Ghibah atau menggunjing atau membicarakan aib orang lain (bisa juga diistilahkan dengan ngerumpi) adalah aktivitas yang ‘mengasyikkan’. Tak sedikit orang, yang secara sadar atau tidak, terjatuh dalam perbuatan ini. Karena memang setan telah menghiasi perbuatan ini sehingga tampak indah dan menyenangkan. Tahukah Anda bahwa Allah ‘azza wa jalla mengibaratkan ghibah dengan perbuatan memakan daging saudara kita yang telah mati?
Bani Adam adalah makhluk yang lemah, serba kekurangan, dan menjadi tempat kesalahan. Demikianlah fakta yang akan dijumpai bila setiap orang jujur akan hakikat dirinya. Ia lemah dari segala sisi: tubuhnya, semangatnya, keinginannya, imannya, dan lemah kesabarannya. Dengan keadaan seperti ini, Allah ‘azza wa jalla dengan kemahabijaksanaan-Nya memberikan beban syariat sesuai dengan kesanggupannya. Demikian yang dikatakan asy-Syaikh Sa’di rahimahullah dalam Tafsir-nya.
Terkadang kelemahan ini menyebabkan seseorang terjatuh ke dalam perbuatan dosa dan maksiat. Menzalimi diri sendiri, orang lain, bahkan menzalimi Allah ‘azza wa jalla. Keadaan demikian banyak terjadi pada manusia khususnya yang tidak mendapat hidayah dan rahmat dari Allah ‘azza wa jalla. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
إِنَّا عَرَضۡنَا ٱلۡأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱلۡجِبَالِ فَأَبَيۡنَ أَن يَحۡمِلۡنَهَا وَأَشۡفَقۡنَ مِنۡهَا وَحَمَلَهَا ٱلۡإِنسَٰنُۖ إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومٗا جَهُولٗا ٧٢
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)
Banyak sekali faktor yang mendorong manusia untuk berbuat kesalahan atau kemaksiatan. Terkadang dorongan itu datang dari dalam diri sendiri dan terkadang dari luar. Berbahagialah orang yang mengerti kelemahan dirinya.
Abu ad-Darda radhiallahu ‘anhu berkata, “Termasuk wujud ilmunya seorang hamba adalah dia mengetahui imannya bertambah atau berkurang, dan termasuk dari berkah ilmunya seorang hamba adalah dia mengetahui dari mana setan akan menggelincirkannya.” (Asbab Ziyadatil Iman, hlm. 10)
Salah satu bagian tubuh yang paling mudah menjerumuskan manusia ke dalam kemaksiatan adalah lisan. Sungguh betapa ringan lisan ini digerakkan untuk bermaksiat kepada Allah ‘azza wa jalla. Serta betapa berat untuk diajak berzikir kepada Allah ‘azza wa jalla.
Demikan hakikat lisan sebagaimana ucapan Abu Hatim rahimahullah, “Lisan memiliki peraba tersendiri yang tidak hanya digunakan untuk mengetahui asin atau tidaknya makanan dan minuman, panas dan dingin, atau manis dan pahit. Lisan sangat tanggap apabila telinga mendengar sebuah berita, baik atau buruk, benar atau salah. Sangat tanggap pula bila mata melihat suatu kejadian, baik atau buruk. Lisan dengan mudahnya bercerita dengan mengumbar apa saja yang menyentuhnya. Ingatlah, lidah itu tak bertulang.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Namun bukan berarti engkau diam dari suatu kemungkaran dan diam untuk mengucapkan kebenaran. “Setan bisu”, itulah gelar dan panggilan seseorang yang diam dari kemungkaran dan tidak mau menyuarakan kebenaran.
Makna Ghibah
Tidak ada penafsiran terbaik tentang makna ghibah selain penafsiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits beliau. Bila ada penafsiran para ulama tentang ghibah maka tidak akan terlepas dari penafsiran beliau meski dengan ungkapan yang berbeda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan makna ghibah ini dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tahukah kalian apa yang dimaksud dengan ghibah?”
Mereka berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”
Beliau bersabda, “Kamu menceritakan tentang saudaramu apa yang tidak dia sukai.”
