Kisah Bani Israil dan Ganimah

Kisah Bani Israil dan Ganimah

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Ada salah seorang nabi melakukan peperangan. Ia berkata kepada kaumnya, ‘Jangan ikut orang yang memiliki kehormatan seorang wanita (baru menikah) dalam keadaan dia ingin membina rumah tangga dengannya dan belum melakukannya. Jangan pula ikut orang yang membangun rumah, tetapi belum memasang atapnya. Jangan pula ikut seseorang yang membeli seekor kambing atau unta yang sedang bunting dan dia sedang menunggu anaknya.’

Dia pun berperang dan mendekati sebuah desa ketika masuk atau hampir masuk waktu Asar. Dia pun berkata kepada matahari, ‘Engkau diperintah, saya pun diperintah. Ya Allah, tahanlah dia terhadap kami.’

Matahari itu pun ditahan sampai Allah subhanahu wa ta’ala memberinya kemenangan. Kemudian dia mengumpulkan ganimah. Lalu datanglah—api—untuk membakarnya, tetapi tidak melalap ganimah tersebut.

Beliau berkata, ‘Sungguh, di antara kamu ada yang ghulul (menggelapkan ganimah). Hendaklah setiap orang dari satu kabilah berbaiat kepadaku.’

Lalu menempellah tangan seorang laki-laki pada tangannya. Beliau pun berkata, ‘Di kabilahmu ada yang ghulul. Hendaklah kabilahmu berbaiat kepadaku.’

Lalu menempellah tangan dua atau tiga orang laki-laki dari kabilah tersebut. Beliau pun berkata, ‘Kamu melakukan ghulul.’

Lalu dibawalah emas sebesar kepala seekor sapi dan beliau meletakkannya. Kemudian api itu datang dan membakarnya.

Jadi, ganimah itu tidak dihalalkan bagi siapa pun sebelum kita, kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menghalalkannya untuk kita karena melihat kelemahan dan ketidakmampuan kita. (HR. al-Bukhari, no. 3124, dan Muslim, no. 1747)

Baca juga: Jihad Bersama Penguasa

Hadits ini mengandung mukjizat yang besar. Nabi shallallahu alaihi wa sallam menceritakan salah seorang di antara para nabi shalawatullahi wa salamuhu alaihim yang memerangi suatu kaum. Nabi itu memerintahkan berjihad menghadapi mereka. Akan tetapi, ia melarang ikut semua orang yang sudah melakukan akad nikah dengan seorang wanita dalam keadaan belum menggaulinya, orang yang sedang membangun rumah dan belum memasang atapnya, serta mereka yang sudah membeli kambing atau unta yang bunting dan sedang menunggu anaknya.

Hal itu karena mereka ini disibukkan oleh pikiran mereka. Orang yang meninggikan rumahnya, belum memasang atapnya, pikirannya disibukkan oleh rumah yang ingin ditempatinya bersama istrinya. Demikian pula pemilik kambing dan unta yang sedang bunting, pikirannya tersita untuk anak kambing atau unta yang ditungguinya.

Adapun jihad itu harus dihadapi seseorang dalam keadaan pikirannya tenang. Tidak ada yang mengisi pikirannya selain jihad. Itulah sebabnya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَإِذَا فَرَغۡتَ فَٱنصَبۡ

“Apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (asy-Syarh: 7)

Baca juga: Ibadah yang Paling Utama

Artinya, kalau engkau selesai dari urusan dunia, tidak disibukkan olehnya, kerjakanlah sungguh-sungguh ibadah itu. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ

“Tidak sah shalat di hadapan makanan (yakni ketika makanan telah terhidang). Tidak sah pula ketika dia didesak oleh dua hal yang kotor (BAB dan BAK, –red).” (HR. al-Bukhari no. 419 dan Muslim no. 810)

Semua ini menunjukkan, jika seseorang ingin mengerjakan ketaatan seharusnya hatinya dikosongkan dan fisiknya tertuju kepada ketaatan tersebut. Dengan demikian, dia mengerjakannya dalam keadaan rindu kepada ibadah itu dan menunaikannya dengan perlahan dan tenang serta lapang dada.

Baca juga: Lezatnya Ibadah kepada Ar-Rahman

Nabi itu berperang dan singgah di suatu kaum sesudah Asar. Malam mulai datang dan beliau khawatir kalau hari gelap akan sulit meraih kemenangan. Karena itu, beliau berkata kepada matahari, ‘Engkau diperintah dan aku pun diperintah.” Akan tetapi, perintah untuk matahari adalah kauni (mesti terjadi demikian, red.), sedangkan perintah untuk beliau adalah syar’i.

Beliau diperintah berjihad, sedangkan matahari diperintah berjalan sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَٱلشَّمۡسُ تَجۡرِي لِمُسۡتَقَرٍّ لَّهَاۚ ذَٰلِكَ تَقۡدِيرُ ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡعَلِيمِ

“Matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (Yasin: 38)

Baca juga: Seri Asmaul Husna: Al-Malik

Sejak Allah subhanahu wa ta’ala menciptakannya, dia selalu berjalan kemana pun diperintah, tidak mendahului, tidak pula tertinggal, tidak naik, dan tidak pula turun.

Nabi itu berdoa, ‘Ya Allah, tahanlah dia atas kami.’ Allah subhanahu wa ta’ala pun menahan matahari itu hingga tidak terbenam pada waktunya, sampai nabi itu selesai berperang dan memperoleh ganimah yang sangat banyak. Setelah itu, ganimah pun dikumpulkan di satu tempat menunggu api yang turun dari langit melahapnya. Itulah ketetapan untuk umat terdahulu. Ganimah itu tidak halal bagi mereka. Adapun umat ini, ganimah dihalalkan bagi mereka sebagai karunia Allah dan keutamaan mereka. Walillahil hamdu. Adapun umat terdahulu, mereka mengumpulkan ganimah itu lalu turun api dari langit membakarnya.

Baca juga: Mahalnya Nilai Kehalalan

Ganimah itu lalu dikumpulkan. Akan tetapi, api tidak juga datang membakarnya. Kata nabi itu, ‘Di antara kamu ada yang ghulul.’

Kemudian ia memerintahkan setiap kabilah maju satu per satu berbaiat kepada beliau untuk tidak berbuat ghulul. Setelah setiap orang dari setiap kabilah berbaiat, menempellah tangan dua atau tiga orang di antara mereka. Ia pun berkata, ‘Kamu berbuat ghulul.’ Lalu dibawalah ganimah yang disembunyikan itu.

Ghulul ialah mencuri ganimah, dengan menyembunyikan sebagiannya. Ternyata, mereka memang menyembunyikan emas sebesar kepala sapi. Setelah dibawakan dan diletakkan bersama ganimah lainnya, datanglah api membakarnya. Inilah sebagian tanda kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala.

Pelajaran dari Hadits

Dalam hadits ini terdapat dalil tentang beberapa faedah. Di antaranya,

  1. Jihad disyariatkan pada umat sebelumnya sebagaimana pada umat ini.

Hal ini ditegaskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,

وَكَأَيِّن مِّن نَّبِيٍّ قَٰتَلَ مَعَهُۥ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُواْ لِمَآ أَصَابَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَمَا ضَعُفُواْ وَمَا ٱسۡتَكَانُواْۗ

“Dan betapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, tidak lesu, dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh).” (Ali Imran: 146)

Demikian pula kisah Thalut dan Jalut serta Dawud alaihissalam dalam surat al-Baqarah (ayat 246—252).

  1. Adanya dalil tentang keagungan Allah subhanahu wa ta’ala dan Dia-lah yang mengatur alam semesta ini.

Dia-lah yang menjalankan berbagai hal berlawanan dengan sifat alaminya. Misalnya, dengan menguatkan rasul atau menghindarkan kejelekan darinya, kalau tidak untuk kemaslahatan dalam Islam.

Yang jelas, mukjizat para nabi itu menguatkan mereka dengan cara bagaimana pun. Matahari, berdasarkan sifat alami yang telah diciptakan Allah subhanahu wa ta’ala baginya, selalu berjalan, tidak berhenti, maju atau mundur, melainkan dengan perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi, di sini Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkannya berhenti, sehingga semakin panjanglah waktu antara shalat Asar sampai Magrib hingga Allah subhanahu wa ta’ala memberi kemenangan kepada nabi tersebut.

Baca juga: Berita-Berita Mukjizat Nabi dan Rasul

Di sini juga terdapat bantahan terhadap ahli ilmu-ilmu alam yang berpendapat bahwa alam ini tidak berubah. Mahasuci Allah! Siapakah yang telah menciptakan alam tersebut? Allah subhanahu wa ta’ala! Karena itu, Dzat yang telah menciptakannya, tentu Mahakuasa mengubahnya. Akan tetapi, mereka berpendapat bahwa alam ini berjalan sesuai dengan sifat alaminya, tanpa ada satu pun yang mengaturnya, karena mereka mengingkari adanya pencipta. Wal ‘iyadzu billah.

Ayat-ayat dari Al-Kitab dan As-Sunnah menegaskan bahwa falak ini berubah karena perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Nabi ini, beliau berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, lalu matahari pun berhenti.

Nabi Muhammad, rasul Allah, diminta oleh kaum musyrikin mendatangkan satu bukti yang menunjukkan kebenarannya. Beliau shallallahu alaihi wa sallam pun memberi isyarat kepada bulan, lalu terbelahlah bulan hingga dapat mereka saksikan. Satu di atas bukit Shafa dan yang lain di atas Marwah.

