نَّحۡنُ نَقُصُّ عَلَيۡكَ نَبَأَهُم بِٱلۡحَقِّۚ إِنَّهُمۡ فِتۡيَةٌ ءَامَنُواْ بِرَبِّهِمۡ وَزِدۡنَٰهُمۡ هُدًى ١٣وَرَبَطۡنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ إِذۡ قَامُواْ فَقَالُواْ رَبُّنَا رَبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ لَن نَّدۡعُوَاْ مِن دُونِهِۦٓ إِلَٰهًاۖ لَّقَدۡ قُلۡنَآ إِذًا شَطَطًا ١٤هَٰٓؤُلَآءِ قَوۡمُنَا ٱتَّخَذُواْ مِن دُونِهِۦٓ ءَالِهَةًۖ لَّوۡلَا يَأۡتُونَ عَلَيۡهِم بِسُلۡطَٰنِۢ بَيِّنٍۖ فَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّنِ ٱفۡتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ كَذِبًا ١٥
“Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk, dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri lalu mereka berkata, ‘Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi. Kami sekali-kali tidak menyeru Rabb selain Dia. Sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran. Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka?) Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?’” (al-Kahfi: 13—15)
Tafsir Ayat
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
نَّحۡنُ نَقُصُّ عَلَيۡكَ نَبَأَهُم بِٱلۡحَقِّۚ
“Kami mengisahkan kepadamu berita mereka dengan benar.”
Ayat ini merupakan awal penjelasan rinci tentang kisah Ashabul Kahfi yang telah disebutkan sebelumnya. Allah azza wa jalla mengisahkannya dengan kebenaran kepada Nabi-Nya tentang yang mereka alami. Tidak ada keraguan dalam kisah tersebut.
Pada ayat sebelumnya, Allah azza wa jalla berfirman,
إِذۡ أَوَى ٱلۡفِتۡيَةُ إِلَى ٱلۡكَهۡفِ فَقَالُواْ رَبَّنَآ ءَاتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحۡمَةٗ وَهَيِّئۡ لَنَا مِنۡ أَمۡرِنَا رَشَدًا ١٠ فَضَرَبۡنَا عَلَىٰٓ ءَاذَانِهِمۡ فِي ٱلۡكَهۡفِ سِنِينَ عَدَدًا ١١ ثُمَّ بَعَثۡنَٰهُمۡ لِنَعۡلَمَ أَيُّ ٱلۡحِزۡبَيۡنِ أَحۡصَىٰ لِمَا لَبِثُوٓاْ أَمَدًا ١٢
“(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa, ‘Wahai Rabb kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini). Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu, kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal (dalam gua itu).” (al-Kahfi: 10—12)
Sebagian mengatakan bahwa Ashabul Kahfi adalah kaum yang berasal dari keturunan bangsawan kota Diqyus, dari seorang raja kafir yang bernama Daqinus. Mereka berasal dari bangsa Romawi yang mengikuti ajaran Nabi Allah Isa alaihis salam. Ada pula yang mengatakan bahwa mereka hidup sebelum zaman Isa alaihis salam. Wallahu a’lam. (Tafsir al-Qurthubi, 214/13)
Baca juga: Kisah Ashabul Kahfi
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Yang tampak, mereka hidup sebelum munculnya agama Nasrani secara umum. Sebab, seandainya mereka berkeyakinan Nasrani, tentu para pendeta Yahudi tidak terlalu perhatian untuk menjaga kisah mereka. Pendeta Yahudi tentu akan memerintahkan untuk menjauhinya.
Telah disebutkan dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bahwa kaum Quraisy mengirim utusan kepada para pendeta Yahudi untuk meminta mereka menguji Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka pun mengirim utusan untuk menanyakan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang kisah mereka ini (Ashabul Kahfi -pen.), tentang kisah Dzulqarnain, dan tentang urusan roh.
