Masjid memiliki kedudukan yang sangat mulia di dalam Islam dan di mata para pemeluknya. Ia adalah tempat bersatunya jiwa-jiwa kaum mukminin dalam mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wata’ala dan wadah untuk berkumpulnya jasmani mereka agar saling mempererat tali persaudaraan serta bertukar manfaat dan informasi. Di dalam masjid pula, dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendidik para sahabatnya di atas agama ini. Dari masjid beliau muncul generasi umat Islam pertama yang menebarkan cahaya ke seluruh penjuru bumi. Karena itu, masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di Madinah bisa dikatakan sebagai universitas Islam pertama, dengan guru besarnya adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat sebagai mahasiswanya. Masjid mempunyai sejarah panjang yang mampu menetaskan para ulama dan da’i yang handal keilmuannya serta mampu memberikan kontribusi yang besar bagi umat.
Karena masjid adalah sarana vital untuk membentuk karakteristik umat dan syiar Islam yang menonjol, maka sesampainya di Madinah ketika berhijrah, yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pertama kali adalah membangun masjid bersama para sahabat. Setelah berdiri tegak masjid tersebut dengan segala kesederhanaan yang ada, masjid beliau tidak hanya berfungsi sebagai tempat pembinaan dan ritual keagamaan. Bahkan, dari sanalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatur urusan kenegaraan, menentukan strategi perang dan mengirim pasukan, mengobati orang yang sakit, serta menyambut delegasi asing.
Intinya, masjid adalah syiar Islam yang besar dan mempunyai peran yang sangat strategis demi tercapainya kemuliaan Islam dan muslimin. Umat Islam senantiasa mulia manakala kembali memakmurkan masjid seperti halnya generasi awal umat ini. Karena sedemikian besar kedudukan masjid, maka ada beberapa adab/sopan santun yang ditentukan oleh agama ketika seorang berada di dalamnya. Siapa saja yang mengagungkan syiar Allah Subhanahu wata’ala, maka itu pertanda ketakwaan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (al- Hajj: 32)
Adab Seorang Muslim di Dalam Masjid
Ketika seorang muslim hendak masuk masjid, dia mendahulukan kaki kanan seraya mengucapkan salam atau shalawat atas Nabi lalu membaca doa yang dituntunkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti doa,
اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ
“Ya Allah, bukakan bagiku pintupintu rahmat-Mu.”
Apabila hendak keluar masjid, didahulukan kaki kiri lalu membaca salam atau shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan doa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikan-Mu/ tambahan nikmat-Mu.”
Doa di atas sangat tepat. Kala seseorang hendak masuk masjid, ia memohon rahmat Allah Subhanahu wata’ala karena akan menyibukkan diri dengan ibadah yang mendekatkan dirinya kepada Allah Subhanahu wata’ala, pahala dan surga-Nya. Ketika akan keluar, dia memohon kepada Allah Subhanahu wata’ala tambahan rezeki-Nya karena dia akan menjalani aktivitas duniawi. (lihat Faidhul Qadir 1/432) Jika seseorang telah masuk masjid, disyariatkan baginya shalat dua rakaat tahiyyatul masjid sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِذَا دَخَلَ أَحَدُ كُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
“Apabila salah seorang di antara kalian masuk masjid, hendaknya ia shalat dua rakaat sebelum duduk.” (HR. al- Bukhari no. 444)
Yang diinginkan dari hadits ini adalah orang yang masuk masjid agar tidak duduk sampai ia shalat terlebih dahulu. Jadi, apabila ia masuk masjid lalu shalat sunnah qabliyah atau shalat wajib yang akan dia lakukan, hal itu telah mencukupinya sehingga tidak perlu shalat tahiyyatul masjid. Demikian pula apabila ia masuk dalam kondisi iqamat telah dikumandangkan, shalat fardhu yang ada telah mencukupinya dari shalat tahiyyatul masjid. (lihat Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 7/270)
Apabila telah berada di masjid, hendaknya dia menyibukkan diri dengan ibadah-ibadah yang disyariatkan, seperti zikir, membaca al-Qur’an, mempelajari ilmu, dan yang lainnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika menasihati seorang badui yang kencing di masjid, “Sesungguhnya masjidmasjid ini tidak boleh dikencingi dan dikotori. Ia tidak lain (tempat) untuk berzikir kepada Allah Subhanahu wata’ala, shalat, dan membaca al-Qur’an.” (Shahih Muslim no. 285 dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Orang yang duduk menanti dikumandangkan iqamat alangkah bagusnya apabila dia berdoa karena saat itu adalah waktu yang mustajab. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الدُّعَاءُ ل يُرَدُّ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ
“Doa antara azan dan iqamat tidak ditolak (oleh Allah Subhanahu wata’ala).” (Shahih Sunan at-Tirmidzi 1/133 no. 212)