Dikatakan kepada beliau, “Bagaimana pendapatmu bila apa yang aku katakan ada pada saudaraku itu?”
Beliau menjawab, “Jika apa yang kamu katakan ada pada saudaramu maka kamu telah mengghibahinya, dan jika apa yang kamu katakan tidak ada pada dirinya, maka kamu telah berdusta.” (Sahih, HR. Muslim no. 2589, Abu Dawud no. 4874, dan at-Tirmidzi no. 1435)
Ghibah adalah Dosa Besar
Dari keterangan di atas, diambil kesimpulan bahwa makna ghibah adalah menceritakan seseorang kepada orang lain dan orang yang dijadikan obyek pembicaraan tidak menyukai apa yang dibicarakan. Bila apa yang diceritakan tidak ada pada orang tersebut, ini merupakan dusta atas namanya dan tentu saja dosanya lebih besar dari yang pertama.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ghibah adalah haram secara ijma’ dan tidak dikecualikan (boleh dilakukan) melainkan (dalam hal yang) maslahatnya lebih kuat, seperti dalam jarh dan ta’dil (menerangkan perawi hadits) dan nasihat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika seseorang yang jahat meminta izin kepada beliau untuk bertemu beliau, maka beliau berkata, ‘Izinkan dia, sesungguhnya dia adalah orang yang paling jelek di kaumnya.’ Juga seperti sabda beliau kepada Fathimah binti Qais saat dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm. (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan) bahwa Mu’awiyah adalah orang yang sangat miskin dan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/215)
Ghibah jelas perbuatan terlarang, bahkan termasuk perbuatan dosa besar. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٞ رَّحِيمٞ ١٢
“Janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang telah mati? Tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (al-Hujurat: 12)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian adalah haram seperti haramnya hari kalian ini, bulan kalian ini, dan negeri kalian ini.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ketika aku dibawa naik, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga yang dengannya mereka mencakar-cakar wajah dan dada mereka. Aku bertanya, ‘Wahai Jibril, siapakah mereka?’ Jibril menjawab, ‘Mereka adalah kaum yang telah memakan daging orang lain dan menginjak-injak kehormatan mereka’.” (HR. Abu Dawud no. 4878 dari sahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 4082 dan dalam ash-Shahihah no. 533)
Masih banyak dalil yang menjelaskan tentang keharaman ghibah dan bahwa ghibah termasuk dosa besar.
Kapan Boleh Mengghibah?
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Ghibah dibolehkan dengan tujuan syariat yang tidak mungkin mencapai tujuan tersebut melainkan dengannya.”
Dibolehkan ghibah pada enam perkara:
- Ketika terzalimi.
- Meminta bantuan untuk menghilangkan kemungkaran.
- Meminta fatwa.
- Memperingatkan kaum muslimin dari sebuah kejahatan atau untuk menasihati mereka.
- Ketika seseorang menampakkan kefasikannya.
- Memanggil seseorang yang dia terkenal dengan nama itu.
(Riyadhus Shalihin, bab “Apa-apa yang Diperbolehkan untuk Ghibah”)
Cara Bertaubat dari Ghibah
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, orang yang telah berbuat ghibah tidak harus mengumumkan taubatnya. Cukup baginya memintakan ampun bagi orang yang dighibahi dan menyebutkan segala kebaikannya di tempat-tempat mana dia mengghibahinya. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ummu Abdillah al-Wadi’iyyah dalam kitabnya Nashihati lin Nisa’ (hlm. 31).
Haruskah Meminta Maaf kepada Orang yang Dighibahi?
Dalam permasalahan ini, perlu dirinci:
Pertama, bila orang tersebut mendengar ghibahnya, maka dia harus datang kepada orang tersebut meminta kehalalannya (minta maaf).
Kedua, jika orang tersebut tidak mendengar ghibahnya maka cukup baginya menyebutkan kebaikan-kebaikannya dan mencabut diri darinya di tempat ia berbuat ghibah.
Al-Qahthani rahimahullah dalam kitab Nuniyyah beliau (hlm. 39) menasihati kita, “Janganlah kamu sibuk dengan aib saudaramu dan lalai dari aib dirimu, sesungguhnya yang demikian itu adalah dua keaiban.”
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah
Comments are closed.