Ini menunjukkan bahwa kisah ini telah disebutkan dalam kitab-kitab ahli kitab, dan lebih dahulu daripada kemunculan agama Nasrani. Wallahu a’lam.” (Tafsir Ibnu Katsir, 9/109)
Al-Allamah asy-Syinqithi rahimahullah berkata,
“Perlu diketahui bahwa kisah Ashabul Kahfi, nama-nama mereka, dan negeri tempat tinggal mereka, semua itu tidak sahih datangnya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Penjelasan tambahan dari apa yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan yang menafsirkannya banyak berasal dari berita israiliyat (dari Bani Israil). Kami sengaja tidak menyebutkannya karena tidak adanya kevalidan berita tentangnya.” (Adhwa’ul Bayan, 4/27)
Makna Al-Fata/Al-Fityah
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِنَّهُمۡ فِتۡيَةٌ ءَامَنُواْ بِرَبِّهِمۡ وَزِدۡنَٰهُمۡ هُدًى ١٣
“Sesungguhnya mereka adalah para pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.”
Al-Fityah adalah bentuk jamak taksir dari al-fata. Fityah bermakna para remaja/pemuda. Akan tetapi, terkadang yang dimaksud dengan istilah al-fata adalah budak sahaya, seperti firman Allah azza wa jalla,
مِّن فَتَيَٰتِكُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِۚ
“… dari budak-budak wanita kalian yang mukminah….” (an-Nisa: 25)
Tatkala seorang pemuda memiliki tabiat yang lebih lembut, memiliki kedermawanan, dan kemuliaan yang tidak ditemukan pada banyak orang tua, mereka menyematkan julukan al-fata bagi seorang yang dermawan dan mulia. Penggunaan istilah al-fata untuk menyebut orang yang memiliki sifat mulia, banyak ditemukan pada kebanyakan ucapan para ulama.
Di antaranya adalah perkataan ahli bahasa, “Inti al-futuwwah (kepemudaan) adalah keimanan.”
Junaid berkata, “Al-futuwwah (kepemudaan) adalah menginfakkan harta, menghilangkan gangguan, dan meninggalkan keluhan.”
Baca juga: Mengutamakan Orang Lain Atas Diri Sendiri
Ada pula yang berkata, “Al-futuwwah adalah menjauhi hal-hal yang diharamkan dan bersegera melakukan hal-hal yang mulia.”
Al-Qurthubi rahimahullah berkata tentang makna yang terakhir, “Pendapat ini bagus sekali karena bersifat umum, mencakup semua yang disebutkan tentang makna futuwwah.” (Tafsir al-Qurthubi, 13/223, Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 11/83)
Di antaranya pula perkataan Abu Ismail al-Anshari rahimahullah, “Al-futuwwah adalah engkau mendekati orang yang mendatangimu, engkau memuliakan orang yang menyakitimu, berbuat baik kepada yang berbuat buruk kepadamu, sebagai bentuk pemberiaan maaf, bukan menahan amarah; bentuk rasa cinta, bukan kesabaran.”
Baca juga: Memaafkan Kesalahan dan Mengubur Dendam
Dinukil dari Ahmad bin Hambal rahimahullah bahwa beliau berkata, “Al-futuwwah adalah meninggalkan sesuatu yang engkau inginkan karena ada sesuatu yang engkau khawatirkan.”
Ini sebagaimana firman Allah azza wa jalla,
وَأَمَّا مَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفۡسَ عَنِ ٱلۡهَوَىٰ ٤٠
“Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya.” (an-Nazi’at: 40)
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Siapa yang mengajak kepada akhlak mulia yang Allah dan Rasul-Nya mengajak kepadanya, dialah orang yang telah berbuat kebaikan, baik hal itu dinamakan futuwwah maupun tidak. Siapa yang mengada-ada di dalam agama Allah azza wa jalla sesuatu yang bukan berasal darinya, ia tertolak.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 11/84)
Baca juga: Perkara Baru dalam Sorotan Syariat
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Allah azza wa jalla menyebutkan bahwa mereka (Ashabul Kahfi) adalah para pemuda. Mereka lebih mudah menerima kebenaran dan hidayah untuk menempuh jalan Allah subhanahu wa ta’ala dibandingkan dengan orang-orang tua yang telah lama tenggelam dalam keyakinan yang batil.
