Ramadhan sebentar lagi tiba. Perjalanan waktu yang banyak kita isi dengan berbagai rutinitas keseharian, tak terasa hampir membawa kita kepada bulan yang penuh berkah. Mari kita siapkan diri kita untuk memaksimalkan waktu Ramadhan sebagai bulan puasa yang penuh ibadah.
Menyambut Ramadhan
Ramadhan telah datang. Insan beriman rindu dengan saat-saat penuh ibadah itu. Waktu pun berlalu dengan cepat. Bulan demi bulan, pekan demi pekan, hari demi hari, sehingga yang jauh pun semakin dekat saatnya.
Sudah sepantasnya kita bersiap untuk menyambutnya, seraya berharap kepada ar-Rahman agar masih diperkenankan berjumpa dengannya.
Persiapan iman, fisik, dan ilmu tentang puasa Ramadhan tak semestinya diabaikan. Harapannya, tidak ada sesal ketika bulan itu telah berlalu tanpa mendapatkan pengampunan dari al-Ghaffar (Dzat Yang Maha Pengampun). Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,
صَعِدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمِنْبَرَ، فَقَالَ: آمِينَ آمِينَ آمِينَ. قَالَ: أَتَانِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ مَنْ أَدْرَكَ أَحَدَ وَالِدَيْهِ فَمَاتَ فَدَخَلَ النَّارَ فَأَبْعَدَهُ اللهُ قُلْ آمِينَ. فَقُلْتُ: آمِينَ. قَالَ: يَا مُحَمَّدُ مَنْ أَدْرَكَ شَهْرَ رَمَضَانَ فَمَاتَ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ فَأُدْخِلَ النَّارَ فَأَبْعَدَهُ اللهُ قُلْ آمِينَ. فَقُلْتُ: آمِينَ ….
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke atas mimbar lalu berkata, “Amin, amin, amin.” Ada yang bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tadi naik mimbar lalu mengatakan, ‘Amin, amin, amin’?”
Beliau menjawab, “Jibril datang kepadaku lalu mengatakan, ‘Siapa yang mendapati salah satu dari kedua orang tuanya masih hidup, tetapi dia mati lalu masuk neraka, semoga Allah menjauhkannya. Katakan amin.’ Aku pun mengatakan, ‘Amin’.
‘Siapa yang mendapati bulan Ramadhan, tetapi ia tidak diampuni hingga ia masuk ke dalam neraka, semoga Allah menjauhkannya. Katakanlah amin.’ Aku pun mengatakan, ‘Amin’.” …. Dst. (HR. Ibnu Khuzaimah, 3/192; Ahmad, 2/246; 245, al-Baihaqi, 4/204 dari beberapa jalan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini sahih sebagaimana dalam Shifat Shaumin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam fi Ramadhan, hal. 24)
Ramadhan Bulan Ibadah
Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kenikmatan kepada hamba-hamba-Nya dengan ditetapkannya Ramadhan sebagai bulan yang sarat dengan kebajikan dan limpahan pahala. Setiap insan yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan hari akhir tentu tidak akan membiarkan Ramadhan berlalu begitu saja tanpa amal saleh.
Tepatlah jika dikatakan bahwa Ramadhan sebagai bulan ibadah. Ia adalah bulan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Karena itu, tidak sepantasnya Ramadhan dilewati dengan bermalas-malasan, tidur sepanjang siang. Alasannya, lemas tidak ada tenaga karena perut sedang kosong, menahan lapar dan dahaga.
Ada sebagian muslimah yang bersungguh-sungguh melakukan amalan ketaatan pada bulan Ramadhan. Namun, bila datang kebiasaan “bulanan”nya, ia menjadi lemah semangat, malas, dan tidak lagi giat seperti sedia kala. Padahal pintu-pintu kebaikan banyak terbentang di hadapannya. Apabila ia tidak bisa berpuasa dan shalat, ia dapat mengerjakan amalan-amalan yang lain.
Ada doa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Doa itu adalah ibadah.” (HR. at-Tirmidzi no. 2969 dan Ibnu Majah no. 3828; dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi dan Shahih Ibni Majah)
Adapula zikir, seperti tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir.
