Hukum Membuat Cerita Fabel

Pertanyaan:

Apa hukum membuat cerita fabel?

Jawaban:

Jika yang dimaksud dengan fabel adalah cerita yang menggambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya adalah binatang, sebaiknya tidak dilakukan. Sebab, dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, perumpamaan menggunakan binatang identik dengan kejelekan, seperti dalam ayat,

وَلَقَدۡ ذَرَأۡنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِۖ لَهُمۡ قُلُوبٌ لَّا يَفۡقَهُونَ بِهَا وَلَهُمۡ أَعۡيُنٌ لَّا يُبۡصِرُونَ بِهَا وَلَهُمۡ ءَاذَانٌ لَّا يَسۡمَعُونَ بِهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ كَٱلۡأَنۡعَٰمِ بَلۡ هُمۡ أَضَلُّۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡغَٰفِلُونَ

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (al-A’raf: 179)

Demikian juga dalam ayat,

وَلَوۡ شِئۡنَا لَرَفَعۡنَٰهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُۥٓ أَخۡلَدَ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُۚ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ ٱلۡكَلۡبِ إِن تَحۡمِلۡ عَلَيۡهِ يَلۡهَثۡ أَوۡ تَتۡرُكۡهُ يَلۡهَثۚ ذَّٰلِكَ مَثَلُ ٱلۡقَوۡمِ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِ‍َٔايَٰتِنَاۚ فَٱقۡصُصِ ٱلۡقَصَصَ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” (al-A’raf: 176)

Demikian juga ayat,

مَثَلُ ٱلَّذِينَ حُمِّلُواْ ٱلتَّوۡرَىٰةَ ثُمَّ لَمۡ يَحۡمِلُوهَا كَمَثَلِ ٱلۡحِمَارِ يَحۡمِلُ أَسۡفَارَۢاۚ بِئۡسَ مَثَلُ ٱلۡقَوۡمِ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِ‍َٔايَٰتِ ٱللَّهِۚ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ

“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (al-Jumu’ah: 5)

Sebuah hadits menyebutkan bahwa ada dua orang berkelahi. Salah seorang dari keduanya menggigit tangan lawannya. Kemudian orang yang digigit menarik dengan kuat tangannya dari gigitan tersebut hingga mematahkan gigi penggigitnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

يَعَضُّ أَحَدُكُمْ كَمَا يَعَضُّ الْفَحْلُ؟ لَا دِيَةَ لَهُ

“Apakah  salah seorang dari kalian menggigit seperti hewan jantan menggigit? Tidak ada denda baginya.” (HR. al-Bukhari no. 2266 dan Muslim no. 1673 dari sahabat Imran bin Hushain radhiallahu anhu)

Sebagian ulama mengatakan bahwa di antara faedah dari hadits ini ialah larangan tasyabbuh (menyerupai) hewan.

Di sisi lain, tujuan cerita fabel adalah ingin memberikan pendidikan moral dan budi pekerti. Sementara itu, binatang bukan makhluk yang berakal, apalagi bermoral dan berbudi pekerti.

Wallahu a’lam bish-shawab.

(Ustadz Abu Ishaq Abdullah Nahar)