“Oleh karena itu, kebanyakan orang yang menerima ajakan agama Allah azza wa jalla dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah para pemuda. Adapun mayoritas orang tua dari Quraisy bersikukuh mempertahankan keyakinan mereka.Tidak ada yang selamat dari mereka kecuali sedikit.
“Demikian pula Allah azza wa jalla memberitakan tentang Ashabul Kahfi bahwa mereka adalah para pemuda yang masih remaja.” (Tafsir Ibnu Katsir, 9/109)
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَزِدۡنَٰهُمۡ هُدًى
“Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.”
Maknanya, Kami memudahkan mereka untuk beramal saleh, dengan mengkhususkan diri beribadah kepada Allah azza wa jalla, menjauhkan diri dari manusia, dan bersikap zuhud dalam kehidupan dunia. Ini merupakan tambahan dari keimanan yang telah ada. (Tafsir al-Qurthubi, 13/ 223)
Ayat ini merupakan salah satu dalil yang dijadikan hujah oleh para ulama bahwa keimanan itu bisa bertambah dan bertingkat-tingkat, sebagaimana bisa berkurang. Hal ini dikuatkan lagi dengan firman Allah azza wa jalla,
وَٱلَّذِينَ ٱهۡتَدَوۡاْ زَادَهُمۡ هُدًى وَءَاتَىٰهُمۡ تَقۡوَىٰهُمۡ ١٧
“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya.” (Muhammad: 17)
هُوَ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ ٱلسَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ لِيَزۡدَادُوٓاْ إِيمَٰنًا مَّعَ إِيمَٰنِهِمۡۗ
“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (al-Fath: 4)
Dan ayat-ayat yang lain.
Baca juga: Iman
Al-Allamah asy-Syinqithi rahimahullah berkata setelah menyebutkan ayat-ayat tentang bertambahnya keimanan,
“Ayat-ayat yang disebutkan ini adalah nas yang jelas menunjukkan bahwa iman itu bertambah. Maka dari itu, dipahami bahwa iman juga dapat berkurang. Imam al-Bukhari rahimahullah menjadikannya sebagai dalil tentang hal tersebut. Ini menunjukkan dengan sangat jelas tanpa keraguan. Jadi, tidak ada alasan untuk berselisih tentang bertambahnya iman dan berkurangnya, sebagaimana yang Anda lihat.” (Adhwaul Bayan, 4/39)
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَرَبَطۡنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ إِذۡ قَامُواْ فَقَالُواْ رَبُّنَا رَبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ
“Dan Kami meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, ‘Rabb kami adalah Rabb seluruh langit dan bumi’.”
Kata “rabth” dalam ayat ini menunjukkan kekuatan tekad kesabaran yang tinggi, yang Allah azza wa jalla berikan kepada mereka. Karena itu, mereka mampu berkata di hadapan orang-orang kafir, “Rabb Kami adalah Rabb pemilik seluruh langit dan bumi.”
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan makna ayat ini,
“Kami memberi kesabaran kepada mereka untuk menyelisihi kaum dan masyarakatnya. Meninggalkan kehidupan yang lapang, bahagia, serta kenikmatan yang mereka rasakan sebelumnya. Telah disebutkan oleh banyak ahli tafsir dari kalangan salaf maupun khalaf, mereka adalah anak-anak raja Romawi dan pembesarnya.
Pada suatu hari, mereka keluar menuju perayaan sebagian kaumnya. Mereka memiliki hari berkumpul dalam setahun. Mereka berkumpul di lapangan negeri tersebut, melakukan penyembahan kepada patung-patung dan thaghut, dan menyembelih untuknya. Mereka memiliki seorang penguasa angkuh dan penentang kebenaran yang bernama Diqyanus. Dia memerintah manusia untuk melakukan penyembahan tersebut, menganjurkannya, dan menyerukannya.
Baca juga: Syirik
Tatkala manusia keluar menuju tempat perkumpulan itu, para pemuda ini juga turut keluar bersama ayah-ayah mereka dan kaumnya. Mereka menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri apa yang dilakukan oleh kaumnya. Mereka pun meyakini bahwa apa yang dilakukan kaumnya tersebut, yaitu sujud kepada berhala dan melakukan penyembelihan kepadanya, tidak sepantasnya dilakukan kecuali hanya untuk Allah azza wa jalla yang menciptakan langit dan bumi.
Alhasil, masing-masing memisahkan diri dari kaumnya dan menjauhkan diri dari mereka. Para pemuda tersebut mendatangi suatu daerah itu. Orang pertama dari mereka duduk di bawah sebuah pohon. Lalu seorang lagi datang dan duduk di dekatnya. Lalu datang lagi yang lainnya dan duduk di dekatnya pula. Begitu seterusnya. Tidak seorang pun di antara mereka yang saling mengenal. Yang mengumpulkan mereka di tempat tersebut adalah bersatunya mereka di atas keimanan.
Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu anha bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
الْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ، وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ
“Roh-roh manusia itu berkelompok sesuai dengan sifatnya. Jika saling mengenal sifatnya, ia akan saling mencintai. Jika berbeda sifatnya, ia akan berselisih.” (Muttafaq alaihi)
Manusia mengatakan, “Sejenis adalah sebab menyatu.”
Baca juga: Memilih Teman Membentengi Keyakinan
Yang jelas, masing-masing berusaha menyembunyikan ihwalnya dari sahabatnya karena khawatir. Mereka tidak tahu bahwa mereka memiliki kesamaan prinsip.
Hingga salah seorang dari mereka berkata, “Kalian mengetahui—demi Allah—bahwa tidak ada yang mengeluarkan kalian dari kaum kalian dan kalian menjauh dari mereka kecuali ada sesuatu. Maka dari itu, hendaknya setiap orang dari kalian menjelaskan tujuannya.”
Seseorang berkata, “Adapun saya, demi Allah, sesungguhnya saya melihat apa yang dilakukan oleh kaumku. Aku meyakini bahwa itu adalah kebatilan. Sesungguhnya yang berhak disembah hanyalah Allah azza wa jalla semata, tiada sekutu bagi-Nya. Dia-lah Allah azza wa jalla yang menciptakan segala sesuatu, langit, bumi, dan yang di antara keduanya.”
Yang lain berkata, “Demi Allah, demikian pula yang aku alami.”
Yang lain juga mengatakan hal yang sama. Akhirnya, mereka semua bersepakat di atas satu kalimat. Mereka pun menyatu dan menjadi saudara yang dibangun di atas kejujuran. Mereka pun membuat tempat ibadah yang di dalamnya mereka menyembah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Ketika diketahui oleh kaumnya, orang-orang melaporkan perbuatan para pemuda kepada raja mereka. Sang raja pun meminta untuk menghadirkan mereka di hadapannya. Sang raja bertanya kepada mereka tentang apa yang mereka lakukan. Para pemuda itu menjawabnya dengan kejujuran dan mengajaknya kepada jalan Allah azza wa jalla.
Baca juga: Teman dan Pengaruhnya dalam Kehidupan Beragama Seseorang
Oleh karena itu, Allah azza wa jalla mengabarkan tentang mereka,
وَرَبَطۡنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ إِذۡ قَامُواْ فَقَالُواْ رَبُّنَا رَبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ
“Dan Kami meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, ‘Rabb kami adalah pemilik seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Rabb selain Dia.” (Tafsir Ibnu Katsir, 9/110—111)
Namun, kisah rinci yang disebutkan tentang kejadian ini merupakan berita israiliyat. Asy-Syinqithi rahimahullah berkata, “Kisah mereka disebutkan dalam semua kitab-kitab tafsir. Kami sengaja tidak menyebutkannya karena beritanya israiliyat.” (Adhwaul Bayan, 4/40)
Asy-Syinqithi rahimahullah berkata,
“Dipahami dari ayat yang mulia ini bahwa siapa yang berada dalam ketaatan kepada Allah azza wa jalla, Dia akan menguatkan hatinya, meneguhkannya untuk memikul beban yang berat, dan memberinya kesabaran yang tinggi.
“Allah azza wa jalla telah mengisyaratkan hal ini pada beberapa kejadian dalam ayat-ayat yang lain. Di antaranya firman Allah azza wa jalla tentang mereka yang mengikuti Perang Badr.
