi yang lainnya alaihimus salam. Itu semua untuk mengangkat kedudukan mereka, memperbesar pahala mereka, dan menjadikan mereka sebagai contoh (kesabaran) bagi yang setelah mereka.

Terkadang, seseorang diuji dengan kesenangan, seperti harta yang banyak, istri, dan anak-anak. Akan tetapi, tidak sepantasnya dia dikatakan sebagai orang yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala jika dia tidak melakukan ketaatan kepada-Nya. Orang yang mendapatkan itu semua bisa jadi memang orang yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala, bisa jadi pula orang yang dimurkai-Nya. Keadaannya berbeda-beda.

Kecintaan di sisi Allah subhanahu wa ta’ala bukanlah karena kedudukan, anak, harta dan jabatan. Kecintaan di sisi-Nya diraih dengan amal saleh, takwa, dan kembali kepada Allah, serta melaksanakan hak-hak-Nya. (lihat Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Ibnu Baz, 7/150—151)

Baca juga: Mencintai Allah

Seorang mukmin hendaklah yakin bahwa apa yang ditakdirkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala niscaya akan menimpanya, tidak meleset sedikit pun. Adapun apa yang tidak ditakdirkan oleh-Nya, pasti tidak akan menimpanya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِي كِتَٰبٍ مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ ٢٢ لِّكَيۡلَا تَأۡسَوۡاْ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمۡ وَلَا تَفۡرَحُواْ بِمَآ ءَاتَىٰكُمۡۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٍ فَخُورٍ ٢٣

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (al-Hadid: 22—23)

  • Seseorang yang ditimpa musibah hendaklah melihat apa yang ada dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Dia akan mendapatkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memberikan sesuatu yang lebih besar daripada lenyapnya musibah, bagi orang yang sabar dan ridha. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجۡرَهُم بِغَيۡرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (az-Zumar: 10)

Baca juga: Meraih Pahala dengan Bersabar

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا يَزَالُ الْبَلاَءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِي جَسَدِهِ وَمَالِهِ وَوَلَدِهِ حَتَّى يَلْقَى اللهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةٌ

“Senantiasa bala (cobaan) menimpa seorang mukmin dan mukminah pada tubuhnya, harta, dan anaknya; hingga ia berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak memiliki dosa.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, dan lainnya, dan dinyatakan hasan sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, 2/565, no. 2399)

  • Orang yang ditimpa musibah hendaklah menyadari bahwa di setiap sudut kampung dan kota, bahkan di setiap rumah, ada orang yang tertimpa musibah.

Di antara mereka ada yang terkena musibah sekali, ada pula yang berkali-kali. Bahkan, musibah itu tidak terputus, sampai seluruh anggota keluarga terkena semua.

Dengan demikian, ia akan merasakan ringannya musibah karena bukan hanya dia yang terkena cobaan.
Jika melihat ke kanan, ia tidak melihat kecuali orang yang terkena musibah. Ketika melihat ke kiri, ia tidak melihat kecuali orang yang sedih. Jika dia memperhatikan alam ini, tidaklah ia melihat kecuali di tengah-tengah mereka ada yang terkena musibah, baik dengan lenyapnya sesuatu yang dicintai atau tertimpa sesuatu yang tidak mengenakkan.

Ketika itu, dia akan tahu bahwa kebahagiaan dunia hanyalah seperti mimpi dalam tidur atau bayangan yang lenyap. Jika kesenangan dunia membuat tertawa sedikit, ia akan menyebabkan tangis yang banyak. Tidaklah suatu rumah dipenuhi keceriaan kecuali suatu saat akan dipenuhi ratap tangis. Muhammad bin Sirin berkata, “Tiada suatu tawa kecuali setelahnya akan datang tangis.”

  • Seorang hamba melihat dengan mata hatinya sehingga ia tahu bahwa pahitnya kehidupan dunia itu adalah suatu hal yang manis di akhirat, sedangkan manisnya dunia merupakan perkara yang pahit di negeri akhirat.

