Syarat Tobat Nasuha

Syarat tobat ada tiga:

  1. Menyesal
  2. Berhenti
  3. Bertekad tidak akan mengulangi

Jika berkaitan dengan hak orang lain, selain tiga syarat ada tambahan syarat keempat: mengembalikan hak orang lain tersebut.

Tiga Syarat Tobat

Dalam kitab Riyadhush Shalihin, Imam Nawawi rahimahullah berkata,

قَالَ الْعُلَمَاءُ: التَّوْبَةُ وَاجِبَةٌ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَإِنْ كَانَتِ الْمَعْصِيَةُ بَيْنَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ اللهِ تَعَالَى لَا تَتَعلَّقُ بِحَقِّ آدَمِيٍّ فَلَهَا ثَلاثَةُ شُرُوْطٍ: أَحَدُهَا: أَنْ يُقْلِعَ عَنِ الْمَعصِيَةِ، وَالثَّانِي: أَنْ يَنْدَمَ عَلَى فِعْلِهَا، وَالثَّالِثُ: أَنْ يَعْزِمَ أَنْ لَا يَعُودَ إِلَيْهَا أَبَدًا. فَإِنْ فُقِدَ أَحَدُ الثَّلَاثَةِ لَمْ تَصِحَّ تَوبَتُهُ.

“Para ulama menjelaskan, tobat hukumnya wajib dari segala jenis dosa. Jika kemaksiatan itu antara seorang hamba dan Allah dan tidak berkaitan dengan hak orang lain, tobatnya harus memenuhi tiga syarat:

  1. Berhenti dari kemaksiatan yang dia lakukan.
  2. Menyesali perbuatannya.
  3. Bertekad tidak akan mengulanginya lagi selamanya.

Jika salah satu dari tiga syarat tersebut tidak terpenuhi, tobatnya tidak sah.”

وَإِنْ كَانَتِ الْمَعْصِيةُ تَتَعَلَّقُ بِآدَمِيٍّ فَشُرُوطُهَا أَرْبَعَةٌ: هَذِهِ الثَّلَاثَةُ، وَأَنْ يَبْرَأَ مِنْ حَقِّ صَاحِبِهَا

“Apabila kemaksiatan itu terkait dengan hak orang lain, syarat tobatnya ada empat; yaitu tiga syarat di atas dan mengembalikan haknya.”

Lima Syarat Tobat

Ketika menjelaskan keterangan Imam Nawawi rahimahullah di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata,

“Setiap orang wajib bertobat kepada Allah dari semua dosanya. Tobat memiliki tiga syarat sebagaimana telah disebutkan oleh penulis (yakni Imam Nawawi, penulis kitab Riyadhush Shalihin). Namun, setelah dilakukan pengkajian (penelitian), sebenarnya syarat tobat ada lima.” (Syarh Riyadhush Shalihin 1/86)

Syarat-syarat tersebut adalah:

  1. Ikhlas kepada Allah
  2. Menyesal
  3. Berhenti
  4. Bertekad tidak akan mengulangi
  5. Tobat dilakukan pada waktu masih diterimanya tobat

Jika berkaitan dengan hak orang lain, selain lima syarat di atas ada tambahan syarat keenam: mengembalikan hak orang lain tersebut.

Syarat Tobat yang Pertama: Ikhlas kepada Allah

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,

وَلِلتَّوْبَةِ شَرْطٌ خَمْسَةٌ، الشَّرْطُ الْأَوَّلُ: أَنْ يَكُوْنَ الْحَامِلُ لَهَا الْإِخْلَاصَ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ، لَا يَقْصُدُ بِهَا رِيَاءً وَلَا سُمْعَةً وَلَا جَاهًا وَلَا تَزَلُّفًا لِمَخْلُوْقٍ وَلَا غَيْرَ ذَلِكَ مِنْ أُمُوْرِ الدُّنْيَا، بَلْ لَا يُرِيْدُ بِهَا إِلَّا وَجْهَ اللهِ وَالدَّارَ الْآخِرَةِ

Tobat memiliki lima syarat. Yang pertama ialah hendaknya faktor yang mendorongnya untuk bertobat adalah ikhlas hanya untuk Allah azza wa jalla.

