Nasihat Untuk Pelaku Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala yang telah menjadikan umat ini sebaik-baik umat yang dimunculkan untuk manusia. Predikat mulia ini mereka raih karena menegakkan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan memperjuangkan agama-Nya. Di antaranya adalah menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar, yaitu mengajak manusia untuk menjalankan kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, serta beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110)

Amar ma’ruf nahi mungkar adalah urusan pokok dalam agama ini. Jika perkara ini dijalankan dengan tulus dan benar niscaya kebaikan akan merata, kejahatan akan menyempit dan mereda, serta kehidupan manusia akan lurus lagi terbimbing.

Penyakit yang Harus Diobati

Sungguh, tidak akan beres kehidupan manusia tanpa adanya amar ma’ruf nahi mungkar karena tabiat manusia adalah suka melampaui batas dan berbuat zalim, kecuali yang memang dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Tabiat jelek ini memiliki faktor yang melandasinya, di antaranya: jiwa yang jelek, setan dari golongan jin dan manusia yang memperindah perbuatan jelek untuk menipu. Belum lagi beragam bujuk rayu syahwat yang diharamkan dan berbagai syubhat yang ditebarkan. Inilah di antara perkara-perkara yang menjerumuskan seseorang ke dalam jurang kemaksiatan sehingga tersendat derap langkah hatinya menuju negeri kedamaian di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

Seseorang yang telah terjangkiti penyakit syahwat yang diharamkan dan penyakit syubhat (pemikiran yang menyimpang dari kebenaran) hendaknya segera diobati. Jika tidak, hati akan mati atau setidaknya berpenyakit.

Jika di tengah-tengah manusia berdiri sekian rumah sakit untuk mengobati beragam penyakit badan berikut beragam dokter spesialis, tentu penyakit syahwat dan syubhat lebih berhak mendapatkan penanganan yang serius, karena jika tidak segera diobati akan membahayakan kalbu dan agama. Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا إِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ

Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Apabila baik, akan baik pula seluruh tubuh, dan bila rusak akan rusak seluruh tubuh. Ketahuilah, ia adalah kalbu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Agar Terhindar dari Azab Allah subhanahu wa ta’ala

Kita meyakini bahwa segala perintah Allah subhanahu wa ta’ala, larangan dan aturan-Nya, adalah semata-mata maslahat bagi manusia. Apabila dilanggar, kesemrawutan hidup tidak bisa dihindarkan. Bahkan, jika kemaksiatan telah merajalela, laknat dan azab Allah subhanahu wa ta’ala tidak bisa ditangkal. Hal ini seperti yang dialami oleh bani Israil, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Telah dilaknati orang-orang kafir dari bani Israil dengan lisan Dawud dan ‘Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (al-Maidah: 78—79)

Oleh karena itu, amar ma’ruf nahi mungkar harus kita tegakkan agar terhindar dari ancaman Allah subhanahu wa ta’ala, tentu sebatas kemampuan kita masing-masing.

Sifat-Sifat yang Harus Disandang oleh Pelaku Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Ketahuilah bahwa amar ma’ruf nahi mungkar adalah amalan yang paling mulia dan memiliki tujuan yang sangat utama. Oleh karena itu, amalan ini tidak bisa dilakukan serampangan dan hanya bermodalkan semangat. Ada hal-hal yang semestinya diperhatikan dan rambu-rambu yang harus dipatuhi oleh orang yang terjun di kancah dakwah ini. Di antaranya:

  1. Berilmu tentang hal yang ma’ruf (baik) dari yang mungkar (jelek)
    Hal ini harus ada karena amar ma’ruf nahi mungkar adalah bagian dari dakwah yang menuntut adanya bashirah (pengetahuan) tentang perkara yang akan disampaikan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’.” (Yusuf: 108)

Tanpa mengenal yang ma’ruf dan yang mungkar, seseorang tidak akan mungkin menjalankan amalan yang mulia ini. Pepatah arab mengatakan:

فَاقِدُ الشَّيءِ لَا يُعْطِيهِ

“Orang yang tidak punya sesuatu pun, tidak bisa memberi.”

Amar ma’ruf nahi mungkar tanpa ilmu tidak akan membuahkan perbaikan apa pun, justru akan lebih banyak mendatangkan mudarat. Hal ini seperti yang dilakukan oleh sebagian da’i yang suka menyampaikan hadits-hadits lemah atau palsu tentang keutamaan-keutamaan amalan. Tanpa terasa, dengan ini mereka telah menebarkan kebid’ahan dalam amalan, sementara mereka menyangka sedang mengajak kepada Sunnah Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Perlu diketahui bahwa timbangan untuk mengukur yang baik dan yang buruk adalah Al-Qur’an dan as-Sunnah yang kuat (sahih) sesuai dengan yang dipahami oleh generasi salaf umat ini.

