Meraih Keberkahan Hidup dengan Tawakal

Di antara keistimewaan Nabi Isa adalah beliau dianugerahi keberkahan di mana pun berada. Hal ini disebutkan dalam surat Maryam ayat: 31,

وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيۡنَ مَا كُنتُ

“Dan Dia (Allah) menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada.”

Tentu ini merupakan nikmat dari Allah subhanahu wa ta’ala yang sangat besar untuk Nabi Isa ‘alaihissalam. Keberkahan, yaitu tetapnya kebaikan, selalu menyertai Nabi Isa ‘alaihissalam dalam tutur kata dan perbuatannya. Bahkan, keberkahan dari Allah subhanahu wa ta’ala tak pernah lepas darinya di kala senang ataupun susah.

Nikmat yang agung seperti ini tidak semua orang mendapatkannya. Bisa jadi di sana ada orang yang diberkahi ketika duduk di majelis ilmu. Namun, dia tidak diberkahi saat berada di tengah-tengah keluarganya dengan berbuat zalim kepada anak dan istrinya.

Sebagian orang diberkahi oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk beramal kebaikan saat lapang, namun tidak diberkahi saat sulit. Padahal apabila keberkahan hidup menyertai seseorang, sesuatu yang sedikit bisa menjadi banyak; perubahan kondisi pun tidak akan mengubah semangatnya menjalankan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

 

Kiat Agar Keberkahan Hidup Selalu Menyertai Hamba

Tanpa bantuan Allah subhanahu wa ta’ala, manusia selalu diliputi oleh kelemahan dalam segala sisi kehidupannya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَخُلِقَ ٱلۡإِنسَٰنُ ضَعِيفٗا ٢٨

“Dan manusia diciptakan bersifat lemah.” (an-Nisa: 28)

Tak terkecuali dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, sebagai orang yang beriman kita mesti senantiasa bergantung pada Sang Pencipta alam semesta, dengan selalu memohon kepada-Nya agar dimudahkan dalam segala urusan. Tentu saja dengan diiringi usaha yang maksimal.

Orang yang berserah diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala (tawakal) tidak akan pernah kecewa karena ia yakin dengan janji Allah subhanahu wa ta’ala,

وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ

“Dan barang siapa bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (ath-Thalaq: 3)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan dalam suatu haditsnya,

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ

“Bersemangatlah engkau terhadap sesuatu yang bermanfaat bagimu, dan mintalah bantuan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, janganlah melemah.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Urusan yang bermanfaat ada dua macam, yaitu urusan agama dan urusan dunia. Sebagaimana halnya memerlukan urusandunia, seorang hamba juga memerlukan urusan agama. Sementara itu, rahasia keberhasilan hamba dan diberinya petunjuk terletak pada semangat dan kesungguhannya dalam mewujudkan dua macam urusan yang bermanfaat tersebut, sembari memohon pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala.

Manakala seorang hamba bersungguh-sungguh dalam urusan yang bermanfaat, dengan menelusuri jalan (keberhasilan) serta senantiasa memohon pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar hal tersebut terwujud, ini menjadi pertanda kesempurnaan dan keberhasilannya. Apabila salah satu dari tiga faktor ini (semangat mencari sesuatu yang bermanfaat dan meminta bantuan Allah subhanahu wa ta’ala) tidak terpenuhi, sebatas itu pula ia terlewatkan dari kebaikan.

Oleh karena itu, orang yang tidak bersemangat dalam urusan yang bermanfaat, justru bermalas-malasan, ia tidak menggapai apa pun (dari kebaikan) karena kemalasan adalah pangkal kegagalan. Orang yang pemalas tidak akan meraih kebaikan dan kemuliaan. Ia bukan orang yang memperoleh keberuntungan, baik dari sisi agama maupun sisi dunia.

(Seperti itu pula) orang yang bersemangat namun pada urusan-urusan yang tidak ada manfaatnya, baik sesuatu yang (jelas-jelas) bermudarat maupun sesuatu yang bisa menghambat kesempurnaan (dirinya).

Hasil dari semangat yang seperti ini hanyalah penyesalan, terlewat dari kebaikan, dan mendapat kejelekan, serta sesuatu yang membahayakan. Sungguh, betapa banyak orang yang bersemangat menempuh cara dan metode yang tidak berguna lantas tidak memetik dari semangatnya selain letih dan sengsara.

Berikutnya, apabila seorang hamba telah menempuh usaha yang bermanfaat dengan penuh semangat, belum dikatakan sempurna hingga dia benar-benar bergantung pada Allah subhanahu wa ta’ala dan meminta bantuan-Nya guna tercapai dan terpenuhinya (kebutuhannya).

Seseorang hendaknya tidak mengandalkan kemampuan diri, usaha, dan kekuatannya. Akan tetapi, hendaknya ia bersandar secara penuh, lahir dan batin, kepada Rabbnya. Dengan cara ini, hal-hal yang sulit akan terasa mudah, dan kondisi menjadi ringan, serta hasil yang maksimal bisa diraih.” (Bahjatu Qulubil Abrar hlm. 25)

dermaga-kelam 

Amal Saleh Membawa Keberkahan Hidup

Usaha yang keras dan tekun dengan menempuh sebab-sebab keberhasilan, secara teori duniawi bukanlah satu-satunya jalan untuk menggapai cita-cita. Ada sebuah faktor utama untuk mendapatkan keberkahan hidup, yaitu menjalankan beragam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini dinyatakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,

وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ

“Jikalau penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (al-A’raf: 96)

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Sesungguhnya amal kebaikan akan menjadikan wajah bercahaya, hati bersinar, rezeki luas, badan kuat, dan kecintaan pada hati para hamba. Sebaliknya, sesungguhnya kemaksiatan akan membuat wajah menjadi kelam, hati menjadi gelap, badan menjadi lemah, rezeki berkurang, dan kebencian pada hati para hamba.”(Nurut Taqwa hlm. 4—5 karya al-Qahthani)

Di antara amal ketaatan tersebut adalah menyambung tali kekerabatan (silaturrahmi). Al-Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barang siapa ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali kekerabatannya.”

Memang, balasan itu setimpal dengan perbuatan. Sebagaimana seseorang telah menyambung karib kerabatnya dengan beragam kebaikan serta menyisipkan kebahagiaan kepada mereka, Allah subhanahu wa ta’ala juga akan membalas dengan menyambung umur orang tersebut dan rezekinya, membukakan baginya pintu-pintu rezeki dan barakahnya. Sesuatu yang tidak bisa diraih kecuali dengan sebab yang mulia (silaturrahmi) ini. Sebagaimana kesehatan yang terjaga, udara yang sejuk, makanan yang bergizi, serta melakukan hal-hal yang bisa memperkuat tubuh dan hati termasuk sebab panjangnya umur, demikian pula silaturrahmi.

Sesungguhnya cara untuk diperolehnya hal-hal duniawi yang disukai oleh hamba ada dua: satu cara yang bisa dijangkau oleh indra, dan cara yang lain adalah upaya-upaya syar’i berupa amal ketaatan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا ٢ وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ

“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (ath-Thalaq: 2—3)

 

Sabar Kunci Keberhasilan

Sabar dalam agama ini kedudukannya seperti kepala bagi tubuh. Apabila kepala itu hilang, mungkinkah seseorang itu hidup?!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ

“Tidaklah seorang diberi (oleh Allah subhanahu wa ta’ala) sebuah pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.”(Muttafaqun ‘alaih)

Sabar dengan tiga macamnya—yaitu bersabar menjalankan perintah Allah subhanahu wa ta’ala, bersabar meninggalkan larangan Allah subhanahu wa ta’ala, serta bersabar menghadapi musibah dan cobaan—merupakan kunci kesuksesan hidup di dunia dan di akhirat.

