Hukum Menyebutkan Mahar Saat Akad Nikah

Pertanyaan:

Haruskah menyebut nama mahar dalam akad nikah? Apabila mahar dalam bentuk kitab yang memiliki nama yang panjang, bolehkah menyingkat nama kitab tersebut pada saat akad nikah?

Jawaban:

Menyebutkan mahar atau jumlahnya saat akad nikah hukumnya sunnah. Jadi, penyebutan nama mahar itu bukan suatu keharusan, bukan syarat, bukan pula wajib.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,

“Menyebutkan mahar saat akad hukumnya sunnah. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

فَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ

‘Aku nikahkan engkau dengan dia, dengan (mahar berupa bacaan) Al-Qur’an yang ada padamu.’ (HR. al-Bukhari no. 5030)

Di antara hikmah penyebutan mahar ialah supaya tidak terjadi perselisihan tentang mahar manakala terjadi pertikaian antara suami dan istri. Misalnya, suami tidak tertarik terhadap istri kemudian menceraikannya sebelum terjadi hubungan badan. Apabila mahar sudah disebutkan dan dipersaksikan oleh para saksi saat akad, tidak akan terjadi perselisihan tentang maharnya. Namun, jika tidak menyebutkan mahar, akan terjadi perselisihan.

Apabila kita berada di daerah yang tidak terbiasa menyebutkan (mahar saat akad); mereka menganggap penyebutan mahar sebagai suatu kekurangan; apabila disebutkan, seakan-akan mempelai wanita adalah budak perempuan yang dijual; apakah mahar perlu disebutkan?

Jawabannya, tidak perlu kita sebutkan. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ

“Dan pergaulilah mereka dengan cara yang baik.” (an-Nisa: 19)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga berkata,

“Ini (menyebutkan mahar saat akad) adalah sunnah. Namun, kebiasaan orang-orang di tempat kita sekarang tidak menyebutkan hal ini (mahar) karena malu.” (asy-Syarhul Mumti’ 12/254—255)

Demikian juga apabila barang yang dijadikan sebagai mahar namanya panjang atau sulit diucapkan, cukup menyebutkan potongan namanya yang dengannya mahar bisa diketahui. Atau bisa pula dengan menyebutkan secara global, asalkan sudah ada kesepakatan antara pihak laki-laki dan perempuan.

Wallahu a’lam bish-shawab.

(Ustadz Abu Ishaq Abdullah Nahar)