Ilmu merupakan ibadah. Sebagian ulama bahkan mengatakan: “Ilmu adalah shalat yang tersembunyi dan ibadah hati.” (Hilyah Thalibul ‘Ilm, hal. 9)
Maka tentunya dibutuhkan keikhlasan dalam menuntutnya, yakni benar-benar karena Allah I, bukan karena kepentingan dunia. Allah I berfirman:
“Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama kepada-Nya.” (Al-Bayyinah: 5)
Nabi r juga bersabda:
“Barangsiapa mempelajari ilmu yang diharapkan dengannya wajah Allah I (ilmu syariat, -pent.), ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan bagian dari dunia, maka ia tidak akan mendapatkan bau jannah (surga) pada hari kiamat.” (Shahih, HR. Ahmad, Abu Dawud, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi. Lihat Shahihul Jami’ no. 6159)
Juga hendaknya ia berniat menghilangkan kebodohan dari dirinya karena bodoh itu sifat tercela, lebih-lebih menurut agama. Oleh karenanya, Nabi Musa u berlindung kepada Allah I dari kebodohan, katanya:
“Ya Allah sungguh aku berlindung kepada-Mu agar tidak termasuk orang-orang yang bodoh.” (Al-Baqarah: 67)
Demikian pula Nabi Yusuf u berlindung kepada Allah I dari kebodohan. Allah I juga menasehatkan hal ini kepada Nabi Nuh u:
“…Sesungguhnya Aku memperingatkanmu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (Hud: 46)
Sebaliknya, ilmu syariat adalah sesuatu yang terpuji dan dianjurkan. Maka tentu saja, niat untuk berilmu dan menghindari kebodohan adalah niat yang baik.
Al-Imam Ahmad t pernah ditanya oleh muridnya yang bernama Al-Muhanna. Katanya: “Apakah amalan yang terbaik?” Jawab Al-Imam Ahmad: “Menuntut ilmu.” Aku katakan: “Untuk siapa keutamaan ini?” Jawabnya: “Bagi yang niatnya benar.” Aku katakan: “Bagaimana niat yang benar?” Jawabnya: “Berniat untuk ber-tawadhu’ padanya dan untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya.” Dalam riwayat lain: “Juga dari umatnya.” (Adab Syar’iyyah, 2/38 dan Kitabul ‘Ilmi, Ibnu ‘Utsaimin hal. 27)
Termasuk niat yang baik adalah untuk membela syariat. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t menjelaskan, hendaknya penuntut ilmu berniat mencari ilmu untuk membela syariat. Karena membela syariat tidak mungkin dilakukan kecuali oleh para pembawa syariat itu. Ilmu itu persis seperti senjata, … dan sesungguhnya bid’ah baru akan terus muncul sehingga terkadang sebuah bid’ah tidak muncul di jaman terdahulu dan tidak terdapat dalam buku-buku. Sehingga tidak mungkin membela syariat ini kecuali seorang penuntut ilmu. (Kitabul ‘Ilmi, Ibnu ‘Utsaimin, hal. 28)
Wallahu a’lam.