Tak lupa pula kita ingatkan bahwa ada masalah-masalah khilafiyah (yang masih diperselisihkan oleh ulama). Ada perkara khilafiyah yang menyisakan ruang bagi ulama untuk berijtihad dan tidak ada bentuk penyelisihan terhadap dalil Al-Qur’an, hadits yang kuat, dan kesepakatan ulama. Pada jenis khilafiyah yang seperti ini, seseorang harus berlapang dada jika ada yang menyelisihinya serta tidak boleh melakukan pengingkaran terhadap yang menyelisihi pendapatnya. Al-Imam Ibnu Muflih rahimahullah berkata, “Seseorang tidak boleh mengingkari orang yang berijtihad dalam hal yang diperbolehkan berbeda pendapat dalam masalah cabang (bukan pokok agama).” Sufyan ats-Tsauri berkata, “Jika kamu melihat seseorang melakukan suatu amalan yang masih diperselisihkan sedangkan kamu berpendapat lain, engkau tidak boleh melarangnya.” (Lihat Adabul Khilaf karya Dr. Shalih bin Abdillah bin Humaid hlm. 39)

  1. Ikhlas

Jika keikhlasan menyertai amalan yang mulia ini niscaya akan membuahkan kebaikan bagi semua pihak. Orang yang mengajak kepada kebaikan akan mendapat pahala sedangkan orang yang diajak sangat besar kemungkinannya menerima dakwah. Bisa jadi, satu kalimat yang diucapkan oleh seseorang yang berasal dari hati yang tulus memiliki pengaruh yang hebat. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Akan tetapi, ketahuilah bahwa apabila kamu mengatakan yang haq (kebenaran) dengan mengharap wajah Allah subhanahu wa ta’ala pasti akan ada pengaruh (yang baik), meskipun kebenaran itu (pada awalnya) ditolak di hadapanmu.”
Kalimat yang haq pasti akan membekas, cepat atau lambat. (Syarah al-Arba’in hlm. 154)

Keikhlasan dalam amar ma’ruf nahi mungkar bisa muncul jika hati seseorang merasa terpanggil untuk menegakkan agama Allah subhanahu wa ta’ala dan memperjuangkannya. Demikian pula, beragam penyelewengan yang ia saksikan di tengah-tengah umat mendorongnya melakukan langkah perbaikan. Rasa tanggung jawabnya yang besar terhadap umat menjadikan hatinya tidak rela jika umat jauh dari kebaikan dan terjerumus dalam jurang kenistaan. Memang tidak sama orang yang menangis karena ditinggal mati oleh kekasihnya dengan orang yang menangis karena bayaran.

  1. Mengamalkan apa yang disampaikan

Sangat tercela jika engkau melarang sesuatu padahal engkau sendiri terjatuh di dalamnya. Kapan kata-kata nasihatmu akan bernilai jika ucapan tidak selaras dengan perbuatan? Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan Nabi Syu’aib q dengan firman-Nya:

“(Patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang.” (Hud: 88)

Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Perumpamaan orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia namun melupakan dirinya sendiri, seperti sumbu (lampu) yang menyinari manusia sedangkan dirinya sendiri terbakar.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Kabir, lihat Shahih al-Jami’ no. 5837)

  1. Lemah lembut, bijak, dan tidak terburu-buru

Tidaklah kelemahlembutan melekat pada sesuatu melainkan menjadikannya indah. Adapun kekakuan merupakan kebodohan, dan sikap terburu-buru termasuk dari setan.
Amar ma’ruf nahi mungkar hendaknya menggunakan metode yang baik sehingga mudah berterima. Perkara ini memerlukan bimbingan dan penjelasan tentang yang baik dan yang buruk. Selain itu, perlu diingat bahwa seseorang yang meninggalkan kewajiban atau melakukan yang dilarang bisa jadi karena ketidaktahuannya akan hal yang diwajibkan dan yang dilarang, sehingga memerlukan bimbingan.

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Termasuk kelemahlembutan dan hikmah adalah memerhatikan kondisi seorang yang akan diperintah dan dilarang (karena) orang yang terjatuh dalam maksiat memiliki tiga keadaan:

  1. Orang yang tidak tahu bahwa yang ia lakukan itu adalah maksiat dan diharamkan.
    Terhadap orang yang seperti ini Anda cukup menjelaskan, “Wahai fulan, kamu telah melakukan perbuatan maksiat dan hal yang diharamkan.” Jika memang orang ini terjerumus ke dalam maksiat karena kebodohan, (dengan penjelasan ini) dia akan meninggalkannya.
  2. Orang yang mengetahui apa yang dilakukannya itu maksiat, ia diberi nasihat dan ditakut-takuti dengan hukuman.
  3. Orang yang suka membantah dan menebarkan syubhat.
    Orang yang seperti ini dibantah dengan cara yang lebih baik, sehingga syubhat (pemikiran yang menyimpang dari kebenaran) itu runtuh. (Muhadharah fil Aqidah wad Da’wah, 2/315—316)

Termasuk bentuk kelemahlembutan dan bijak adalah bertahap dalam menyampaikan kebaikan. Hal ini seperti pesan Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu ketika beliau mengutusnya ke negeri Yaman. Beliau  shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan agar Mu’adz memulai dakwahnya dengan ajakan untuk mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian shalat lima waktu, lalu yang berikutnya, dan yang berikutnya. Dengan adanya tahapan, seorang yang diajak akan mudah menyerapnya lalu mengamalkannya.