Sabar

Allah subhanahu wa ta’ala telah memberi janji-janji yang mulia bagi orang yang bersabar. Di antara janji tersebut ialah orang yang sabar akan dibantu dalam segala urusannya, Allah subhanahu wa ta’ala mencintainya, mengokohkan hati dan kakinya, memberikan ketenteraman, memudahkannya untuk berbuat ketaatan, dijaga dari dosa, ditinggikan derajatnya dan beragam janji mulia dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Bahkan, derajat kemuliaan dari Allah subhanahu wa ta’ala dan kepemimpinan dalam agama didapat dengan kesabaran, sebagaimana firman-Nya subhanahu wa ta’ala,

وَجَعَلۡنَا مِنۡهُمۡ أَئِمَّةٗ يَهۡدُونَ بِأَمۡرِنَا لَمَّا صَبَرُواْۖ وَكَانُواْ بِ‍َٔايَٰتِنَا يُوقِنُونَ ٢٤

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (as-Sajdah: 24)

Apabila seseorang telah menghiasi dirinya dengan tiga bentuk kesabaran, ia akan istiqamah di atas jalan kebenaran. Amal ketaatan akan dia kerjakan, apa pun keadaannya. Kemaksiatan akan dia jauhi, sebesar apa pun dorongan hawa nafsunya. Musibah dunia akan dihadapinya dengan ketabahan, sepahit apa pun rasanya.

Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Kita dapatkan sebaik-baik kehidupan kita dalam kesabaran.”

Ali radhiallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya kedudukan sabar terhadap iman seperti kepala bagi tubuh. Tidak ada iman bagi yang tidak punya sifat sabar.” (Nurul Iqtibas karya al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah)

 

Merasa Cukup dengan Pemberian Allah subhanahu wa ta’ala

Menurut agama, orang yang kaya bukan yang melimpah hartanya. Orang yang kaya adalah yang hatinya merasa cukup dengan pemberian Allah subhanahu wa ta’ala (qana’ah).

Orang yang hatinya selalu rakus dengan dunia tidak akan pernah merasakan kebahagiaan. Ia selalu melihat kepada orang yang lebih tinggi darinya dalam urusan dunia. Akhirnya, ia meremehkan nikmat Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam kalbunya tumbuh rasa hasad dan iri terhadap orang lain.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ، وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا قُدِّرَ لَهُ

“Barang siapa yang akhirat menjadi tujuannya, Allah subhanahu wa ta’ala jadikan rasa kecukupannya dalam hatinya. Allah subhanahu wa ta’ala akan kumpulkan baginya urusan-urusannya yang berceceran. Dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina dan mudah didapat. Sebaliknya, barang siapa yang dunia menjadi tujuannya, Allah subhanahu wa ta’ala jadikan kefakirannya terpampang di hadapan kedua matanya; Allah subhanahu wa ta’ala cerai-beraikan urusannya, dan dunia tidaklah sampai kepadanya kecuali apa yang telah ditakdirkan untuknya.” (HR. at-Tirmidzi dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Asy-Syaikh al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih al-Jami’ no. 6510)

Orang yang kefakirannya selalu terpampang di hadapannya, bagaimana akan merasa bahagia? Orang yang tidak pernah puas dengan pemberian Allah subhanahu wa ta’ala, bagaimana ia tidak tersiksa?

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Apabila Anda memiliki hati yang merasa puas dengan pemberian Allah subhanahu wa ta’ala, Anda sama dengan raja dunia.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا قَلَّ وَكَفَى خَيْرٌ مِمَّا كثُرَ وَأَلْهَى

“Sesungguhnya yang sedikit dan mecukupi lebih baik daripada yang banyak namun melalaikan.” (HR. Abu Ya’la dan adh-Dhiya. Lihat Shahih al-Jami’ no. 5653)

Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Ditulis oleh al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc