Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan banyak pelajaran, nasihat, dan pesan kebaikan kepada umat beliau dalam hadits-haditsnya yang agung. Tentang adab Islami kerap pula beliau sampaikan. Di antara hadits yang berbicara tentang adab Islami ini adalah hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah (no. 6018) dan al-Imam Muslim rahimahullah (no. 171 & 172) dalam kitab Shahih keduanya. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menyampaikan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau ia diam. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.”
Wahai muslimah, bacalah dan renungkan hadits di atas, niscaya engkau dapati faedah yang besar. Engkau akan menyadari, betapa banyak orang yang tidak menjalankan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini. Engkau dapatkan banyak lisan yang digunakan untuk berucap jelek, dusta, ghibah, namimah, mengumpat, mencela, dan melaknat. Kita sadari, para wanita banyak yang jatuh dalam penyakit lisan ini. Kita pun bertanya, tertuju pertama kali kepada diri kita sendiri, “Di manakah pengamalan hadits:
‘Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berucap yang baik atau ia diam’.”
Engkau dapati buruknya hubungan bertetangga di masyarakat, apalagi di kota-kota besar. Banyak orang bersikap individualis. Seseorang tidak mau peduli dengan tetangga di sebelahnya. Jangankan menyampaikan kebaikan, justru kejelekan yang “dipersembahkan” untuk tetangga, dengan berkata buruk kepada tetangga, mengganggu istirahatnya dengan suara berisik, menyempitkan jalannya, dan perbuatan lain yang membuat tetangga tidak nyaman dan merasa terganggu. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman.” Ketika ditanya, “Siapakah yang Anda maksudkan, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. al-Bukhari no. 6016 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Ya, bukankah termasuk tuntutan iman yang sempurna adalah memuliakan tetangga, seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang sedang menjadi pembicaraan kita?
Satu lagi adab yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu di atas, yaitu memuliakan tamu. Ini pun tidak dijalankan dengan semestinya seperti yang dimaukan oleh syariat.
Untuk beroleh faedah dari hadits yang mulia di atas, kita coba menukil secara ringkas pembahasan dari seorang alim yang mulia, Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah, terhadap hadits ini sebagai salah satu hadits yang termuat dalam al-Arba’in an-Nawawiyah (hadits ke-15). Semoga kita dimudahkan dan diberi taufik untuk mengamalkannya.
Berkata Baik atau Diam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berucap yang baik atau ia diam.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersyaratkan iman dengan berucap baik atau diam. Maksudnya adalah memberikan anjuran dan dorongan untuk berucap baik atau paling tidak diam.
Perlu diketahui bahwa kebaikan dalam berucap itu terbagi dua.
- Kebaikan pada apa yang diucapkan
Contohnya adalah berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bertasbih, bertahmid, membaca Al-Qur’an, mengajarkan ilmu, dan amar ma’ruf nahi mungkar.
- Kebaikan pada apa yang dimaksud/dituju.
Misalnya, seseorang mengucapkan ucapan untuk memberikan kegembiraan kepada teman duduk. Ini adalah kebaikan, melihat dampak yang dihasilkannya berupa kedekatan antarteman, hilangnya kekakuan, dan hilangnya perasaan asing.
Jika kita duduk bersama sekelompok orang dan kita tidak mendapati ucapan kebaikan yang bisa kita ketengahkan kepada mereka (jenis kebaikan yang pertama), namun kita terus diam dari awal sampai akhir, niscaya hal ini menimbulkan kekakuan. Akan timbul perasaan asing antara satu orang dan yang lain, tidak merasa dekat. Akan tetapi, jika kita berbicara dengan mereka—walaupun bukan ucapan yang disebutkan dalam jenis kebaikan yang pertama—guna menyenangkan teman duduk, seperti menanyakan keadaan keluarga dan anak-anaknya, ini merupakan kebaikan dalam hal maksud/tujuan.
Memuliakan Tetangga
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya.”
Tetangga memiliki hak. Semakin dekat rumahnya dengan rumah kita maka haknya pun semakin besar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita memuliakan tetangga tanpa membatasi bentuk pemuliaan, apakah dengan memberi uang, sedekah, pakaian, ataukah yang lain. Yang menjadi patokan, segala sesuatu yang dalam syariat disebutkan secara mutlak, tidak dibatasi, maka perkaranya kembali kepada ‘urf atau kebiasaan yang ada di masyarakat Islam, sebagaimana hal ini disebutkan oleh kaidah fiqih. Dengan demikian, memuliakan tetangga itu tidak dibatasi dan tidak ditentukan.
Apa saja yang dianggap oleh orang-orang sebagai bentuk pemuliaan, berarti hal itu termasuk di dalamnya. Tentu saja pemuliaan ini bisa berbeda antara tetangga yang satu dan yang lain. Pemuliaan kepada tetangga yang fakir mungkin dilakukan dengan memberinya sepotong roti. Adapun tetangga yang kaya, tentu sepotong roti tidak mencukupi, malah bisa dianggap menghinanya. Orang biasa yang menjadi tetangga kita mungkin merasa cukup dengan pemberian berupa sesuatu yang sederhana. Namun, orang yang mulia dan dipandang manusia tentu butuh lebih dari itu untuk memuliakannya.
Batasan Tetangga
Apakah yang disebut sebagai tetangga harus bersebelahan dengan rumah kita, berhadapan, atau dalam jarak tertentu, atau bagaimana? Hal ini kembali pula kepada ‘urf (adat).