Allah subhanahu wa ta’ala-lah yang membaliknya. Perhatikanlah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

يُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فيُصْبَغُ فِي النَّارِ صَبْغَةً ثُمَّ يُقَالُ: يَا ابْنَ آدَمَ، هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيْمٌ قَطُّ؟ فَيَقُولُ: لاَ، وَاللهِ يَا رَبِّ. وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا فِي الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيُصْبَغُ صَبْغَةً فِي الْجَنَّةِ فَيُقَالُ لَهُ: يَا ابْنَ آدَمَ، هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطُّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ؟ فَيَقُولُ: لاَ، وَاللهِ يَا رَبِّ، مَا مَرَّ بِي بُؤْسٌ وَلاَ رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ

“Di hari kiamat nanti akan didatangkan seorang penduduk dunia yang paling mendapatkan nikmat dari penghuni neraka. Lalu ia dicelupkan ke dalam neraka sekali celupan. Kemudian dia ditanya, ‘Wahai anak keturunan Adam, apakah kamu pernah melihat kebaikan? Apakah kamu pernah mendapatkan kenikmatan?’

Ia menjawab, ‘Tidak, demi Allah, wahai Rabb-ku.’

Akan didatangkan pula seorang yang paling menderita di dunia dari penduduk surga. Lalu ia dicelupkan ke dalam surga sekali celupan, kemudian ditanya, ‘Wahai anak keturunan Adam, pernahkah kamu melihat penderitaan? Pernahkah kamu merasakan kesengsaraan?’

Ia menjawab, ‘Tidak demi Allah, wahai Rabb-ku. Tidak pernah aku mengalami penderitaan dan tidak pernah melihat kesengsaraan’.” (HR. Muslim, no. 2807)

  • Orang yang ditimpa musibah hendaklah meminta pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan bertawakal kepada-Nya.

Hendaklah ia mengetahui bahwa Allah subhanahu wa ta’ala bersama orang-orang yang sabar.

  • Orang yang ditimpa musibah hendaklah memantapkan dirinya sehingga tahu bahwa musibah yang datang kepadanya itu datang dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala, sesuai dengan keputusan dan takdir-Nya.

Hendaknya dia menyadari pula bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah menakdirkan musibah kepadanya untuk membinasakan dan menyiksanya. Akan tetapi, Dia menimpakan musibah itu untuk menguji kesabaran dan keridhaannya serta pengaduannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

  • Hendaklah diketahui bahwa musibah yang paling besar adalah musibah yang menimpa agama seorang.

Misalnya, seseorang yang dahulu rajin ibadah, tetapi kini bermalas-malasan. Atau orang yang dahulunya taat, tetapi kini meninggalkannya dan suka dengan kemaksiatan. Inilah musibah yang tidak ada keberuntungannya sama sekali.

Cara Mengobati Musibah

Imam Ibnul Jauzi menyebutkan beberapa perkara untuk mengobati musibah sehingga seorang tidak berlarut-larut dalam kesedihan yang bisa membinasakan dan mengabaikan hak dan kewajiban, yaitu:

  • Mengetahui bahwa dunia adalah tempat ujian dan petaka, serta musibah suatu hal yang pasti terjadi.
  • Memperkirakan adanya orang yang ditimpa musibah lebih besar dan banyak dari musibahnya, serta melihat keadaan orang yang ditimpa musibah seperti musibahnya sehingga ia terhibur karena bukan hanya dia saja yang terkena musibah.
  • Meminta ganti yang lebih baik kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mengharap pahala dari kesabarannya.

(Diambil dari kitab Tasliyatu Ahlil Mashaib karya Imam Muhammad al-Munbajja al-Hanbali secara dengan ringkas, hlm. 13—22)

Faedah di Balik Musibah

Allah Mahabijaksana, tiada keputusan dan ketentuan-Nya yang lepas dari hikmah. Tidak terkecuali dengan perkara musibah ini. Seandainya tidak ada faedah dari musibah ini kecuali sebagai penghapus dosa, itu saja sudah mencukupi. Bagaimana kiranya jika ternyata ada setumpuk faedah yang lain? Subhanallah!

Sahabat Ibnu Mas’ud berkata,

“Aku masuk kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan beliau sedang demam. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau sangat demam.’

Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab, ‘Benar, sesungguhnya aku merasakan demam seperti demamnya dua orang di antara kalian.’

Aku berkata, ‘Yang demikian karena engkau mendapat pahala dua kali lipat.’

Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab, ‘Benar, memang seperti itu. Tiada seorang muslim pun yang ditimpa sesuatu yang mengganggu, sakit, atau selainnya kecuali Allah akan mengampuni dosanya seperti pohon yang merontokkan daunnya’.” (HR. Muslim, no. 2571, “Kitabul Birr wash Shilah”)

Baca juga: Hikmah di Balik Musibah

Berikut ini beberapa faedah dari musibah yang menimpa.

  1. Musibah yang menimpa menunjukkan kepada manusia akan kekuasaan Allah dan lemahnya hamba.

  2. Musibah menjadikan hamba menuluskan ibadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Sebab, tiada tempat untuk mengadukan petaka kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Tiada pula tempat bersandar agar petaka terangkat kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَإِذَا رَكِبُواْ فِي ٱلۡفُلۡكِ دَعَوُاْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ

“Apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (al-Ankabut: 65)

  1. Musibah menjadikan seorang kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan bersimpuh di hadapan-Nya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِذَا مَسَّ ٱلۡإِنسَٰنَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُۥ مُنِيبًا إِلَيۡهِ

“Dan apabila manusia itu ditimpa kemudaratan, dia memohon (pertolongan) kepada Rabb-nya dengan kembali kepada-Nya. (az-Zumar: 8)

  1. Musibah menjadikan seorang mempunyai sifat penyantun dan pemaaf terhadap orang yang melakukan kesalahan kepadanya.

  2. Musibah menyebabkan seorang bersabar atasnya.

Sabar akan menyebabkan datangnya kecintaan Allah subhanahu wa ta’ala serta pahala-Nya yang banyak. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 146)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ

“Tidaklah seorang diberi pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. al-Bukhari, no. 781)

  1. Bergembira dengan musibah karena besarnya faedah dari musibah ini.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمْ لَيَفْرَحُ بِالْبَلاَءِ كَمَا يَفْرَحُ أَحَدُكُمْ بِالرَّخَاءِ

“Sungguh salah seorang dari mereka (yakni orang-orang yang saleh) merasakan senang terhadap bala (musibah) seperti salah seorang dari kalian suka terhadap kemakmuran.” (Shahih Sunan Ibnu Majah, 3/318, no. 3266)

  1. Musibah akan membersihkan dosa dan kesalahan.

  2. Musibah akan menumbuhkan sifat belas kasihan pada diri seseorang terhadap yang ditimpa musibah dan membantu untuk meringankan beban mereka.

  3. Mengetahui besarnya nikmat sehat serta mensyukurinya karena nikmat tidaklah diketahui kadar besarnya kecuali setelah hilangnya.

  4. Di balik musibah ada faedah-faedah yang tersembunyi.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡ‍ًٔا وَيَجۡعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيۡرًا كَثِيرًا

“Mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (an-Nisa: 19)

Tatkala raja yang bengis hendak merampas Sarah (istri Nabi Ibrahim alaihis salam) dari Nabi Ibrahim, ternyata di balik musibah itu sang raja akhirnya memberikan seorang pembantu yang bernama Hajar kepada Sarah. Dari Hajar (istri Ibrahim alaihis salam) lahirlah Ismail. Di antara keturunan Ismail adalah penutup para nabi dan rasul, yaitu Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.

  1. Musibah dan penderitaan akan menghalangi sifat sombong, angkuh, dan kebengisan.

Kalaulah Raja Namrud yang kafir itu seorang yang fakir, sakit-sakitan, tuli, dan buta; tentulah ia tidak akan membantah Nabi Ibrahim tentang Rabb-nya. Namun, keangkuhan kekuasaan itulah yang menyebabkan Namrud menentang Ibrahim. Seandainya Fir’aun itu fakir dan sakit-sakitan, tentu ia tidak akan mengatakan, “Sayalah Rabb kalian yang paling tinggi.”