Dia tidak memaksudkan tobatnya karena:

riya (ingin amalannya dilihat manusia), atau

sum’ah (ingin amalannya didengar manusia), atau

– menginginkan kedudukan/posisi, atau

– memiliki suatu kepentingan kepada makhluk, atau

– urusan duniawi lainnya.

Bahkan, tidaklah dia bertobat kecuali hanya mengharap wajah Allah dan negeri akhirat. (Fatawa Nur ‘ala ad-Darb no. 209)

Tobat adalah ibadah yang sangat agung, sedangkan suatu ibadah tidak diterima oleh Allah kecuali dilandasi oleh keikhlasan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَٱدۡعُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَٰفِرُونَ

“Sembahlah Allah dengan mengikhlaskan peribadahan dalam beragama hanya kepada-Nya meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.” (Ghafir: 14)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَاْبتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amalan kecuali (amalan) yang ikhlas dan mengharapkan wajah Allah semata.” (HR. an-Nasai no. 3140 dari sahabat Abu Umamah al-Bahili radhiallahu anhu. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasai no. 3140)

Syarat Tobat yang Kedua: Menyesal

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan makna “menyesal”,

“Seorang hamba bersedih atas apa yang telah berlalu darinya (berupa perbuatan dosa). Dia juga merasa luluh lantak (hatinya) dengan sebab telah melakukan perbuatan dosa tersebut. Dia juga tidak merasa tenang dari perbuatan dosanya tersebut sampai dia bertobat kepada Allah.” (Syarh Riyadhush Shalihin 1/86)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

النَّدَمُ تَوْبَةٌ

“Penyesalan adalah tobat.” (HR. Ibnu Majah no. 4252 dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu. Hadits ini dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah no. 3429)

Maksud dari “penyesalan adalah tobat” bukan berarti tobat sudah tercukupi hanya dengan menyesal saja. Namun, maksudnya: penyesalan adalah rukun tobat yang paling agung. (Lihat Fathul Bari 11/103)

Al-Qari menjelaskan bahwa makna sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam “penyesalan adalah tobat” yakni rukun tobat yang paling agung adalah penyesalan. Sebab, (ketika seorang hamba menyesali dosanya), hal itu akan membuat pelakunya melaksanakan rukun-rukun tobat yang lain, seperti menghentikan perbuatan maksiat tersebut dan bertekad tidak mengulanginya lagi. (Lihat Mirqaah al-Mafaatiih Syarh Misykaah al-Mashaabiih 4/1237)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan,

“Syarat tobat yang kedua adalah hendaknya pelaku dosa tersebut memiliki perasaan menyesal atas perbuatan dosa yang ia lakukan. Jangan sampai perasaan pelaku dosa ketika melakukan dosa tersebut dan ketika tidak melakukannya sama saja. Bahkan, hendaknya dia merasa bahwa dirinya sedih dan menyesal atas perbuatan dosanya tersebut. Sebab, rasa penyesalan dan sedih inilah yang akan mendorongnya untuk bertobat kepada Allah dan kembali kepada-Nya. Demikian pula, penyesalan inilah yang menandakan akan kejujuran tobatnya.” (Fatawa Nur ‘ala ad-Darb no. 209)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin juga menjelaskan bahwa di antara tanda benarnya penyesalan seseorang ketika bertobat adalah dia berangan-angan seandainya dia tidak melakukan perbuatan dosa tersebut. (Majmuu’ Fataawa wa Rasaa`il al-Utsaimin 8/191)

Syarat Tobat yang Ketiga: Berhenti

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَٱلَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَٰحِشَةً أَوۡ ظَلَمُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ ذَكَرُواْ ٱللَّهَ فَٱسۡتَغۡفَرُواْ لِذُنُوبِهِمۡ وَمَن يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمۡ يُصِرُّواْ عَلَىٰ مَا فَعَلُواْ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ ١٣٥

“Demikian (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan fahisyah atau menzalimi diri sendiri, mereka (segera) mengingat Allah lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya. Siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Mereka tidak meneruskan apa yang mereka kerjakan (perbuatan dosa itu) dan mereka mengetahui(nya).” (Ali Imran: 135)

Ketika menafsirkan makna “mereka tidak meneruskan apa yang mereka kerjakan (perbuatan dosa itu)”, Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Maksudnya, mereka bersegera untuk bertobat dari dosa-dosanya dan kembali kepada Allah. Mereka tidak melanjutkan dan tidak meneruskan maksiat tersebut. Mereka juga tidak menetapi maksiat tersebut (yakni menghentikannya).” (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim 2/125)

Syarat Tobat yang Keempat: Bertekad Kuat Tidak Akan Mengulangi

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan,

“Syarat keempat adalah seorang hamba bertekad kuat tidak mengulanginya (perbuatan dosa tersebut). (Hal ini terwujud ketika) seorang hamba bertekad kuat kepada dirinya sendiri bahwa ia akan menyudahinya (yakni ini adalah terakhir kali ia melakukan dosa tersebut) dan bertekad bulat tidak akan mengulanginya. Dia membuat perjanjian (tekad kuat) dengan dirinya sendiri bahwa dia tidak akan mengulangi dosa tersebut.

Dengan demikian, apabila di dalam kalbunya terbetik niat bahwa kapan saja dia memiliki kesempatan (untuk melakukan dosa tersebut), dia akan melakukannya lagi, apakah yang demikian tobatnya sah? Jawabannya, tentu tidak. Sebab, dia tidak bertekad kuat untuk tidak mengulangi (perbuatan doanya). (Orang yang demikian keadaannya), walaupun saat ini dia meninggalkan dosa tersebut, tetapi ia tidak memiliki tekad yang kuat untuk tidak mengulangi lagi (perbuatan dosa tersebut). Yang demikian tentu tidak sah tobatnya.” (al-Liqa` asy-Syahri no. 51)

Bagaimana Jika Mengulangi Dosa Lagi?

Dalam sesi tanya jawab dalam suatu majelis bersama para pemuda, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin pernah ditanya,

“Wahai Syaikh Yang Mulia, aku adalah seorang pemuda yang ingin bertobat. Namun, setiap kali aku bertekad kuat untuk bertobat kepada Allah dan aku merealisasikannya, tak lama kemudian aku kembali mengulanginya lagi (berbuat dosa lagi).

Oleh karena itu, mohon bimbinglah aku—waffaqakallah—bagaimana caranya supaya ketika aku bertekad untuk bertobat dan meninggalkan kemaksiatan, aku tidak mengulanginya lagi pada kesempatan yang lain?”

Syaikh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjawab,

الإِنْسَانُ بِطَبِيْعَتِه أَنْ يَضْعُفَ أَمَامَ إِرَادَةِ الْمَعْصِيَةِ إِلَّا مَنْ عَصَمَ اللهُ

“Memang, tabiat manusia adalah lemah ketika dihadapkan dengan keinginan untuk bermaksiat—kecuali orang yang Allah lindungi—.

أَقُوْلُ: أَبْشِرْ بِأَنَّ تَوْبَتَكَ مَقْبُوْلَة، لِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ شُرُوْطِ التَّوْبَةِ أَنْ لاَ يَعُوْدَ، بَلْ مِنْ شُرُوْطِ التَّوْبَةِ أَنْ يَعْزِمَ عَلَى أَنْ لَا يَعُوْدَ. وَإِذَا عَادَ فَليَتُبْ إِلَى اللهِ وَلْيَسْتَغْفِرْ

Saya katakan, bergembiralah! Sungguh, tobatmu diterima. Sebab, tidak termasuk syarat tobat bahwa seseorang tidak mengulangi kembali perbuatan dosanya. Namun, di antara syarat tobat adalah bertekad kuat tidak mengulangi perbuatan dosanya. Apabila seseorang mengulangi lagi perbuatan dosanya, hendaklah bertobat dan beristigfar.