Baca juga: Mengenal Beberapa Faedah Mukjizat

Tentang inilah Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ٱقۡتَرَبَتِ ٱلسَّاعَةُ وَٱنشَقَّ ٱلۡقَمَرُ ١ وَإِن يَرَوۡاْ ءَايَةً يُعۡرِضُواْ وَيَقُولُواْ سِحۡرٞ مُّسۡتَمِرٌّ ٢

“Telah dekat (datangnya) saat itu dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat sesuatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata, ‘(Ini adalah) sihir yang terus-menerus’.” (al-Qamar: 1—2)

Orang-orang musyrik itu mengatakan, “Muhammad menyihir kita. Bulan itu tidak terbelah, dia hanya merusak pandangan dan mata kita.” Sebab, orang kafir itu—wal ‘iyadzu billah—yang sudah pasti terhadapnya “kalimat Allah”, tetap tidak akan beriman,

إِنَّ ٱلَّذِينَ حَقَّتۡ عَلَيۡهِمۡ كَلِمَتُ رَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ ٩٦ وَلَوۡ جَآءَتۡهُمۡ كُلُّ ءَايَةٍ حَتَّىٰ يَرَوُاْ ٱلۡعَذَابَ ٱلۡأَلِيمَ ٩٧

“Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Rabb-mu, tidaklah akan beriman, meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan hingga mereka menyaksikan azab yang pedih.” (Yunus: 96—97)

  1. Hati manusia ada di antara dua jari dari jari-jari ar-Rahman (Allah Yang Maha Pengasih).

Dia membolak-balikkannya sebagaimana dikehendaki-Nya dan memalingkannya sekehendak-Nya.

Orang-orang yang sudah pasti ketetapan azab terhadapnya, selamanya tidak akan beriman walaupun segala macam keterangan datang kepadanya. Sebab itulah, mereka meminta satu tanda dari Rasul shallallahu alaihi wa sallam. Lalu beliau shallallahu alaihi wa sallam memperlihatkan kepada mereka ayat yang menakjubkan ini, yang tidak satu pun kuasa terhadapnya. Akan tetapi, kata mereka, “(Ini adalah) sihir yang terus-menerus.”

  1. Dalam kisah Bani Israil ini terdapat keterangan tentang nikmat Allah subhanahu wa ta’ala terhadap umat Islam dengan menghalalkan ganimah yang mereka peroleh dari orang-orang kafir, padahal pernah diharamkan bagi umat sebelumnya.

Hal itu karena ganimah ini mengandung banyak kebaikan bagi umat Islam dan membantu mereka berjihad. Mereka memperoleh harta ganimah dari orang-orang kafir sebagai bekal untuk memerangi orang-orang kafir itu pada kesempatan lain. Semua ini adalah bagian dari karunia Allah subhanahu wa ta’ala.

Sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

أُعْطِيْتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ قَبْلِي… وَأُحِلَّتْ لِي الْغَنَائِمُ

“Saya diberi lima hal yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku.” Beliau menyebutkan, “Dihalalkan ganimah bagiku dan tidak dihalalkan bagi siapa pun sebelumku.” (HR. al-Bukhari no. 419 dan Muslim no. 810)

  1. Dalam hadits ini terdapat salah satu tanda kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala, bahwa orang-orang yang ghulul, tangan mereka menempel pada tangan nabi tersebut.

Ini menyelisihi kebiasaan yang ada. Akan tetapi, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Biasanya, jika dua tangan saling berjabatan, dia akan lepas.

  1. Faedah lainnya, para nabi tidak mengetahui urusan gaib.

Ini masalah yang jelas, kecuali apa yang diperlihatkan kepada mereka. Jadi, mereka sama sekali tidak mengetahui perkara gaib.

Bukti akan hal ini sangat banyak. Seperti yang dialami Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, banyak hal yang tersembunyi atas beliau. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قَالَتۡ مَنۡ أَنۢبَأَكَ هَٰذَاۖ قَالَ نَبَّأَنِيَ ٱلۡعَلِيمُ ٱلۡخَبِيرُ

Lalu Hafshah bertanya, “Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab, “Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (at-Tahrim: 3)

Beliau sendiri sama sekali tidak tahu urusan gaib. Para sahabat juga demikian, tidak mengetahuinya.

Baca juga: Menyoal Urusan Gaib

Suatu hari, Abu Hurairah radhiallahu anhu bersama beliau, tiba-tiba dia menghilang karena junub. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepadanya ketika dia sudah kembali dari mandi junub, “Kemana engkau tadi, wahai Abu Hurairah?”

Artinya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak mengetahui urusan gaib. Tidak ada satu pun makhluk mengetahuinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

عَٰلِمُ ٱلۡغَيۡبِ فَلَا يُظۡهِرُ عَلَىٰ غَيۡبِهِۦٓ أَحَدًا ٢٦ إِلَّا مَنِ ٱرۡتَضَىٰ مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُۥ يَسۡلُكُ مِنۢ بَيۡنِ يَدَيۡهِ وَمِنۡ خَلۡفِهِۦ رَصَدًا ٢٧

“(Dialah Rabb) yang mengetahui yang gaib. Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya. Sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (al-Jin: 26—27)

  1. Faedah lainnya, dalil akan kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala bahwa api itu tidak diketahui dari mana datangnya.

Dia turun dari langit bukan dari pohon atau ranting yang ada di bumi, tetapi dari langit. Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkannya turun dan membakar ganimah yang sudah dikumpulkan.

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Harits

 

While viewing the website, tap in the menu bar. Scroll down the list of options, then tap Add to Home Screen.
Use Safari for a better experience.