Allah berfirman,

كَلَّآ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَيَطۡغَىٰٓ ٦ أَن رَّءَاهُ ٱسۡتَغۡنَىٰٓ ٧

“Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (al-Alaq: 6—7)

Firman-Nya,

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا فِي قَرۡيَةٍ مِّن نَّذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتۡرَفُوهَآ إِنَّا بِمَآ أُرۡسِلۡتُم بِهِۦ كَٰفِرُونَ

“Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, ‘Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya’.” (Saba: 34)

Baca juga: Nikmat Berganti Petaka

Sementara itu, banyak orang fakir dan lemah menjadi wali-wali Allah subhanahu wa ta’ala dan pengikut para nabi. Karena faedah-faedah yang mulia ini, orang yang paling besar cobaannya adalah para nabi, kemudian yang semisal mereka, kemudian yang semisalnya. Mereka dituduh sebagai orang-orang gila, tukang sihir, dan sekian ejekan lainnya. Namun, mereka bersabar atas pendustaan dan gangguan orang-orang kafir tersebut.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَتُبۡلَوُنَّ فِيٓ أَمۡوَٰلِكُمۡ وَأَنفُسِكُمۡ وَلَتَسۡمَعُنَّ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلِكُمۡ وَمِنَ ٱلَّذِينَ أَشۡرَكُوٓاْ أَذًى كَثِيرًاۚ

“Kalian sungguh-sungguh akan diuji terhadap harta dan diri kalian, dan juga kalian sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah gangguan yang banyak.” (Ali Imran: 186) [Dinukil dari Tafsir al-Qasimi secara ringkas, 1/405—409]

Kewajiban Bertobat kepada Allah dan Merendahkan Diri di Hadapan-Nya ketika Datang Musibah

Allah subhanahu wa ta’ala dengan hikmah-Nya yang mendalam menguji hamba-Nya dengan kesenangan dan penderitaan untuk menguji kesabaran dan rasa syukur mereka. Barang siapa bersabar ketika mendapat musibah dan bersyukur ketika mendapat nikmat serta bersimpuh di hadapan-Nya saat mendapat cobaan, dengan mengadu kepada-Nya akan dosa dan kekurangannya serta memohon rahmat dan ampunan-Nya, sungguh ia telah beruntung dan meraih kesudahan yang baik.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَبَلَوۡنَٰهُم بِٱلۡحَسَنَٰتِ وَٱلسَّيِّ‍َٔاتِ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَۚ

“Dan Kami uji mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang jelek-jelek agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (al-A’raf: 168)

Firman-Nya,

ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Rum: 41)

Yang dimaksud dengan kebaikan di sini adalah nikmat, seperti kesuburan, kemakmuran, kesehatan, dimenangkan atas musuh, dan semisalnya. Adapun yang dimaksud dengan kejelekan adalah musibah, seperti penyakit, dikuasai oleh musuh, gempa, angin topan, banjir yang menghancurkan, dan semisalnya.

Baca juga: Hikmah Ilahi di Balik Musibah Gempa Bumi dan Tsunami

Allah subhanahu wa ta’ala menguji manusia dengan semua itu agar mereka kembali ke jalan yang benar, segera bertobat dari dosa dan bergegas menuju ketaatan kepada-Nya dan Rasul-Nya. Sebab, kekafiran dan maksiat adalah sumber segala bencana di dunia dan di akhirat. Adapun beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala, menaati Rasul-Nya, dan berpegang teguh dengan syariat-Nya adalah sumber kemuliaan dunia dan akhirat.

Allah subhanahu wa ta’ala memerintah hamba-Nya untuk bertobat kepada-Nya saat turunnya musibah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَقَدۡ أَرۡسَلۡنَآ إِلَىٰٓ أُمَمٍ مِّن قَبۡلِكَ فَأَخَذۡنَٰهُم بِٱلۡبَأۡسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ لَعَلَّهُمۡ يَتَضَرَّعُونَ ٤٢ فَلَوۡلَآ إِذۡ جَآءَهُم بَأۡسُنَا تَضَرَّعُواْ وَلَٰكِن قَسَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَزَيَّنَ لَهُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٤٣

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan setan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.” (al-An’am: 42—43)

Baca juga: Pengaruh Dosa dan Maksiat

Telah sahih riwayat dari Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz rahimahullah bahwa beliau menulis surat kepada para gubernurnya ketika terjadi gempa di zamannya. Beliau menyuruh mereka agar memerintahkan kaum muslimin supaya bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, merendahkan diri di hadapan-Nya, dan beristigfar dari dosa-dosa. (lihat Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Ibnu Baz, 2/126—129)

Wallahu a’lam bish-shawab.

Ditulis oleh Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.