Syaikh melanjutkan jawabannya,

“Kemudian, apabila hawa nafsu mengajak lagi untuk berbuat maksiat, ingatlah keagungan Allah azza wa jalla. Demikian pula, hendaklah dia menyadari bahwasanya dia telah bertobat kepada Allah. Sesungguhnya tobat adalah suatu perjanjian. Dia wajib menjaga (menunaikan) perjanjian tersebut. Berikutnya, apabila dia bisa memalingkan kemaksiatan tersebut kepada sesuatu hal yang mubah (sesuatu yang hukumnya boleh), hendaknya dia melakukannya. Kita memohon kepada Allah untuk menerima tobat kami dan tobat kalian semua.” (Jalsah Ma’a asy-Syabab)

Penting untuk diketahui, tidak berarti bahwa seorang hamba meremehkan perbuatan dosa dengan beralasan nanti akan bertobat. Justru di antara syarat tobat adalah hendaknya dia jujur serta berazam kuat dan bertekad bulat untuk bersungguh-sungguh tidak mengulangi perbuatannya tersebut.

Syarat Tobat yang Kelima: Dilakukan Pada Waktu Masih Diterimanya Tobat

Syaikh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,

“Syarat kelima adalah hendaknya tobat dilakukan pada waktu masih diterimanya tobat. Apabila seseorang bertobat di saat pintu tobat sudah tertutup, tobatnya tidak bermanfaat.” (Syarh Riyadhush Shalihin 1/91)

Waktu diterimanya tobat ada dua macam (lihat Syarh Riyadhush Shalihin 1/91—92):

  1. Ditinjau dari keadaan setiap individu manusia.
  2. Ditinjau secara umum.

Adapun yang pertama—yakni ditinjau dari keadaan setiap individu manusia—maksudnya adalah tobat harus dilakukan sebelum datangnya ajal. Apabila tobat dilakukan ketika datangnya ajal atau sakratulmaut, tobatnya tidak bermanfaat.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَيۡسَتِ ٱلتَّوۡبَةُ لِلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلسَّيِّ‍َٔاتِ حَتَّىٰٓ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ ٱلۡمَوۡتُ قَالَ إِنِّي تُبۡتُ ٱلۡـَٰٔنَ

Tidaklah tobat itu (diterima oleh Allah) bagi orang-orang yang melakukan keburukan hingga apabila datang ajal kepada seorang di antara mereka, (barulah) dia mengatakan, “Saya benar-benar bertobat sekarang.” (an-Nisa: 18)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ

“Sesungguhnya Allah menerima tobat seorang hamba selama nyawanya belum sampai ke tenggorokan. (HR. at-Tirmidzi no. 3537 dari sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi no. 3535)

Adapun yang kedua—yakni ditinjau secara umum—adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

لَا تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ حَتَّى تَنْقَطِعَ التَّوْبَةُ وَلَا تَنْقَطِعُ التَّوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

“Tidaklah hijrah terputus hingga tobat terputus dan tidaklah tobat terputus hingga matahari terbit dari barat.” (HR. Abu Dawud no. 2479 dari sahabat Muawiyah radhiallahu anhu. Hadits ini dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2479)

Semoga Allah senantiasa memberi kita taufik untuk selalu bertobat kepada-Nya dengan tobat nasuha. Semoga Allah memudahkan kita untuk menunaikan syarat-syarat diterimanya tobat.

Syarat Tambahan: Jika Kemaksiatan Terkait dengan Hak Orang Lain

  1. Jika terkait dengan harta.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

“Apabila terkait dengan harta, engkau harus mengembalikannya kepada pemiliknya. Tobat tidak akan diterima kecuali dengan mengembalikan harta tersebut.” (Syarh Riyadhush Shalihin 1/89)

  1. Jika berbentuk pukulan atau yang semisal.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

“Jika kemaksiatan yang engkau lakukan kepada orang lain itu berupa pukulan atau yang semisal, engkau harus mendatangi dan mempersilakannya untuk balas memukulmu sama seperti pukulanmu kepadanya. Apabila (pukulanmu dahulu) mengenai punggung, balasannya di punggung pula. Apabila (pukulanmu dahulu) mengenai kepala, balasannya juga di kepala.