Dalam hadits disebutkan,
مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ عَمَلاً قَطُّ أَنْجَى لَهُ مِنْ عَذَابِ اللهِ مِنْ ذِكْرِ اللهِ
“Tidaklah seorang manusia mengamalkan satu amalan yang lebih menyelamatkannya dari azab Allah daripada zikrullah.” (HR. Ahmad 5/239, dinilai sahih dalam Shahihul Jami’, no. 5644)
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami berada di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَكْسِبَ كُلَّ يَوْمٍ أَلْفَ حَسَنَةٍ؟ فَسَأَلَهُ سَائِلٌ مِنْ جُلَسَائِهِ: كَيْفَ يَكْسِبُ أَحَدُنَا أَلْفَ حَسَنَةٍ؟ قَالَ: يُسَبِّحُ مِائَةَ تَسْبِيْحَةٍ فَيُكْتَبُ لَهُ أَلْفُ حَسَنَةٍ أَوْ يُحَطُّ عَنْهُ أَلْفُ خَطِيْئَةٍ
“Apakah salah seorang dari kalian merasa lemah untuk memperoleh setiap harinya seribu kebaikan?”
Salah seorang di antara mereka yang duduk bersama beliau bertanya, “Bagaimana salah seorang dari kami dapat memperoleh seribu kebaikan?”
Beliau menjawab, “Dia bertasbih kepada Allah seratus tasbih. maka akan dicatat baginya seratus kebaikan atau dihapus darinya seratus kesalahan.” (HR. Muslim, no. 6792)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ
“Siapa yang mengucapkan ‘subhanallah wa bihamdihi’ dalam sehari seratus kali, akan dihapuskan kesalahannya walaupun kesalahan itu sebanyak buih lautan.” (HR. Muslim no. 6783)
Ada pula istigfar, permohonan ampun, dan tobat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan,
يآ أَيُّهَا النَّاسُ، تُوْبُوْا إِلىَ اللهِ، فَإِنِّي أَتُوْبُ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Wahai sekalian manusia, bertobatlah kalian kepada Allah karena sesungguhnya aku bertobat dalam sehari seratus kali.” (HR. Muslim, no. 6799)
Adapula sedekah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang sedekah,
لاَ يَتَصَدَّقُ أَحَدٌ بِتَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ إِلاَّ أَخَذَهَا اللهُ بِيَمِيْنِهِ فَيُرَبِّيْهَا كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ أَوْ قَلُوْصَهُ حَتَّى تَكُوْنَ مِثْلَ الْجَبَلِ أَوْ أَعْظَمَ
“Tidak ada seseorang yang bersedekah dengan walau sebiji kurma yang diperolehnya dari penghasilan yang halal, kecuali Allah mengambilnya dengan tangan kanan-Nya. Lalu Dia mengembangkannya sebagaimana salah seorang dari kalian merawat anak untanya hingga menjadi sebesar gunung atau lebih besar lagi.” (HR. Muslim no. 2340)
Termasuk pintu kebaikan yang dapat dilakukannya adalah membantu orang yang puasa.
Diisyaratkan dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu,
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَكْثَرُنَا ظِلاًّ الَّذِيْ يَسْتَظِلُّ بِكِسَائِهِ، أَمَّا الَّذِيْنَ صَامُوْا فَلَمْ يَعْمَلُوْا شَيْئًا، وَأَمَّا الَّذِيْنَ أَفْطَرُوا فَبَعَثُوْا الرِّكَابَ وَامْتَهِنُوْا وَعَالَجُوْا. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ذَهَبَ الْمُفْطِرُوْنَ الْيَوْمَ بِاْلأَجْرِ
“Kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang paling banyak di antara kami mendapatkan naungan dari terik matahari adalah yang berlindung dengan pakaiannya. Adapun orang-orang yang berpuasa ketika itu tidak melakukan apa-apa, sedangkan orang-orang yang berbuka (tidak puasa) mereka mengurusi hewan-hewan tunggangan, melakukan pekerjaan, dan mencurahkan kesungguhan dan menangani beberapa urusan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Pada hari ini orang-orang yang tidak berpuasa berlalu dengan membawa pahala (yang besar)’.”[1] (HR. al-Bukhari, no. 2890)
Dalam riwayat Muslim (no. 2617) disebutkan dengan lafaz,
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي السَّفَرِ، فَمِنَّا الصَّائِمُ وَمِنَّا الْمُفْطِرُ. قَالَ: فَنَزَلْنَا مَنْزِلاً فِي يَوْمِ حَارٍّ، أَكْثَرُنَا ظِلاًّ صَاحِبُ الْكِسَاءِ، وَمِنَّا مَنْ يَتَّقِي الشَّمْسُ بِيَدِهِ. قَالَ: فَسَقَطَ الصُّوَّامُ وَقَامَ الْمُفْطِرُوْنَ، فَضَرَبُوْا اْلأَبْنِيَةَ وَسَقُوْا الرِّكَابَ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ذَهَبَ الْمُفْطِرُوْنَ الْيَوْمَ بِاْلأَجْرِ
“Kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safar. Di antara kami ada yang puasa dan ada pula yang tidak. Kami singgah di suatu tempat pada hari yang panas. Yang paling banyak mendapatkan naungan di antara kami adalah yang memiliki kain penutup. Di antara kami ada yang berlindung dari matahari dengan tangannya.