Ketika seorang telah shalat di suatu masjid atau tempat, lalu dia mendatangi masjid yang lain dan mendapati jamaah masjid tersebut sedang melangsungkan shalat berjamaah, hendaknya dia ikut berjamaah bersama mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Apabila salah seorang dari kalian shalat di rumahnya, kemudian dia masuk masjid dan orangorang (yang di dalamnya) sedang shalat, hendaknya ia shalat bersama mereka. Shalat tersebut baginya (hukumnya) sunnah.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Kabir dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 654)
Hendaknya seseorang berusaha menempati shaf-shaf awal apabila masih ada tempat karena keutamaannya yang besar. Hal ini seperti disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوْا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوْا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوْا
“Andai manusia tahu apa yang ada pada azan dan shaf awal (yakni keutamaannya), lalu mereka tidak bisa mendapatkannya kecuali dengan undian, niscaya mereka akan berundi untuknya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Orang yang berusaha mengisi shafshaf terdepan menunjukkan bahwa dia bersemangat meraih keutamaan. Akan tetapi, caranya tidak seperti yang dilakukan sebagian orang: sengaja meletakkan sajadahnya di shaf-shaf awal, lalu keluar dari masjid dan sibuk dengan aktivitas dunia; ketika telah datang waktu shalat ia pun datang untuk menempati shaf tersebut. Hal ini tidak diperbolehkan, sebagaimana disebutkan oleh asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa-nya. Sebab, tempat yang ada di masjid tidaklah dimiliki oleh siapa pun secara khusus. Yang diinginkan adalah seseorang datang lebih awal dan menempati shaf awal, bukan sajadahnya (wallahu a’lam).
Di antara hal yang juga perlu diperhatikan oleh orang yang berada dalam masjid ialah apabila azan sudah dikumandangkan di masjid tersebut, janganlah ia keluar kecuali ada keperluan yang ia akan kembali lagi ke masjid itu, seperti mengambil air wudhu, mengganti pakaiannya yang terkena najis, dan semisalnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Barang siapa yang azan telah mendapatkannya di masjid kemudian ia keluar, ia tidak keluar karena suatu keperluan, yang ia tidak ingin kembali (ke masjid) maka dia munafik.” (Shahih Sunan Ibnu Majah no. 606)
Abdurrahman bin Harmalah rahimahullah berkata, “Seorang lelaki datang kepada Sa’id bin al-Musayyib t untuk mengucapkan salam perpisahan ketika mau haji atau umrah. Sa’id berkata kepadanya, ‘Engkau jangan pergi dahulu sebelum shalat, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tidaklah keluar dari masjid setelah azan dikumandangkan selain orang munafik, kecuali seseorang yang keluar karena suatu keperluan dan ia ingin kembali lagi ke masjid.’ Lelaki tersebut berkata, ‘Sesungguhnya rekanrekan saya ada di Harrah (tempat yang tanahnya berbatu hitam di Madinah).’ Orang itu (tetap) pergi.” Abdurrahman bin Harmalah rahimahullah berkata, “Sa’id pun bertanya dan mencari berita orang tersebut, sampai dia diberi tahu bahwa orang tersebut terjatuh dari kendaraannya hingga retak pahanya.” (Sunan ad-Darimi 1/125 no. 452)
Tidak Mengganggu Orang yang Shalat atau yang Sedang Menjalankan Ketaatan Lainnya
Orang yang sedang menjalankan ibadah di dalam masjid membutuhkan ketenangan sehingga dilarang mengganggu kekhusyukan mereka, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Di antara bentuknya adalah:
1. Melangkahi pundak-pundak mereka untuk mendapatkan shaf depan, padahal shaf telah rapat.
Bentuk lainnya, dia menggeser-geser tempat duduk saudaranya yang telah sempit sehingga ia merampas sebagian tempat duduk saudaranya. Sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa dahulu ada seorang lelaki masuk ke masjid pada hari Jum’at dan Nabi n sedang menyampaikan khutbahnya. Orang tersebut melangkahi para manusia. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata kepadanya, “Duduklah kamu! Kamu telah menyakiti dan telah terlambat datang.” (Shahih Sunan Ibni Majah no. 923)
2. Menyuruh seorang yang duduk untuk berdiri lalu dia menempati tempat tersebut.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Janganlah salah seorang dari kalian menyuruh orang lain untuk berdiri dari tempat duduknya lalu ia duduk padanya. Namun, berilah kelapangan!” (Muttafaqun ‘alaih)
Seorang muslim hendaknya menjaga perasaan orang lain dan tidak menyakitinya. Dalam hadits di atas juga ada perintah untuk melapangkan tempat duduk bagi saudaranya yang baru datang sehingga bisa mendapatkan tempat duduk. Tidak pantas seorang muslim rakus dengan tempat duduk dengan mengambil tempat yang melebihi kebutuhannya sehingga menghalangi orang lain mendapatkannya.
3. Berteriak-teriak dan membuat gaduh di dalam masjid
Sebab, masjid dibangun bukan untuk ini. Demikian pula mengganggu dengan obrolan yang keras. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Ketahuilah bahwa setiap kalian sedang bermunajat (berbisikbisik) dengan Rabbnya. Maka dari itu, janganlah sebagian kalian menyakiti yang lain dan janganlah mengeraskan bacaan atas yang lain.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim, asy-Syaikh al-Albani menyatakannya sahih dalam Shahih al-Jami’)
Apabila mengeraskan bacaan al-Qur’an saja dilarang jika memang mengganggu orang lain yang sedang melakukan ibadah, lantas bagaimana kiranya jika mengganggu dengan suarasuara gaduh yang tidak bermanfaat?! Sungguh, di antara fenomena yang menyedihkan, sebagian orang—terutama anak-anak muda—tidak merasa salah membuat kegaduhan di masjid saat shalat berjamaah sedang berlangsung. Mereka asyik dengan obrolan yang tiada manfaatnya. Terkadang mereka sengaja menunggu imam rukuk, lalu lari tergopoh-gopoh dengan suara gaduh untuk mendapatkan rukuk bersama imam. Untuk yang seperti ini kita masih meragukan sahnya rakaat shalat tersebut karena mereka tidak membaca al-Fatihah dalam keadaan sebenarnya mereka mampu.
Tetapi, mereka meninggalkannya dan justru mengganggu saudara-saudaranya yang sedang shalat. Hal ini berbeda dengan kondisi sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu yang ketika datang untuk shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam didapatkannya beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang rukuk lalu ia ikut rukuk bersamanya dan itu dianggap rakaat shalat yang sah.
4. Apabila Anda masuk masjid membawa senjata, pastikan bahwa Anda telah menutup bagian yang tajam, runcing, atau yang berbahaya, sehingga aman dan tidak melukai orang lain
Sahabat Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ada seorang lelaki masuk masjid dengan membawa anak panah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu memerintahkan orang tersebut untuk memegang bagian yang runcing dari anak panah itu.” (lihat Shahih al- Bukhari no. 451)
Membersihkan Masjid dari Kotoran
Masjid sebagai tempat yang paling dicintai oleh Allah Subhanahu wata’ala di muka bumi ini harus kita jaga kebersihannya. Oleh karena itu, dilarang meludah dan mengeluarkan dahak dan membuangnya di dalam masjid, kecuali meludah di sapu tangan atau pakaiannya. Adapun di lantai masjid atau temboknya, hal ini dilarang. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْبُزَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيْئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا
“Meludah di masjid adalah suatu dosa, dan kafarat (untuk diampuninya) adalah dengan menimbun ludah tersebut.” (Shahih al-Bukhari no. 40)
Yang dimaksud menimbun ludah di sini adalah apabila lantai masjid itu dari tanah, pasir, atau semisalnya. Adapun jika lantai masjid itu berupa semen atau kapur, maka ia meludah di kainnya, tangannya, atau yang lain. (lihat ucapan al-Imam an-Nawawi t seputar masalah ini dalam kitabnya Riyadhush Shalihin bab “an-Nahyu ‘anil Bushaq fil Masjid”)
Apabila seseorang melihat di dalam masjid atau pada dindingnya ada dahak atau semisalnya, hendaknya dia membersihkannya. Sebab, dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat dahak yang melekat pada dinding masjid lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil batu kerikil untuk mengeriknya. (lihat Shahih al-Bukhari no. 408 dan 409)
Hadits tersebut mengandung sejumlah faedah, di antaranya adalah menghilangkan sesuatu yang kotor dari masjid, dan seorang imam/penguasa hendaknya memerhatikan kondisi masjidmasjid yang ada, serta sikap rendah hati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mau turun langsung membersihkan kotoran. Dengan dibersihkannya masjid dari kotoran, maka orang yang melaksanakan ibadah padanya akan merasa nyaman, di samping pelakunya akan mendapat pahala. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallambersabda (yang artinya),
“Diperlihatkan (kepadaku) amalanamalan umatku yang baiknya dan yang buruknya. Aku melihat pada amalan kebaikannya (adalah) menyingkirkan gangguan dari jalan, dan aku melihat pada amalan jeleknya (adalah) dahak yang ada di masjid yang dia tidak menimbunnya.” (HR. Ahmad, Muslim, dan Ibnu Majah dari Abu Dzar z)
Oleh karena itu, orang yang akan shalat dengan memakai sandalnya di masjid1 hendaknya sebelum masuk masjid ia membalikkan sandalnya untuk melihat apakah ada kotoran atau tidak sehingga dia bisa membuangnya terlebih dahulu.
Menjauhkan Masjid dari Bau yang Tidak Sedap
Apabila seseorang memakan makanan yang menimbulkan bau tidak sedap dan bisa mengganggu orang yang sedang beribadah di masjid maka ia dilarang masuk ke masjid. Contohnya, seseorang memakan bawang merah atau bawang putih yang masih mentah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الْبَقْلَةِ الثُّوْمِ وَالْبَصَلِ وَالْكُرَّاثِ، فَلَا يَقْرَبَنَّا فِي مَسَاجِدِنَا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُوْ آدَمَ
“Barang siapa memakan sayuran ini: bawang putih, bawang merah, dan seledri, janganlah mendekati kami di masjid-masjid kami. Sebab, para malaikat terganggu dengan sesuatu yang mengganggu manusia.” (HR. Muslim)
Apabila seseorang dilarang masuk masjid karena mengonsumsi sesuatu yang baunya tidak sedap seperti bawang mentah, padahal bawang itu halal, lantas bagaimana halnya dengan orang yang mengisap rokok di masjid?
Menjaga dari Ucapan yang Jorok dan Tidak Layak di Masjid
Tempat yang suci tentu tidak pantas kecuali untuk ucapan-ucapan yang suci dan terpuji pula. Oleh karena itu, tidak boleh bertengkar, berteriak-teriak, melantunkan syair yang tidak baik di masjid, dan yang semisalnya. Demikian pula dilarang berjual beli di dalam masjid dan mengumumkan barang yang hilang. Nabi n bersabda (yang artinya), “Apabila kamu melihat orang menjual atau membeli di masjid maka katakanlah, ‘Semoga Allah l tidak memberi keberuntungan dalam jual belimu!’ Dan apabila kamu melihat ada orang yang mengeraskan suara di dalam masjid untuk mencari barang yang hilang, katakanlah, ‘Semoga Allah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengembalikannya kepadamu’.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi, 2/63—64 no. 1321)
Beberapa Adab Lain di Dalam Masjid
1. Dilarang bermain-main di masjid selain permainan yang mengandung bentuk melatih ketangkasan dalam perang.
Hal ini sebagaimana dahulu orangorang Habasyah bermain perangperangan di masjid dan tidak dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. (lihat Shahih al-Bukhari no. 454)
2. Dibolehkan tidur di masjid.
Sebab, dahulu di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagian sahabat tidur di masjid, misalnya Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, dan yang lainnya .
3. Dibolehkan makan di masjid dengan memerhatikan adab-adabnya dan tidak mengotori masjid.
4. Diharamkan lewat di depan orang yang shalat, yakni antara orang yang shalat dan sutrah (pembatas) yang di hadapannya. (lihat Shahih al-Bukhari no. 510)
5. Apabila Anda shalat menghadap sutrah lalu ada orang ingin melewatinya, hendaknya ia dicegah. Apabila dia tetap memaksa untuk melewatinya, boleh didorong. (lihat Shahih al-Bukhari no.
509)
6. Tidak shalat di antara dua tiang saat shalat berjamaah karena tiangtiang itu memutus shaf (barisan) shalat, sedangkan merapikan shaf adalah perkara yang diperintahkan.
Adapun apabila shalat sunnah sendirian, boleh baginya shalat di antara dua tiang sebagaimana dahulu Nabi n shalat sunnah di dalam Ka’bah berdiri di antara dua tiang. (lihat Shahih al- Bukhari no. 505)
Demikianlah sebagian adab yang semestinya diperhatikan oleh seorang muslim ketika berada dalam masjid. Kami mengajak para pembaca untuk menelaah kitab-kitab hadits yang berkaitan dengan adab-adab dalam masjid. Ada sebuah kitab bagus yang ditulis oleh al-Imam az-Zarkasyi asy-Syafi’i yang berkaitan dengan hukum-hukum masjid dengan judul I’lamus Sajid bi Ahkamil Masajid. Demikianlah, semoga ulasan singkat ini bermanfaat.
Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.