(Intinya), pada bagian tubuh mana pun (kamu pernah memukulnya), di tempat itu pula orang tersebut boleh membalas memukulmu. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَجَزَٰٓؤُاْ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثۡلُهَا

Balasan suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal.” (asy-Syura: 40)

Demikian pula firman Allah subhanahu wa ta’ala,

فَمَنِ ٱعۡتَدَىٰ عَلَيۡكُمۡ فَٱعۡتَدُواْ عَلَيۡهِ بِمِثۡلِ مَا ٱعۡتَدَىٰ عَلَيۡكُمۡۚ

“Oleh sebab itu, siapa yang menyerang kamu, seranglah setimpal dengan serangannya terhadapmu.” (al-Baqarah: 194) (Syarh Riyadhushshalihin 1/89)

  1. Jika kezalimannya dalam bentuk ucapan.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

“Apabila kezalimanmu berbentuk ucapan—yakni engkau menyakitinya dengan ucapan, misalnya dirimu pernah mencela, menjelekkan, atau menghujatnya di hadapan manusia—; pada keadaan ini kamu harus mendatanginya dan meminta maaf. Kemudian, (diselesaikan) sesuai dengan kesepakatan di antara kalian.

Bahkan, seandainya dia mengatakan, ‘Saya tidak akan memaafkanmu, kecuali dengan bayaran sekian atau sekian,’ engkau harus memberinya.” (Syarh Riyadhush Shalihin 1/90)

  1. Ghibah

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

“Apabila hak yang dilanggar berupa ghibah—yakni engkau membicarakan aib-aibnya pada saat dia tidak ada, engkau menjelek-jelekkan di hadapan manusia saat dia tidak ada di situ—, untuk yang jenis seperti ini (ghibah), para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan bahwa:

  • Engkau harus mendatanginya seraya mengatakan kepadanya, ‘Wahai Fulan, aku pernah membicarakan kejelekanmu kepada manusia. Saya mohon supaya engkau memaafkanku.’
  • Sebagian ulama lain berpendapat bahwa engkau jangan mendatangi orang itu. Adapun cara tobatnya, memiliki rincian:
    • Jika dia telah mengetahui perbuatan ghibahmu, engkau harus mendatanginya dan meminta kehalalan darinya (memohon untuk dimaafkan).
    • Jika dia belum mengetahui (perbuatan ghibahmu), jangan engkau mendatanginya. Hendaknya engkau memintakan ampunan kepada Allah untuknya. Demikian pula, hendaknya engkau menyebutkan kebaikan-kebaikannya di majelis-majelis (di tempat-tempat) yang kamu pernah mengghibahnya di situ. Sebab, kebaikan-kebaikan akan menghilangkan dosa-dosa.

Pendapat inilah yang lebih tepat (yakni pendapat yang merinci).” (Syarh Riyadhush Shalihin 1/90)

Dalam fatwa yang lain, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjelaskan,

“Sebab, (jika dia sudah mengetahui perbuatan ghibahmu), apa yang ada di dalam kalbunya (akibat mengetahui engkau mengghibahinya) tidak akan hilang sampai engkau meminta kehalalan (keridaan) darinya.” (Lihat Liqa` Bab al-Maftuh 7/93—94)

Dalam Fatawa Nur ‘ala ad-Darb no. 88, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin juga menjelaskan,

“Adapun jika dia belum mengetahui, sebaiknya (pihak yang mengghibahinya) tidak memberitahunya. Sebab, bisa jadi, seandainya (pihak yang menghibahinya) memberitahunya, justru dia akan marah dan tidak memaafkan. Apabila demikian, akhirnya malah akan terjadi permusuhan dan kebencian.”

Semoga Allah senantiasa memberi kita taufik untuk selalu bertobat kepada-Nya dengan tobat nasuha. Semoga Allah memudahkan kita untuk menunaikan syarat-syarat diterimanya tobat.

(Ustadz Abu Ismail Arif)