Ada riwayat dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah, ia pernah ditanya tentang tetangga. Beliau menjawab bahwa tetangga adalah empat puluh rumah di depannya, empat puluh rumah di belakangnya, empat puluh rumah di sebelah kanannya dan empat puluh rumah di sebelah kirinya. (Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam al-Adabul Mufrad hadits no. 109, disahihkan sanadnya oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Adabil Mufrad)
Di waktu sekarang, jumlah tersebut mungkin menyulitkan. Adapun di zaman beliau rahimahullah jarak empat puluh rumah adalah jarak yang bisa jadi sedikit/kecil. Adapun di zaman kita ini, mungkin empat puluh rumah adalah jarak satu kampung. Jika kita katakan tetangga itu adalah empat puluh rumah dari kita, padahal rumah-rumah yang ada seperti istana, besar dan luas, niscaya jumlah empat puluh ini sulit. Karena sebab inilah kemungkinan al-Imam al-Bukhari rahimahullah memberi judul atsar ini dengan Bab al-Adna Fal Adna Minal Jiran (Bab Tetangga yang paling dekat lalu yang paling dekat) karena banyaknya jumlah tetangga dengan bilangan empat puluh ini sehingga yang harus diperhatikan dan dikedepankan adalah yang paling dekat dengan rumah kita lalu yang berikutnya.
Ketika Aisyah radhiallahu ‘anha bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku memiliki dua tetangga. Manakah di antara keduanya yang semestinya aku berikan hadiah?” Rasulullah menjawab, “Engkau berikan kepada tetangga yang paling dekat pintu rumahnya dari rumahmu.” (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya)
Memuliakan Tamu
“Dan siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.”
Tamu adalah orang yang singgah di tempat Anda. Misalnya, ada seorang musafir mampir di rumah Anda, ini adalah tamu yang wajib dimuliakan.
Sebagian ahlul ilmi berkata, “Perjamuan untuk tamu itu hanya wajib jika tempat tersebut berupa kampung atau kota kecil. Adapun di kota besar, perjamuan tidak wajib karena di kota bisa dijumpai rumah makan dan penginapan/hotel yang musafir bisa singgah ke sana. Adapun di kampung, musafir yang lewat membutuhkan tempat bernaung/singgah.”
Akan tetapi, zahir (lahiriah) hadits bersifat umum, tidak membedakan kota atau kampung. Tamu tetap harus diberi jamuan.
Faedah Hadits
Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang sedang kita bicarakan ini memiliki beberapa faedah.
- Seseorang wajib diam selain dalam kebaikan.
Demikian pemahaman dari zahir hadits. Akan tetapi, ada tiga keadaan berkaitan dengan ucapan manusia.
a. Perkataan yang baik, ini yang dituntut untuk diucapkan oleh lisan.
b. Ucapan yang buruk.
Hukumnya haram. Seseorang harus menahan diri darinya, wajib diam tidak mengucapkannya. Sama saja, baik kejelekannya ada pada ucapan itu sendiri maupun pada dampak yang ditimbulkan.
c. Ucapan sia-sia (laghwi), yaitu ucapan yang tidak mengandung kebaikan dan kejelekan.
Seseorang tidak diharamkan berucap yang laghwi, namun yang lebih utama adalah ia diam dari berucap yang laghwi.
- Anjuran menjaga lisan.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh Mu’adz ibnu Jabal radhiallahu ‘anhu tentang amalan yang dapat memasukkannya ke dalam surga dan menjauhkannya dari neraka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberikan penjelasan kepadanya dan mengajarinya beberapa hal. Setelahnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Mu’adz radhiallahu ‘anhu:
“Maukah aku beritahukan kepadamu tentang sesuatu yang menguasai seluruh perkara itu?” “Tentu, wahai Rasulullah,” kata Mu’adz. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memegang lisannya sendiri seraya berkata, “Tahan ini.”
Mu’adz bertanya,” Wahai Rasulullah, apakah kita akan disiksa karena ucapan yang kita ucapkan?”
Rasulullah menjawab, “Ibumu kehilangan kamu[1], wahai Mu’adz. Bukankah orang yang disungkurkan/ditelungkupkan di atas wajah-wajah mereka—atau beliau berkata: di atas hidung-hidung mereka—ke dalam api neraka, melainkan karena ulah lisan-lisan mereka?” (HR. at-Tirmidzi no. 2616, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi)
- Wajib memuliakan tetangga.
Bentuk pemuliaan ini kembali kepada ‘urf. Bisa dengan mengunjungi, mengucapkan salam, atau duduk di sisinya. Pada kesempatan yang lain, ia bisa mengundang tentangganya ke rumah dan memberi jamuan kepadanya. Bisa pula dengan memberinya hadiah.
- Agama Islam adalah agama yang menginginkan kedekatan dan saling kenal antara satu dan yang lain.
- Wajib memuliakan tamu dengan sesuatu yang dianggap pemuliaan, misalnya berwajah cerah, berseri-seri, memberi senyum, dan menampakkan kegembiraan saat menyambut atau menemuinya, seraya mengatakan misalnya, “Silakan masuk. Saya senang sekali dengan kedatangan Anda.”
Wallahu ta’ala a’lam.
(Dinukil dengan beberapa perubahan dan tambahan oleh Ummu Ishaq al-Atsariyah dari Syarhul Arba’in an-Nawawiyah, karya asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hlm. 200—204)
[1] Makna kalimat ini tidaklah seperti zahirnya, yaitu sang ibu kehilangan putranya. Namun, kalimat ini diucapkan oleh orang Arab untuk memberikan dorongan.