Demikian pula, termasuk bijak dalam berdakwah adalah mengetahui kondisi orang yang diajak dan menggunakan kalimat-kalimat yang mudah dipahami sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman. Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Ajak bicaralah orang dengan yang mereka pahami. Apakah kamu mau Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya didustakan?” (Shahih al-Bukhari, “Kitabul Ilmi” bab ke-49)

  1. Bersabar

Dalam hal kebaikan, manusia terbagi menjadi dua: ada yang menerima dan ada yang menolak. Seperti itu pula jalan dakwah, bukan jalan yang sunyi dari aral yang menghadang. Akan ada orang yang menolak ajakan, bahkan ada yang mengajak berkonfrontasi. Namun, tidak perlu berkecil hati, karena Allah subhanahu wa ta’ala akan menolong kita. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf, dan mencegah dari perbuatan yang mungkar dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (al-Hajj: 40—41)

Segala makar jahat tidak akan ada pengaruhnya jika Allah subhanahu wa ta’ala tidak menghendaki.

  1. Sayang kepada kaum muslimin

Melengkapi penjelasan di atas, sikap sayang terhadap kaum muslimin adalah hal yang mendorong seseorang untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Seorang mukmin akan ikut senang dengan kesenangan mereka dan ikut prihatin dengan kondisi buruk yang ada di tengah-tengah mereka. Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اْلمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِن

“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Ausath dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)

Sikap sayang ini akan melahirkan ketulusan, kelemahlembutan, dan selalu menginginkan kebaikan bagi kaum muslimin. Nasihat yang diberikan adalah untuk memperbaiki dan membangun, tidak membeberkan cacat dan menumbangkan (kepribadian seseorang). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berbicara tentang ciri-ciri Ahlus Sunnah, “Para imam Ahlus Sunnah wal Jamaah dan ahlul ilmi, mereka memiliki ilmu, keadilan, dan kasih sayang. Mereka mengenali kebenaran yang dengannya mereka mencocoki sunnah dan terhindar dari bid’ah.

Mereka (juga) berbuat adil terhadap orang yang keluar dari sunnah, bahkan walaupun menzalimi Ahlus Sunnah. Mereka menyayangi manusia, menginginkan kebaikan, petunjuk, dan ilmu bagi manusia. Tidak ada dari awal niat untuk berbuat jelek terhadap manusia. Bahkan, apabila Ahlus Sunnah membalas (kejelekan) manusia dan menjelaskan kesalahan, kebodohan, dan kezaliman mereka, tujuannya adalah menjelaskan yang benar, menyayangi manusia, amar ma’ruf nahi mungkar, serta bertujuan agar agama ini hanya milik Allah subhanahu wa ta’ala dan supaya kalimat Allah subhanahu wa ta’ala itu yang paling mulia.” (al-Ibanah karya asy-Syaikh Muhammad al-Imam hlm. 26—27)

Berita Gembira

Kabar baik bagi Anda yang tengah menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar. Anda telah berusaha menyelamatkan akidah umat, ibadah, akhlak, dan muamalah mereka dari berbagai penyimpangan. Semoga dengan usaha Anda ini, Allah subhanahu wa ta’ala memalingkan azab dari umat ini serta menurunkan berkah-Nya untuk kita semua. Anda termasuk orang yang terbaik ucapannya, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (Fushshilat: 33)

Anda sedang mengikuti jejak para nabi dan rasul. Terimalah hadiah yang mulia berikut ini. Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

 “Barang siapa menunjukkan kepada kebaikan, baginya pahala seperti yang melakukan kebaikan.” (Sahih, HR. al-Imam Muslim, Ahmad, dll dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu)

Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئاً

“Barang siapa mengajak kepada petunjuk, ia mendapat pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Sebagai penutup, mari kita senantiasa menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar pada diri, keluarga, masyarakat, dan bangsa kita, bahkan seluruh manusia. Sungguh, inilah jalan keselamatan dan pintu menuju keberkahan. Namun, jangan lupa untuk meluruskan niat serta meningkatkan kualitas ilmu dan amal.

Curahkanlah kebaikan kepada seluruh manusia dengan penuh kasih sayang. Berteladanlah kepada Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi terbaik umat ini dalam menjalankan tugas dakwah yang mulia ini serta bersabarlah atas segala rintangan karena Allah subhanahu wa ta’ala bersama orang-orang yang sabar.

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ أَجْمَعِينَ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi, Lc