Baca juga: Perang Badr Kubra (1)
Allah azza wa jalla mengatakan kepada Nabi-Nya dan para sahabat beliau,
إِذۡ يُغَشِّيكُمُ ٱلنُّعَاسَ أَمَنَةً مِّنۡهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيۡكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً لِّيُطَهِّرَكُم بِهِۦ وَيُذۡهِبَ عَنكُمۡ رِجۡزَ ٱلشَّيۡطَٰنِ وَلِيَرۡبِطَ عَلَىٰ قُلُوبِكُمۡ وَيُثَبِّتَ بِهِ ٱلۡأَقۡدَامَ ١١إِذۡ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ أَنِّي مَعَكُمۡ فَثَبِّتُواْ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْۚ سَأُلۡقِي فِي قُلُوبِ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ ٱلرُّعۡبَ فَٱضۡرِبُواْ فَوۡقَ ٱلۡأَعۡنَاقِ وَٱضۡرِبُواْ مِنۡهُمۡ كُلَّ بَنَانٖ ١٢
“(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman dari-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan setan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki (mu). (Ingatlah), ketika Rabb-mu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.’ Kelak akan Aku susupkan rasa takut ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.” (al-Anfal: 11—12)
Demikian pula firman Allah azza wa jalla kepada ibu Musa alaihis salam,
وَأَصۡبَحَ فُؤَادُ أُمِّ مُوسَىٰ فَٰرِغًاۖ إِن كَادَتۡ لَتُبۡدِي بِهِۦ لَوۡلَآ أَن رَّبَطۡنَا عَلَىٰ قَلۡبِهَا لِتَكُونَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ١٠
“Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah).” (al-Qashash: 10) (Adhwaul Bayan, 4/39)
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
لَّقَدۡ قُلۡنَآ إِذًا شَطَطًا ١٤
“Sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran.”
Syathath maknanya penyimpangan yang jauh dari kebenaran, dan jalan yang sangat jauh dari kebenaran.
Jadi, makna ayat di atas ialah, jika kami menyembah sembahan-sembahan yang lain bersama Allah, setelah kami mengetahui bahwa Dia-lah Rabb yang merupakan sembahan yang tidak sepantasnya diibadahi kecuali hanya Dia, berarti kami mengucapkan kalimat yang batil dan sangat menyimpang dari kebenaran.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
لَّهَٰٓؤُلَآءِ قَوۡمُنَا ٱتَّخَذُواْ مِن دُونِهِۦٓ ءَالِهَةًۖ لَّوۡلَا يَأۡتُونَ عَلَيۡهِم بِسُلۡطَٰنِۢ بَيِّنٍۖ فَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّنِ ٱفۡتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ كَذِبًا ١٥
“Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka)? Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?”
Baca juga: Bahaya Berkata Atas Nama Allah Tanpa Ilmu
Al-Allamah Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan ayat ini,
“Tatkala para pemuda ini mengingat anugerah yang Allah azza wa jalla berikan kepada mereka, berupa keimanan, hidayah, dan ketakwaan, mereka pun memperhatikan apa yang dilakukan oleh kaumnya yang membuat sembahan-sembahan selain Allah azza wa jalla. Mereka pun membencinya. Para pemuda itu menjelaskan bahwa sesungguhnya kaumnya tidak berjalan di atas keyakinan dalam urusan mereka. Kaumnya justru benar-benar berada dalam kejahilan dan kesesatan.
“Oleh karena itu, para pemuda itu berkata, ‘Tidakkah mereka mendatangkan hujah dan bukti atas kebatilan yang mereka perbuat dan tidak mungkin mereka mampu melakukannya? Sesungguhnya itu hanyalah kebohongan terhadap Allah azza wa jalla dan kedustaan atas-Nya. Ini adalah kezaliman yang paling besar.’
“Oleh karena itu, Allah azza wa jalla menyatakan,
فَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّنِ ٱفۡتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ كَذِبًا
“Siapakah yang paling besar kezalimannya dari orang-orang yang mengada-ada terhadap Allah?” (Tafsir al-Karim ar-Rahman, hlm. 950)
Wallahul Muwaffiq.