Orang-orang yang berpuasa pun berjatuhan, sementara orang-orang yang berbuka bangkit (untuk mengerjakan beberapa pekerjaan dan menolong orang-orang yang puasa). Mereka mendirikan bangunan/tenda-tenda dan memberi minum hewan-hewan tunggangan.
Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, ‘Pada hari ini orang-orang yang berbuka berlalu dengan membawa pahala’.”
Termasuk kebaikan yang dapat dilakukan adalah memberi makan orang yang puasa.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كاَنَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Siapa yang memberi makanan berbuka untuk seorang yang puasa, ia mendapatkan semisal pahala orang yang puasa tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang yang puasa tersebut.” (HR. Ahmad, 4/114—115; at-Tirmidzi, no. 807; Ibnu Majah, no. 1746; dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih at-Tirmidzi dan Shahih Ibni Majah)
Hukum-Hukum Puasa Ramadhan
Di antara muslimah mungkin ada yang belum sepenuhnya tahu tuntunan yang benar ketika seseorang menjalani puasa Ramadhan. Berikut ini sedikit ilmu tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan puasa Ramadhan. Semoga dapat memberi manfaat.
1. Berniat
Seseorang yang hendak berpuasa Ramadhan ia wajib berniat sejak malam hari atau sebelum terbit fajar. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ لَمْ يُجمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Siapa yang tidak meniatkan puasa sebelum terbit fajar, tidak ada puasa baginya.” (HR. Abu Dawud, no. 2454, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Abi Dawud)
2. Waktu Berpuasa
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ
“Makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam dari fajar.” (al-Baqarah: 187)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkannya,
إِنَّمَا هُوَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ
“Itu adalah hitamnya malam dan putihnya siang.” (HR. al-Bukhari, no. 1916, dan Muslim, no. 2528)
Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu berkata,
لَمَّا نَزَلَتْ هذِهِ اْلأَيَةُ: {وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ} قَالَ: فَكَانَ الرَّجُلُ إِذَا أَرَادَ الصَّوْمَ رَبَطَ أَحَدُهُمْ فِي رِجْلَيْهِ الْخَيْطَ اْلأَبْيَضَ وَالْخَيْطَ اْلأَسْوَدَ، فَلاَ يَزَالُ يَأْكُلُ وَيَشْرَبُ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ رُؤْيَتُهُمَا، فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدَ ذلِكَ: {مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ} فَعَلِمُوْا أَنَّمَا يَعْنِي بِذَلِكَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
Tatkala turun ayat ini, “Makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam,” apabila seseorang hendak puasa, ia mengikatkan benang putih dan benang hitam pada kedua kakinya. Dia terus-menerus minum dan menyantap makanannya sampai jelas baginya melihat perbedaan benang putih dari benang yang hitam.
Setelah itu, Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan (kelanjutan ayat tersebut), “… dari fajar.” Mereka pun tahu bahwa yang Allah maksudkan dalam ayat tersebut adalah malam dan siang (jelas terbitnya fajar dan berlalunya malam).” (HR. al-Bukhari no. 1917 dan Muslim no. 2530)
Dengan demikian, waktu puasa dimulai sejak terbitnya fajar subuh dan berakhir ketika kegelapan malam datang dari arah timur setelah tenggelamnya bulatan matahari, walaupun cahayanya masih tampak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَاهُنَ وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَ، وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
“Apabila malam datang dari arah sana (timur) dan siang berlalu ke arah sana (barat), dan matahari telah tenggelam, berarti orang yang puasa telah berbuka (telah masuk waktu berbuka).” (HR. al-Bukhari no. 1954 dan Muslim no. 2553)
3. Sahur
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
“Pembeda antara puasa kita dan puasa ahlul kitab adalah makan sahur.”[2] (HR. Muslim no. 2545)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
“Makan sahurlah kalian karena sesungguhnya dalam sahur itu ada berkah.” (HR. Muslim no. 2544)
Yang paling utama untuk dimakan ketika sahur adalah kurma.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نِعْمَ سَحُوْرِ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ
“Sebaik-baik sahur seorang mukmin adalah kurma kering (tamar).” (HR. Abu Dawud no. 2345, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Abi Dawud)
Disenangi mengakhirkan sahur sampai menjelang terbit fajar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu pernah makan sahur bersama. Setelah itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit untuk mengerjakan shalat. Anas bin Malik shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, “Berapa jarak waktu antara keduanya?”[3] Zaid menjawab, “Sekadar bacaan lima puluh ayat.” (HR. al-Bukhari no. 575 dan Muslim no. 2547)
4. Yang Wajib Ditinggalkan oleh Orang yang Puasa
Selain wajib meninggalkan makan dan minum serta jimak, seorang yang berpuasa harus pula meninggalkan ucapan dusta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan berbuat dusta, Allah tidak membutuhkan perbuatannya (sekadar) meninggalkan makan dan minum.” (HR. al-Bukhari no. 1903)
5. Yang Boleh Dilakukan Orang yang Berpuasa
Di antara yang boleh dilakukan ketika sedang berpuasa adalah:
-
Bersiwak
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengabarkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ
“Seandainya tidak memberati umatku, niscaya aku akan memerintah mereka untuk bersiwak setiap kali berwudhu.” (HR. al-Bukhari secara mu’allaq dalam “Kitab ash-Shaum”, dan Muslim no. 588)
Hadits di atas diberi judul oleh Imam al-Bukhari dengan Bab Siwak ar-Rathbi wal Yabis Lish Sha’im. Maknanya, siwak yang basah dan kering untuk orang yang sedang puasa. Imam al-Bukhari memberikan isyarat dengan judul ini untuk membantah pendapat yang memakruhkan bersiwak dengan siwak basah bagi orang yang sedang puasa, seperti pendapat ulama mazhab Maliki dan asy-Sya’bi. (Fathul Bari, 4/202)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata, “(Hadits Abu Hurairah ini) mengandung kebolehan bersiwak pada setiap waktu dan setiap keadaan.” (Fathul Bari, 4/202)
Jadi, orang yang sedang berpuasa termasuk di dalamnya.
-
Mendapati fajar dalam keadaan junub
Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu’ alaihi wa sallam menemui waktu fajar dalam keadaan junub karena menggauli istrinya. Kemudian beliau mandi dan berpuasa. (HR. al-Bukhari no. 1925 dan Muslim no. 2584)
-
Memasukkan air ke hidung (istinsyaq), tetapi tidak bersungguh-sungguh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَبَالِغْ فِي الْاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
“Bersungguh-sungguhlah engkau dalam istinsyaq kecuali bila sedang berpuasa.” (HR. at-Tirmidzi no. 788, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih at-Tirmidzi)
-
Mencicipi makanan
Tidak apa-apa orang yang berpuasa mencicipi makanan guna mengetahui rasanya. Demikian pula mengunyahkan makanan untuk anaknya, selama tidak ada sedikit pun dari makanan tersebut yang masuk ke kerongkongannya. Hal ini tersebut dalam beberapa atsar dari salaf berikut ini.
a. Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara mu’allaq (tanpa menyebutkan sanadnya) dalam Shahih-nya dengan shighat jazm, “Tidak apa-apa seseorang mencicipi makanan dari bejana atau sedikit dari makanan.” (“Kitab ash-Shaum”, “Bab Ightisal ash-Sha’im[4])
b. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Tidak apa-apa seseorang yang sedang berpuasa mencicipi cuka atau makanan lain selama tidak ada yang masuk ke kerongkongannya.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, 3/47)
c. Ma’mar berkata, “Aku pernah bertanya kepada Hammad tentang seorang wanita yang sedang berpuasa mencicipi kuah dari masakannya. Hammad berpendapat bahwa hal itu tidak apa-apa.” (Riwayat Abdurrazaq dalam al-Mushannaf, no. 7510)
d. Al-Hasan al-Bashri berpandangan tidak apa-apa orang yang puasa mencicipi madu, samin/mentega, dan semisalnya kemudian mengeluarkannya (tidak menelannya). (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, 3/47)
e. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya tentang mencicipi makanan bagi orang yang puasa. Beliau menjawab, “Mencicipi makanan bagi orang puasa makruh bila tanpa ada kebutuhan. Namun, apabila dilakukan, tidak membatalkan puasa. Adapun apabila ada keperluan, hukumnya seperti hukum berkumur-kumur bagi orang puasa.” (Majmu’ Fatawa, 13/142)
-
Memakai celak
Ada beberapa hadits yang menyebutkan masalah bercelak bagi orang yang sedang berpuasa. Namun, semua hadits itu tidak lepas dari perbincangan. Karena itulah, Imam at-Tirmidzi rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu hadits pun yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bab ini.” (Sunan at-Tirmidzi, “Kitab ash-Shaum”, “Bab Ma Ja`a fil Kuhli Lish-Sha’im”)
Adapun jumhur ulama berpandangan bahwa bercelak bagi orang yang berpuasa hukumnya mubah. Hal ini diisyaratkan oleh asy-Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar (4/260).
Atha, Ibrahim an-Nakha’i, dan az-Zuhri berkata, “Tidak apa-apa bercelak bagi orang yang berpuasa.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, 3/46, dan riwayat Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf, no. 7514, 7515)
Ibnu Hazm berpendapat (al-Muhalla 4/326) bahwa bercelak tidak membatalkan puasa. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahumullah
6. Berbuka (Ifthar)
Berbeda halnya dengan sahur yang hukumnya sunnah untuk diakhirkan, berbuka (ifthar) dituntunkan untuk ta’jil (disegerakan). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفِطْرَ
“Manusia terus-menerus dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. al-Bukhari no. 1957 dan Muslim no. 2549)
Hal ini merupakan sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyelisihi Yahudi dan Nasrani. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لِأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ
“Agama ini akan senantiasa tampak selama manusia menyegerakan berbuka. Sebab, Yahudi dan Nasrani mengakhirkan berbuka.” (HR. Abu Dawud no. 2353, dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Abi Dawud dan Syaikh Muqbil dalam al-Jami’ush Shahih Mimma Laisa fish Shahihain, 2/420)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencontohkan makanan yang beliau makan ketika berbuka.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبًا فَتَمَرَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَمَرَاتٍ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu berbuka sebelum shalat Magrib dengan memakan beberapa butir kurma basah (ruthab). Apabila tidak ada ruthab, beliau berbuka dengan kurma kering (tamar). Apabila tidak ada tamar, beliau meminum beberapa teguk air.” (HR. at-Tirmidzi, dinilai hasan oleh Syaikh Muqbil di atas syarat al-Bukhari dan Muslim, al-Jami’ush Shahih, 2/419—420)
Ketika berbuka disyariatkan membaca doa,
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ
“Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat (hilang kekeringan yang disebabkan rasa haus) serta telah tetap pahala, insya Allah.” (HR. Abu Dawud no. 2357, dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)
Demikian sedikit bekal yang dapat kami berikan kepada pembaca muslimah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
[1] Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Yang dimaksud di sini bukanlah bahwa orang-orang yang puasa kurang pahalanya. Namun, orang-orang yang berbuka memperoleh pahala dari pekerjaan mereka dan memperoleh semisal pahala orang yang berpuasa. Sebab, mereka melakukan pekerjaan mereka dan mengambil alih pekerjaan orang-orang yang sedang berpuasa.” (Fathul Bari, 6/104)
[2] Sementara itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kita menyelisihi ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) dan tidak menyerupai mereka. Jadi, makan sahur ketika hendak berpuasa merupakan penyelisihan terhadap puasa yang dilakukan oleh ahlul kitab.
[3] Jarak antara selesai makan sahur dan dimulainya shalat. Demikian kata Ibnu Hajar dalam al-Fath, 4/138.
[4] Dibawakan secara maushul (bersambung sanadnya sampai kepada Ibnu Abas radhiyallahu ‘anhuma) oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, 3/47.
Ditulis oleh Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah